Pengunjung melihat ruangan pada Dalem Kusumabratan, Surakarta, Jawa Tengah. | Republika/ Tahta Aidilla

Safari

Menjelajahi Kediaman Para Pangeran

Rumah-rumah para pangeran itu ada yang terawat, tak sedikit yang dibiarkan telantar ditinggal penghuninya.

Paku Buwono X  konon kerap berkunjung ke Ndalem Kusumabratan di sore hari. Kala itu, alun-alun kidul (alun-alun selatan) digunakan sebagai tempat para prajurit keraton berlatih perang. Sang raja selalu menyaksikan latihan itu dari balkon yang terdapat pada salah satu bangunan di ndalem ini—yang menghadap ke alun-alun tersebut.

Ndalem Kusumabratan adalah sebuah ndalem yang dibangun pada masa pemerintahan Paku Buwono X (1893-1939). Dalam kamus Jawa, istilah ndalem berarti tempat bermukimnya sejumlah pembesar kerajaan, termasuk juga para pangeran.

Kompleks bangunan yang berada di sisi selatan Keraton Kasunanan Surakarta ini dulunya adalah kediaman KGPH Kusumobroto. “Ia adalah putra Paku Buwono X yang paling cerdas,” kata salah satu pemandu Blusukan Solo Nino S Basunindya.

Sejak KGPH Kusumobroto wafat, Ndalem Kusumabratan mulai ditinggal penghuninya.  Kata Nino, ada semacam sistem pengelolaan ndalem yang berlaku di Kasunanan Surakarta. Yaitu, jika keluarga pangeran pemilik ndalem tidak mampu merawat kediamannya, pengelolaan ndalem tersebut diserahkan kepada pangeran-pangeran keraton lainnya. Namun, entah mengapa, ndalem yang satu ini dibiarkan telantar begitu saja.

photo
Pengunjung melihat ruangan pada Dalem Kusumabratan, Surakarta, Jawa Tengah. - (Republika/ Tahta Aidilla)

Sekarang, kediaman pangeran ini sungguh memprihatinkan keadaannya. Sebagian besar bangunannya sudah runtuh. Tumbuhan lumut tampak menempel pada dinding-dinding semen yang rapuh, sedangkan semak-semak menyembul di antara puing reruntuhan. 

 

Tak semua dihuni

Dua pekan lalu, komunitas Blusukan Solo mengajak 40 peserta menjelajahi sejumlah ndalem pangeran di sekitar Keraton Kasunanan Surakarta. Bersama rombongan saya menyusuri bagian-bagian rumah para petinggi keraton itu.

Beberapa bangunan yang masih terlihat berdiri di lokasi Ndalem Kusumabratan diantaranya mushala, rumah, dan sebuah bangunan klasik bergaya Eropa yang lusuh. Semuanya sudah tidak layak huni lagi. Dari sisa-sisa reruntuhannya, saya yakin bangunan-bangunan tersebut dulunya berdiri dengan megah dan indah. Namun, kini suasana suram yang ditampilkan ndalem itu membuat saya dan para peserta blusukan lainnya serasa berada di sarang hantu.

KGPH Kusumobroto yang memiliki nama kecil GRM Irawan, kata Nino, semasa mudanya pernah menempuh pendidikan di Belanda. Namun, kecerdasan yang dimiliki Irawan ternyata membuat pemerintah kolonial khawatir. Mereka takut jika Irawan kelak menjadi ancaman bagi kepentingan Belanda di Surakarta. Karena itu, mereka akhirnya memutuskan untuk memulangkan Irawan kembali ke tanah kelahirannya.

Dari Ndalem Kusumabratan, kami selanjutnya bergerak ke Ndalem Kota Waringin. Ndalem yang dibangun pada 1862 ini adalah kediaman keluarga dari Kerajaan Kota Waringin, Kalimantan. Mengapa keluarga raja dari Pulau Borneo bisa mempunyai tempat tinggal di lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta? Tentu ada sejarahnya.

Awalnya, kata Nino, rumah ini dihuni oleh Nyai Tumenggung Soka, abdi ndalem yang bertugas menyiapkan sesaji berupa wewangian. Pada masa Paku Buwono X, rumah tersebut ditempati Cornel Smith. Ia adalah lelaki berkebangsaan Eropa yang mendapat tugas dari pemerintah kolonial untuk menyiapkan susu sapi perah bagi raja.

Pada 1950 rumah ini dihuni oleh keluarga Sultan Kota Waringin XIV. Hal itu karena permaisuri sang sultan, BRA Subandinah, berasal dari keluarga Keraton Kasunanan Surakarta. Perempuan itu adalah cucu dari putra Paku Buwono IX yang bernama GPH Purbodiningrat.

“Sampai sekarang, ndalem ini masih ditempati oleh keluarga Kerajaan Kota Waringin. Termasuk juga, penerus takhta kerajaan tersebut, Pangeran Raden Alidin Sukma Alamsyah,” kata Nino. Sayang sekali, tak ada satupun anggota keluarga yang bisa kami wawancarai saat berkunjung ke situ.

 

Nuansa ningrat

Bila dibandingkan dengan ndalem-ndalem lain yang ada di sekitar Keraton Surakarta, Ndalem Kota Waringin mempunyai keunikan tersendiri. Hal ini dapat dilihat pada langit-langit atapnya yang berbentuk segi delapan menyerupai jaring laba-laba. Konon, bentuk langit-langit ini melambangkan falsafah Jawa, Hasta Brata (delapan sifat kepemimpinan --Red).

photo
Dalem JayakusumanWarga melintas didepan gerbang Dalem Jayakusuman, Kampung Gajahan, Surakarta, Jawa Tengah. - (Republika/ Tahta Aidilla)

Saya bersama rombongan blusukan juga menyambangi Ndalem Jayakusuman. Bangunan yang terletak di Kampung Gajahan ini adalah kediaman GPH Joyokusumo, putra Sunan Paku Buwono X lainnya. Ndalem ini dibangun pada 1849. Semula, tempat tersebut digunakan sebagai rumah GPH Kusumobroto, lalu GPH Joyodiningrat, kemudian baru dihuni oleh GPH Joyokusumo.

Lewat tengah hari, kami tiba di Ndalem Kayonan. Bangunan ini merupakan kediaman putri Paku Buwono XII, Gusti Ayu. Kondisinya sangat terawat dan bersih. Beberapa perabotan berbahan kayu jati tampak tertata secara apik di bagian pendoponya. Bangunan utamanya pun mengguratkan nuansa ningrat yang kental.

Berdasarkan riwayatnya, tempat ini dulu bernama Ndalem Cakradiningratan. Penghuni lamanya, Cokrodiningrat, adalah seorang pepatih ndalem yang meninggal akibat peristiwa Gerakan Antiswapraja di bawah pimpinan Tan Malaka. Sebelumnya, ndalem itu sempat pula ditinggali oleh Pangeran Arum Binang yang bertugas menjamin kesejahteraan keluarga raja.

Terakhir, kami menyinggahi Ndalem Mangkubumen. Tempat ini menjadi kediaman Pangeran Mangkubumi, putra Paku Buwono XI (1939-1945) yang juga merupakan kakak GRM Suryo Guritno alias Paku Buwono XII (1945-2004). Semasa mudanya, Pangeran Mangkubumi sempat digadang-gadang menjadi kandidat Paku Buwono XII. “Namun, yang menjadi pewaris takhta kerajaan akhirnya adalah GRM Suryo Guritno,” kata koordinator komunitas Blusukan Solo Fendy Fawzi Alfiansyah.

photo
Dalem MangkubumenPengunjung melihat ruangan tengah di Dalem Mangkubumen, Surakarta, Jawa Tengah. - (Republika/ Tahta Aidilla)

Sekilas tentang Kampung Para Prajurit

Di dalam lingkungan Keraton Kasunanan Surakarta, terdapat beberapa kampung yang dulunya menjadi tempat tinggal para prajurit kerajaan. Salah satunya adalah Kampung Wirengan.

Pada masa lalu kampung ini ditempati para prajurit wireng, yakni prajurit yang bertugas mengamankan jalannya grebeg. Yaitu, upacara keagamaan yang rutin dilaksanakan keraton tiga kali dalam setahun. Selain pengamanan, mereka sesekali juga melakukan gerakan-gerakan tari di sela-sela tugasnya.

“Memang, rata-rata dari prajurit wireng mempunyai latar belakang sebagai penari,” kata Fendy.

Selain Kampung Wirengan, masih ada lagi Kampung Tamtaman dan Carangan. Sesuai namanya, Kampung Tamtaman dulunya dihuni para prajurit tamtama, sedangkan Kampung Carangan didiami oleh para prajurit carang. Kedua kampung ini lokasinya juga berada di dalam benteng keraton.

photo
Kampung Tamtaman. - (Republika/ Tahta Aidilla)

Ditinjau dari aspek historis, kata Fawzi, prajurit-prajurit ini memang sengaja ditempatkan dekat dengan keraton. Pasalnya, Keraton Kartasura dulu pernah mendapat serangan mengejutkan dari RM Garendi sehingga membuat Paku Buwono II terpaksa mengungsi ke Ponorogo, Jawa Timur.

Beberapa waktu setelah peristiwa itu, Paku Buwono II berhasil merebut kembali Keraton Kartasura. Namun, kondisi istana sudah dalam keadaan porak-poranda. Sang raja akhirnya memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahannya ke Desa Sala, yakni lokasi Keraton Surakarta sekarang ini. Agar pengalaman pahit tersebut tidak terulang, dibuatlah permukiman khusus untuk para prajurit di dekat keraton yang baru. 

Kini, kampung-kampung itu tidak hanya dihuni oleh keluarga atau keturunan prajurit keraton. “Sebagian rumah ada yang disewakan, ada pula yang dibeli oleh kaum pendatang meskipun tanahnya tetap milik keraton.”

Disadur dari Harian Republika edisi 14 April 2013 dengan reportase Ahmad Islamy Jamil dan foto-foto Tahta Aidilla

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat