Cerpen Gus Antok dan Kurban | Daan Yahya/Republika

Sastra

Gus Antok dan Kurban

Cerpen Abi Utomo

Oleh ABI UTOMO

Wajah pesantren yang berbeda dari pesantren pada umumnya. Gus Antok mendesain pesantrennya dengan konsep adat Jawa. Menurutnya, Jawa adalah tempat kelahiran yang sama istimewanya dengan Masjidil Haram. Bukan hanya bangunan dan arsitekturnya saja yang nyeleneh, Gus Antok juga memiliki pandangan tak sama nyelenehnya terhadap Agama. Oleh sebab itu, Gus Antok selalu menjadi bahan pembicaraan khalayak umum.

Menurutnya urusan iman adalah dapur masing-masing dan tidak boleh diganggu gugat. Namun, atas perbedaan pandangan yang membuat chaos tersebut, justru Gus Antok menanggapinya dengan sangat santai. Gus Antok meyakini penuh bahwa Kanjeng Nabi pun memiliki masalah yang sama ketika beliau harus menyebarkan Agama Islam di tengah masyarakat Kafir Quraisy.

Momen Idul Adha tiba. Orang-orang Desa Sugih Slamet mulai menyibukkan diri untuk memersiapkan perayaan hari raya, termasuk puasa Arafah dan Tarwiyah. Beberapa orang kaya di desa sedang sibuk memersiapkan sesembelihan kambing atau sapi untuk dibagi-bagikan ke masyarakat desa. Bahkan orang-orang yang kurang mampu rela menabung beberapa tahun untuk membeli seekor kambing. Desa Sugih Slamet memang terkenal dengan desa yang paling banyak berkurban dibandingkan desa-desa yang lain. Daging kurban tentu sangat melimpah di sana.

Berbeda dengan Gus Antok. Gus Antok yang notabene seorang kiai yang seharusnya menyiarkan semangat beribadah malah mengundang warga untuk melihat timnas sepak bola. Sontak warga Sugih Slamet terkejut dengan undangan Gus Antok. Banyak orang sibuk memersiapkan kurban sedang Gus Antok secara terang-terangan mengundang warga. Di momen yang sama, warga mulai nyinyir dengan sikap Gus Antok.

“Gus Antok itu kurang waras kah? Malam Idul Adha malah mengundang nonton timnas”

“Wah..Gus Antok tidak mencerminkan sebagai sosok kiai. Kiai kok ngajak nobar”

Husss, meskipun begitu dia seorang kiai.” sahut Markasan sahabat kecil Gus Antok.

“Kiai senewen” tegas salah satu warga.

Sebagian warga mencoba melupakan ajakan Gus Antok dan kembali memersiapkan perayaan.

Malam takbir pun menggema. Gus Antok mulai memasang layar putih di halaman pondok. Bukan bertakbir, Gus Antok malah menonton sepak bola dengan mengeraskan pelantang cukup keras. Bukan hanya para santri, beberapa warga yang mengaku abangan pun turut menyaksikan pertandingan tersebut. Beberapa orang ramai riuh bersorak sorai menikmati setiap momen pertandingan. Gus Antok adalah penonton terheboh di antara lainnya. Dengan membawa bendera yang besar, Gus Antok mengibarkan ke kanan dan ke kiri sambil berteriak.

“Yo ayo…. Ayo Indonesia…. Kuingin kita harus menang!”

Orang-orang sekitar merasa keheranan dengan tingkah Gus Antok yang memiliki kebiasaan berbeda dari Gus-Gus yang lain. Tentu banyak cibiran yang datang ke pondok, terkhusus pada Gus Antok yang mengadakan nobar pada malam Idul Adha.

Hari kurban datang. Gus Antok hanya berjalan keliling desa menikmati suasana kampung yang riuh sedang menyembelih hewan kurban. Di tengah lengkingan para kambing dan sapi yang memenuhi telinga Gus Antok, Markasan teman masa kecil Gus Antok tiba-tiba datang menghampiri dan bertanya.

“Tok…kamu tidak berkurban kah?”

“Kamu ini San… Markasan, tanya kok ya aneh-aneh kamu ini!”

“Aneh bagaimana maksudmu,Tok? Kamu itu yang aneh. Kamu itu seorang Gus, lho! Masak tidak berkurban”

“He San, syarat berkurban itu apa?”

Markasan tampak kebingungan dengan pertanyaan Gus Antok. Ia berpikir keras seperti orang linglung. Padahal Markasan bukan hanya sekedar teman bermain, melainkan teman ketika masih mondok.

Ehh..ya syarat paling utama berkurban adalah mampu, Tok”

Lha itu sudah tahu”

“Tapi kan kamu mampu. Lihat, Pondokmu besar, mobilmu saja banyak”

“He San, aku itu tak punya apa-apa untuk dikurbankan. Apa yang mesti aku kurbankan?”

“Halah, itu mungkin kelakarmu saja agar tidak berkurban, bukan?

Markasan sangat kesal dengan Gus Antok. Markasan menganggap bahwa jawaban yang diberikan oleh Gus Antok tidak sesuai kenyataan. Sepanjang jalan kembali pulang, Markasan menggerutu hebat hingga orang-orang menganggapnya seperti kerasukan setan. Tidak berhenti hanya di situ saja, Markasan sesekali memaki-maki Gus Antok. Namun, terdapat beberapa momen Markasan merenungi jawaban dari Gus Antok.

“Apa betul yang diucapkan oleh Antok, jika betul apakah tidak menyalahi syariat?”

Markasan tidak cukup puas dengan jawaban dari Gus Antok. Menurut Markasan, pemuka agama seperti Gus Antok akan menggemparkan masyarakat jika dibiarkan begitu saja. Anehnya, Gus Antok tidak memiliki sedikitpun rasa bersalah. Seperti buang hajat, ucapan Gus Antok kepada Markasan mengalir begitu saja.  

Sehari selepas Idul Adha, Markasan kembali menemui teman karibnya itu. Markasan kembali menanyakan tentang kesesatan jawabannya kemarin.

Eh San, kamu datang lagi. Ada keperluan apa?”

“Keperluan apa… keperluan apa… ya jelas menanyakan hal kemarin itu!”

“Oh, kamu belum puas juga, San?”

“Jelas! Aku masih belum terima atas jawabanmu kemarin. Mengapa kamu tidak berkurban?”

“Ya Tuhan, sudah kubilang, aku tak punya apa-apa, San !!”

Wajah Markasan memerah namun mencoba ia tahan. Markasan mencoba memahami apa yang Gus Antok katakan. Meskipun berjejal pertanyaan masih tersimpan di ubun-ubunnya.

“Sudah, begini saja, kamu besok kembalilah ke sini. Saya akan jelaskan” Pungkas Gus Antok.

Mendengar hal itu, Markasan wajahnya semakin mendidih. Dengan terpaksa dia pulang membawa seribu hal yang mengganjal di benaknya.

Keriuhan yang terjadi tidak hanya ada di benak Markasan, warga sekitar pondok pun riuh ramai membicarakan Gus Antok. Seperti biasa, Gus Antok sama sekali tidak merasa bersalah. Bahkan tetangga samping pondok pun terang-terangan mendemo pondok. Mereka menganggap bahwa pondok yang dipimpin oleh Gus Antok adalah sesat.

“Gus, keluarlah…keluarlah!! Gus Antok harus menutup pondok ini!

Buntut dari Gus Antok tidak berkurban, para warga beramai-ramai menuntut pondok Gus Antok ditutup. Sekali lagi, Gus Antok tampak dengan santai menanggapi respon warga yang berdemo.

“Mohon maaf bapak ibu. Apa yang sedang bapak ibu permasalahkan dari saya?”

“Gus Antok tidak berkurban di hari Idul Adha, itu sudah menyalahi aturan agama” teriak salah satu warga dari belakang kerumunan”

Oalah persoalan itu. Sekarang saya bertanya kepada bapak ibu, berkurban itu wajib atau sunah?”

Para warga seketika diam seribu bahasa. Tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaan dari Gus Antok. Satu per satu warga meninggalkan halaman pondok.

Berbeda dengan warga lain, Markasan kembali keesokan harinya menemui Gus Antok. Seperti biasanya, ketika sore hari, Gus Antok berjalan menikmati suasana di pinggir sawah. Markasan dengan perasaan yang memuncak karena jawaban Gus Antok yang lalu, kini datang dengan kepala yang siap meletus.

“Eh San, sejak kapan kamu kemari”

“Tak perlu basa-basi, Tok. Kita lanjutkan yang kemarin lusa! Kali ini aku tak akan membiarkanmu lolos.”

“Baiklah, kita mulai dari mana terlebih dahulu?”

“Mengapa kamu tidak berkurban, padahal kamu pimpinan pondok?”

“Oke, aku akan serius. Pertama, aku tak pernah mengatasnamakan barang-barang dan semua aset dengan namaku, jika seperti itu  aku tak memiliki kewajiban untuk berkurban. Jangankan seluruh aset, aku sendiri saja bukan milikku.

“Maksudmu, Tok?

“Bukankah sesungguhnya kita tidak memiliki apa-apa di dunia ini? Harusnya kita sadar akan hal itu semua. Kalau sudah berada di fase itu, untuk apa kita berkurban. Tuhan pun bukan sesembahan yang membutuhkan kurban kita.”

Mendengarkan penjelasan Gus Antok, Markasan serasa membeku. Tak ada sepatah kata pun yang muncul dari mulut Markasan. Hijabnya tersingkap lepas. Ia seperti dibawa ke alam lain yang lebih luas.

“Lalu bagaimana bisa, setelah manusia berkurban, mereka mengharap keselamatan dari seekor sapi atau kambing untuk melewati shiratal mustaqim”

Markasan menangis tersedu-sedu tersungkur ke tanah. 


Abi Utomo  lahir di Jombang. 22 Mei 1997, tepatnya di sebuah desa sederhana Dusun Kemodo, Desa Dukuhmojo. Aktif  berkesenian di Kelompok Alief Mojoagung  sebuah kelompok teater di Jombang. Abi juga aktif menulis esai, puisi, cerpen, dan ulasan teater. Buku terbarunya adalah antologi cerpen “Cara Melepaskan Hijab” 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat