Puisi Menari di Ujung Cahaya | Daan Yahya/Republika

Sastra

Menari di Ujung Cahaya

Puisi-puisi Fileski Walidha Tanjung

Oleh FILESKI WALIDHA TANJUNG

Menari di Ujung Cahaya (bahagia)

 

Pada altar pagi, matahari menulis sajak di kening bumi,

burung-burung membaca ayat kehidupan

dengan nada yang hanya bisa dimengerti

oleh mereka yang tau bagaimana syukur.

 

Aku melihat daun menari 

 

di antara angin dari timur,

dan di sana kutemukan rahasia-Nya:

bahwa hidup adalah tarian kecil

antara kehilangan dan anugerah.

 

Langit tersenyum dengan warna yang tak selalu sama,

dan setiap detik menjadi bunga di taman waktu,

oh betapa indah menjadi manusia

masih bisa tertawa di tengah luka,

dan ternyata, kehidupan ini adalah puisi

yang ditulis oleh tangan yang maha kasih.

 

Api Abadi (semangat)

 

Di dalam dadaku, ada bara yang menolak padam,

ada api yang lahir dari doa dan perlawanan,

menyala di antara abu peradaban.

 

Kata-kata Gus Dur menyusup di urat nadiku:

“Bahwa manusia harus memihak pada kehidupan.”

Maka aku membawa obor kecil

menembus malam-malam penindasan.

 

Aku tidak takut terbakar,

aku hanya takut bila aku tak lagi menyala.

Sebab kematian paling palung adalah ketika cinta

kehilangan keberanian untuk berjuang.

 

Selama masih ada detak dalam dada,

ku goreskan cahaya di wajah dunia

sebab hidup yang tak diperjuangkan

hanya tinggal nama

tanpa nyala.

 

Ziarah Sunyi Dalam Diri (perenungan)

Malam turun seperti lembaran kitab suci

yang ditulis dengan tinta sunyi.

Aku duduk di tepi waktu, mendengar

detak jantungku berdialog dengan-Nya.

 

Apakah hidup ini adalah jalan pulang,

atau sekadar persinggahan dari kehilangan?

Di antara diam dan doa, aku belajar

bahwa kehidupan bukan tentang

nafas siapa yang lebih panjang,

melainkan seberapa dalam kita

memahami makna. 

 

Bahwa dalam setiap kepala manusia,

ada surga yang belum selesai dijelajahi.

Dan di setiap luka, ada pintu rahasia

menuju keheningan yang menyembuhkan.

 

Dunia yang Kehilangan (kesedihan)

 

Di kota itu aku melihat

kata-kata kehilangan suaranya,

orang-orang berjalan seperti huruf mati

yang tak mengenal suara nurani

 

Langit berdebu oleh doa yang tak sampai,

anak-anak tumbuh dengan mata yang lapar

dan kasih sayang menjadi hal yang makin langka.

 

Aku menatap patung-patung,

di matanya kulihat kesedihan umat manusia.

Mereka kita sibuk membangun menara

tetapi lupa bagaimana cara memeluk sesama.

 

Oh betapa sepi dunia ini

ketika cinta dipenjara oleh logika,

dan kehidupan menjadi angka-angka

di layar mesin yang tak mengenal air mata.

 

Nyala yang Terbang ke Langit (harapan)

 

Meski malam menutup wajahnya

dengan kabut berita dan bising zaman,

di sini, masih ada satu lilin

yang tak menyerah pada gelap.

 

Karena di dada setiap manusia yang baik

ada nyala kecil yang tak bisa dipadamkan,

nyala yang berasal dari sang maha abadi.

 

Kita mungkin lelah,

tapi cinta tak pernah mengenal lelah.

Kita mungkin kalah,

tapi kehidupan terus melahirkan pagi.

karena setiap fajar yang terbit adalah bukti

bahwa Tuhan belum berhenti

untuk berharap pada umat manusia.

 

Manusia menjadi penjaga cahaya,

meski kecil, meskipun hampir padam,

“karena satu cahaya yang jujur

itu lebih kuat dari seribu malam

yang suram”  

 

30 Oktober 2025 

Fileski Walidha Tanjung adalah penyair kelahiran Madiun 1988. Aktif menulis puisi di berbagai media nasional. Buku puisi terbarunya berjudul “Diksi Emas”. 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat