Tim Khusus Pelaksana melakukan dekontaminasi terhadap temuan yang tercemar radiasi Cesium-137 (Cs-137) di Kawasan Industri Modern Cikande, Kabupaten Serang, Banten, Kamis (2/10/2025). Pemerintah menetapkan Kawasan Industri Modern Cikande dengan status kejadian khusus cemaran radiasi Cs-137 setelah dua pekan terakhir Satgas Penanganan Radiasi Cesium-137 bekerja intensif di lapangan, sementara seluruh aktivitas di dalam kawasan kini sepenuhnya di bawah kendali satgas sebagai langkah strategis untuk memastikan penanganan yang menyeluruh, terukur dan aman bagi lingkungan serta kesehatan publik. | ANTARA FOTO/Angga Budhiyanto

Opini

Udang Radioaktif dan Risiko Radiasi: Antara Persepsi dan Sains

Temuan ini menjadi alarm keras untuk investigasi dan evaluasi menyeluruh.

Oleh Dr. Ilham Variansyah, Dosen/Peneliti (Assistant Professor, Senior Research) Ilmu Pengetahuan dan Teknik Nuklir, Oregon State University, Amerika Serikat.

 

Publik Indonesia dikejutkan oleh kabar udang beku asal Tanah Air yang ditolak di pelabuhan Amerika Serikat karena terdeteksi mengandung cesium-137 (Cs-137), isotop radioaktif hasil fisi nuklir. Di luar nilai ukur yang terpantau rendah, fakta “terdeteksi” saja sudah cukup mengganggu: reputasi rantai pasok kita dipertanyakan, ekspor tersendat, dan muncul kegamangan soal tata kelola sanitasi pabrik,pengawasan kualitas, hingga praktik pengelolaan material radioaktif. Ini bukan sekadar berita heboh—ada nasib pelaku usaha, pekerja, dan kredibilitas Indonesia yang ikut dipertaruhkan.

Tak lama berselang, komentar pemerintah yang menyatakan bahwa produk yang kadarnya di bawah ambang nasional “aman dikonsumsi” memantik gelombang komentar baru. Wajar saja, segala yang berbau nuklir hampir selalu jadi berita sensasional, dari headline dramatis sampai meme yang efektif, karena imajinasi pop culture dan memori sejarah kita memang lekat dengan simbol radiasi kuning-hitam.

Kita boleh tersenyum melihat kreativitas warganet, tapi kita juga perlu empati; kegelisahan publik itu nyata, dan ketidakpastian informasi mudah sekali memperlebar jarak antara persepsi dan sains.

Di titik ini, ada beberapa hal yang harus berjalan bersamaan. Pertama tentunya adalah investigasi dan evaluasi secara menyeluruh: audit rantai pasok, lacak sumber kontaminasi, dan bahkan mungkin hingga evaluasi dan menguatkan praktik pengelolaan material radioaktif dan proteksi radiasi. Namun yang tidak kalah penting adalah edukasi publik yang jernih dan berbasis data: bagaimana besaran dosisnya? apa sebenarnya risiko kesehatannya? Masyarakat berhak atas kebenarandan penjelasan yang utuh, agar kita tumbuh sebagai bangsa yang bijak, melek sains, dan tidak mudah tersesat di era bombardir informasi.

 

Radiasi di Sekitar Kita                                                                                       

Radiasi bukanlah sesuatu yang asing. Ia ada di sekitar kita sejak bumi terbentuk, dari batuan, tanah, udara, hingga tubuh manusia sendiri. Kita bahkan membawa “sumber radiasi mini” dalam diri. Unsur potasium-40 di dalam otot rangka kita terus memancarkan radiasi dalam jumlah kecil. Oleh karena itu, kita semua sebenarnya adalah makhluk radioaktif sejak lahir.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita pun akrab dengan radiasi tanpa menyadarinya. Mulai dari pisang dan kacang-kacangan yang juga kaya akan unsur potasium, hingga rokok yang di antaranya mengandung polonium-210 yang memancarkan radiasi alfa langsung ke paru-paru bila dikonsumsi. Saat berkunjung ke dokter untuk rontgen gigi atau CT scan, kita juga menerima paparan radiasi tambahan. Dan setiap kali naik pesawat, tubuh kita ditembaki radiasi kosmik dari angkasa. Radiasi bukan sesuatu yang jauh; ia hadir dalam aktivitas biasa yang kita jalani sehari-hari.

Semua contoh ini mengingatkan kita pada satu prinsip sederhana: persoalannya bukan ada atau tidak ada radiasi, melainkan seberapa banyak dosis yang kita terima. Sama seperti gula dan kolesterol, yang tubuh kita butuhkan dalam kadar tertentu tapi bisa berbahaya bila berlebihan. Bahkan air, zat esensial untuk hidup, bila diminum terlalu banyak dalam waktu singkat bisa memicu intoksikasi air yang berujung gangguan serius pada otak dan saraf.

Radiasi pun mengikuti hukum yang sama. Pada level kecil ia tidak berbahaya, bahkan, tidak bisa dipungkiri, tubuh manusia sudah berevolusi untuk beradaptasi dengannya.

Menariknya, beberapa eksperimen di laboratorium bawah tanah menemukan bahwa ketika lingkungan dibuat “nyaris tanpa radiasi,” sebagian mikroorganisme justru menunjukkan perubahan fungsi kecil. Dari situ tumbuh dugaan bahwa sedikit radiasi alami mungkin memang punya peran penting dalam kelangsungan proses biologis normal.

Singkatnya, radiasi bukanlah sesuatu yang sepenuhnya asing, apalagi otomatis berbahaya. Radiasi adalah bagian dari keseharian kita. Pertanyaannya adalah: di level mana radiasi benar-benar menjadi risiko? Dari sinilah isu-isu seperti udang radioaktif ini mulai bisa dipahami dalam konteks yang lebih lengkap.

 

Udang Radioaktif dan Risiko Radiasi                                                                     

Mari kita kembali ke kasus yang mencuri perhatian. Hasil uji di Amerika Serikat menemukan kandungan Cs-137 dengan radioaktivitas sebesar 68 Bq/kg (becquerel per kilogram) pada udang beku asal Indonesia (yang mana sebenarnya cukup jauh di bawah ambang batas nasional, 500 Bq/kg).

Jika diterjemahkan ke dosis biologis radiasi untuk mengukur risiko keselamatan, digunakan koefisien konversi standar ICRP (Internation Comission on Radiological Protection) untuk Cs-137 sebesar 0,013 µSv(mikrosievert) per Bq yang tertelan. Dengan faktor ini, satu porsi 200 gram udang tersebut setara dengan sekitar 0,18 µSv. Namun dengan apa kita bisa membandingkan angka tersebut agar lebih mudah dipahami?

• Makan sebuah pisang sekitar 0,1 µSv (dikenal sebagai banana-equivalent dose).

• Naik pesawat dapat mencapai hingga 2–3 µSv per jam penerbangan.

• Sekali rontgen gigi sekitar 4–30 µSv untuk panoramic dan dapat mencapai 50–100 µSv untuk pencitraan 3 dimensi (CBCT).

• CT scan dada sekitar 5.000–7.000 µSv.

• Radiasi latar alami yang kita terima setiap jam sekitar0,27 µSv per jam (2.400 µSv per tahun).

Dengan kata lain, dosis pancaran radiasi dari mengonsumsi satu porsi udang yang terkontaminasi Cs-137 tersebut tidak lebih berisiko daripada dua buah pisang, dan jauh lebih kecil dibandingkan aktivitas sehari-hari dan pengalaman lain yang kita jalani tanpa rasa cemas.

Perlu dicatat juga bahwa angka 0,18 µSv tersebut (sama halnya dengan 0,1 µSv pada pisang) adalah dosis komitmen, yakni total paparan yang tersebar hingga 50 tahun ke depan, mengingat cesium dan potasium bisa bertahan di dalam tubuh. Sedangkan, paparan dari rontgen medis adalah dosis yang diterima sekaligus dalam waktu singkat pada saat prosedur dilakukan, sehingga dampak kesehatannya lebih kuat dibandingkan dengan total dosis komitmen yang “dicicil” selama 50 tahun.

Sebagai acuan mutlak, batas dosis tahunan masyarakat umum yang ditetapkan badan internasional adalah 1.000 µSv per tahun. Angka ini bersifat sangat konservatif, karena bukti ilmiah kuat dari studi epidemiologis pada korban selamat bom atom Hiroshima dan Nagasaki menunjukkan peningkatan jelas risiko kesehatan (+1% risiko kanker) pada dosis 100.000 µSv yang diterima dalam waktu singkat.

Dengan kata lain, regulasi memberi safety margin sekitar seratus kali lipat lebih rendah daripada ambang biologis yang terukur, dan itu pun dosis total tahunan. Bila seseorang memakan satu porsi udang yang terkontaminasi setiap hari selama setahun, total dosis radiasi yang diterima adalah sekitar 65 µSv per tahun, setara dengan satu kali rontgen gigi CBCT, jauh di bawah batas tahunan konservatif 1.000 µSv.

Fakta bahwa radiasi pada orde mikrosievert bisa terlacak dengan begitu spesifik menunjukkan bahwa alat deteksi radiasi luar biasa sensitif. Instrumen modern sanggup membaca jejak isotop pada kadar yang amat kecil, jauh di bawah level yang berarti bagi kesehatan.

Dalam praktiknya, sensitivitas ini sering menjadi pisau bermata dua: di satu sisi dapat diandalkan untuk menjagakeamanan dan keselamatan, di sisi lain mudah menimbulkan kepanikan karena angka kecil pun terdeteksi jelas.

 

Penyelidikan terus Berlanjut 

Kasus udang radioaktif ini masih aktif berkembang. Jejak Cs-137 yang awalnya ditemukan pada produk ekspor ditelusuri hingga ke kawasan industri Cikande, Serang, di mana tim gabungan menemukan titik-titik paparan radiasi. Pemerintah kemudian menyegel sebuah pabrik baja yang diduga kuat sebagai sumber kontaminasi, dan per Selasa, 30 September 2025, Satgas Cesium-137 resmi menetapkan Kawasan Industri Modern Cikande berstatus kejadian khusus cemaran radiasi, sebagaimana diumumkan Menteri Lingkungan Hidup Hanid Faisol Nurofiq.

Temuan ini menjadi alarm keras untuk investigasi dan evaluasi menyeluruh, rantai pasok perlu diaudit dan sumber kontaminasi yang radioaktivitasnya kemungkinan besar lebih tinggi dari temuan udang beku, harus ditelusuri sampai tuntas.

Namun di sisi lain, kita juga perlu menekankan kembali bahwa pemahaman publik akan risiko radiasi tidak kalah penting. Dosis, jalur paparan, serta keterbukaan informasi adalah kunci untuk membaca setiap kasus dengan jernih. Dengan bekal literasi ini, publik bisa lebih bijak menyikapi, tidak terjebak kepanikan yang berlebihan, tapi juga tidak menganggap remeh.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat