
Sastra
Rahmat yang Tersembunyi
Cerpen MG Wahid
Oleh MG WAHID
Di sebuah kota kecil di tepi Sungai Nil, Mesir, kampung itu hidup dalam irama yang sederhana: suara adzan dari menara masjid tua berkumandang lima kali sehari, pasar yang riuh oleh para penjual kurma dan kain, serta jalan-jalan sempit berdebu tempat anak-anak berlari tanpa alas kaki. Di balik kesederhanaannya, kampung itu menyimpan dua nama yang selalu jadi perbincangan: Said dan Farid.
Said dikenal sebagai lelaki alim. Ia sering duduk di masjid tua dengan mimbar kayu yang usang, memberi pengajian, mengingatkan masyarakat agar taat. Suaranya tegas, matanya tajam, dan kata-katanya seperti pisau: jelas, memotong, tak memberi ruang bagi yang ragu. Banyak yang segan, sebagian kagum, sebagian lain diam-diam merasa ngeri.
Farid, sebaliknya, dikenal sebagai lelaki rusak. Tubuhnya sering goyah oleh minuman, malam-malamnya dipenuhi asap tembakau dan gelak tawa yang membahana dari kedai gelap di pinggir pasar. Namanya disebut dengan nada rendah, kadang disertai cemooh: "Farid? Ah, tak ada harapan bagi orang itu." Namun anehnya, di balik hidup yang berantakan, Farid menyimpan keyakinan yang tidak pernah padam: Allah itu Maha Rahim, dan rahmat-Nya pasti lebih luas daripada murka-Nya.
Said tidak lahir kaku. Masa kecilnya diwarnai kelembutan ibunya, namun ayahnya adalah seorang qari yang keras. Dari kecil ia ditempa dengan cambuk kata-kata: "Siapa berdosa, pasti celaka. Jangan beri muka pada pelaku maksiat." Kata-kata itu terpatri di benaknya, menjelma menjadi cara pandangnya terhadap dunia. Said tumbuh dengan keyakinan bahwa manusia hanya ada dua: orang taat dan orang sesat. Batasnya jelas, tanpa abu-abu.
Mungkin karena itu, saat ia melihat Farid terhuyung-huyung di jalanan kampung, matanya menyala. Baginya, Farid adalah peringatan hidup, lambang kegagalan manusia.
Suatu malam, Farid mencoba melangkahkan kaki ke masjid. Lampu minyak berkelip di serambi, jamaah duduk bersila mendengarkan Said yang tengah memberi nasihat. Suasana hening, kecuali suara burung malam di luar.
Namun ketika Farid mendekat, langkahnya terhenti oleh tatapan Said.
"Apa yang kau cari di sini, Farid?" suaranya dingin.
Farid menunduk, suaranya bergetar, "Aku hanya ingin duduk, mendengar... siapa tahu hatiku tenang."
Said mengangkat tangannya, menunjuk ke pintu, "Tempat ini bukan untukmu. Jangan nodai rumah Allah dengan jejakmu yang kotor."
Mata para jamaah tertuju pada Farid. Ada yang kasihan, ada yang mengangguk setuju. Farid menggigit bibirnya, lalu berbisik, "Kau yakin Allah tidak akan mengampuniku, Said?"
Said menjawab cepat, "Rahmat Allah tertutup bagimu selama engkau tidak tinggalkan maksiatmu."
Kalimat itu menampar. Farid berbalik, melangkah pergi, sementara gema kata-kata Said terus membekas dalam dada.
Waktu bergulir. Farid terus terperosok, tetapi dalam hatinya selalu ada doa yang samar: "Ya Allah, aku tahu Engkau tahu. Rahmat-Mu lebih besar dari murka-Mu."
Hingga tiga hari sebelum ajal menjemput, ia jatuh sakit. Tubuhnya menggigil di atas tikar usang, tapi bibirnya tetap berbisik doa. Di luar, Sungai Nil beriak pelan—seolah menjawab bisikan Farid yang tak putus: 'Rahmat-Mu lebih besar...' Sementara di kejauhan, suara adzan maghrib berkumandang dari masjid tempat Said sedang memimpin doa.
"Rahmat-Mu... lebih besar dari murka-Mu. Ampuni aku, ya Allah. Aku tak perlu menyebut dosa-dosaku, Engkau sudah tahu. Cukup berikan Rahmat-Mu kepadaku. Semua orang menganggapku hina... bahkan hamba-Mu yang saleh berkata rahmat-Mu jauh dariku. Tapi Engkau yang punya Rahmat. Engkau berikan pada siapa pun yang Engkau kehendaki. Termasuk padaku... jika Engkau mau."
Pelita minyak di kamarnya telah retak sejak lama, tapi nyalanya tak pernah padam—seperti imannya yang terus berdegup di balik pecahan-pecahan dosa.
Teman-teman lamanya, sesama pemabuk, datang menjenguk. Mereka mencoba menghibur, mengajak bercanda. Namun Farid sudah tak lagi menyahut. Ia menatap langit-langit dengan mata berkaca-kaca, bibirnya tak berhenti mengulang doa itu. Ia seperti tenggelam dalam satu harapan: Rahmat Allah.
Takdir mempertemukan: hari itu, Said dan Farid sama-sama meninggal. Said wafat mendadak setelah pulang dari masjid, sementara Farid mengembuskan nafas terakhir di rumahnya dengan doa masih tersisa di bibir.
Kampung pun heboh. Jenazah Said diiringi ratusan orang, para santri, para pedagang, anak-anak kecil berlarian mengikuti rombongan. Sementara jenazah Farid hanya diantar segelintir orang, kebanyakan keluarganya yang renta. Jalan kampung menjadi pemandangan kontras: satu lautan manusia, satu lagi sepi dan sunyi.
Ketika para penggali mulai mencangkul tanah untuk Said, sesuatu yang janggal terjadi. Tanah yang biasanya gembur kini begitu padat dan keras. Setiap ayunan cangkul seperti tak menghasilkan apa-apa, hanya serpihan kecil yang terlepas. Keringat mengalir deras di wajah mereka, napas terengah-engah.
“Kenapa susah sekali? Tanah di sini biasanya lunak,” bisik seorang penggali.
Orang-orang yang menunggu mulai resah. Bisikan pelayat bertebaran: “Aneh sekali… bukankah ini kubur untuk Said, orang yang alim?”
Akhirnya, dengan susah payah, lubang itu selesai juga. Namun rasa lelah yang berlebihan dan keganjilan tanah itu meninggalkan tanda tanya di hati banyak orang.
Seorang penggali berteriak, "Tanah ini seperti batu! Tak pernah aku alami sebelumnya."
Di antara mereka, wajah-wajah bingung, ada pula yang pucat
Sementara di bagian lain dari kuburan, tanpa keramaian, penggalian kubur Farid justru berlangsung lancar. Para penggali hanya butuh beberapa kali ayunan cangkul, tanahnya sudah terbuka. Dari liang yang baru tergali, tiba-tiba tercium bau harum, seperti kasturi. Para penggali saling berpandangan, kaget. Seorang lelaki tua sampai menangis, "Ya Allah... bagaimana ini mungkin?"
Bisik-bisik menyebar. Sebagian orang yang tadinya mengantar Said kini berlarian ingin melihat kuburan Farid. Pemandangan berbalik: kuburan Farid dikerumuni, sementara kuburan Said sedikit sunyi.
Di antara kebingungan para pelayat, seorang penggali kubur tiba-tiba berseru lirih. Tangannya memungut sesuatu yang jatuh dari kain kafan Farid—selembar kertas kecil yang terbungkus plastik tipis, seperti potongan kantong minyak yang dilipat.
Kertas itu usang, tinta di atasnya sebagian pudar, sebagian lagi meleber, seolah menetes bersama air mata penyesalan yang pernah menitik. Ketika dibuka perlahan, tampak sebuah tulisan dengan huruf Arab yang tak rapi—acakadut dan penuh kesalahan, seperti ditulis oleh tangan yang gemetar. Namun, di balik jejak tinta yang goyah itu, masih tersisa makna.
Seorang guru madrasah yang ikut mengiring jenazah, mendekat. Matanya menyipit, membaca perlahan tulisan yang compang-camping. Sesekali ia menghela napas, mengucapkan istighfar lirih. Lalu ia berkata, “Ini… ini hadis Nabi. Meski ditulis dengan banyak huruf yang salah, aku bisa mengenalinya.”
"Al-fajiru ar-raaji rahmata Allahi ta‘ala, aqrabu ila Allahi ta‘ala minal ‘aabidi al-muqanniti."
“Seorang pendosa yang masih berharap rahmat Allah, lebih dekat kepada Allah daripada seorang ahli ibadah yang membuat orang lain putus asa dari rahmat-Nya.”
Hening menyelimuti seketika. Beberapa wajah menunduk. Lalu seorang lelaki tua, pengikut setia pengajian Said, bersuara dengan nada berat, “Aku pernah melihat kertas itu… Waktu itu, Farid datang hendak ikut duduk di majelis pengajian Said. Tapi Said menolaknya. Sebelum ia melangkah pergi, aku sempat melihatnya menyalin hadis ini di atas kertas lusuh. Tulisannya buruk sekali, namun matanya saat itu penuh keyakinan, seakan-akan ia sedang menggenggam seluruh harapannya pada Allah.”
Saudara Farid yang berdiri di dekat liang lahad menambahkan dengan suara tercekat,
“Benar. Tiga hari sebelum meninggal, Farid menggenggam kertas ini begitu erat. Kami sudah berusaha melepaskannya setelah ia wafat, tetapi tangannya tak bisaa terbuka. Seakan ia ingin mati bersama secarik kertas itu. Karena itu kami biarkan saja.”
“Lagipula, itu memang kebiasaannya. Setiap kali menulis catatan penting, Farid selalu menyimpannya di dalam plastik bekas—kadang pembungkus roti, kadang kantong gula. Ia bilang, ‘Biar tak cepat rusak kalau kena air.’ Rupanya kertas inilah yang ia genggam hingga akhir. Saat jenazah diturunkan, entah bagaimana, plastik itu terlepas dan jatuh…”
Mata sebagian pelayat mulai basah. Tidak ada yang berani melanjutkan kata. Hanya angin sore yang berhembus pelan, seolah menyapu hati mereka yang tiba-tiba dilanda gelombang penyesalan.
Di atas pemakaman, matahari siang yang terik justru terasa dingin menyaksikan keanehan itu. Bau harum dari liang Farid semakin kuat, menyapu debu-debu keraguan yang selama ini mengepul di kampung itu, sementara tanah di liang Said tetap mengeras bagai mengunci rahasia. Di kejauhan, menara masjid berdiri diam—saksi bisu yang sama yang melihat Farid ditolak kini menyaksikan bumi menerimanya dengan lapang.
Beberapa orang mulai teringat masa lalu. Ada yang menyaksikan sendiri ketika Said diusir ayahnya karena sekali saja ia berani membela kawannya yang salah. Sejak itu Said tumbuh dengan keyakinan bahwa ketegasan adalah kebenaran. Ada pula yang mengingat Farid saat masih muda: duduk sendirian di tepi Sungai Nil, menyanyikan syair sambil menatap bintang. “Ia punya hati lembut,” gumam seorang kawan lama, “tapi terseret oleh lingkungannya.” Kenangan itu membuat kontras hari ini semakin menusuk.
Orang-orang terdiam. Ada yang gemetar, ada yang menutup wajah dengan kedua tangan. Bisik-bisik menjelma jadi gelombang: "Apakah ini peringatan bagi kita?"
Sebagian langsung tersungkur, menangis, beristighfar. Mereka sadar: jangan pernah menghalangi rahmat Allah bagi siapa pun.
Namun sebagian lain menggeleng, bersikeras, "Itu hanya kebetulan! Jangan bawa-bawa perkara ghaib." Suara mereka keras, tapi wajah mereka pucat, mata gelisah.
Ada juga yang marah, menunjuk-nunjuk ke arah liang Said. “Jangan cemarkan nama orang alim! Semua ini ujian, jangan terpedaya!” teriak seorang murid fanatik. Tetapi semakin ia berbicara, semakin banyak orang yang menunduk, tak sanggup membantah bau harum dari liang Farid yang masih menyeruak.
Kampung itu berubah. Ada yang semakin mendekat kepada Allah, ada pula yang tetap menolak. Tetapi tak seorang pun bisa melupakan hari ketika bumi menolak Said, dan menerima Farid dengan harum.
"Malam turun di kota kecil itu. Seorang kakek mengelus kepala cucunya, berbisik tentang rahmat yang tak terduga. Di luar, Sungai Nil terus mengalir membawa kisah ini ke laut abadi. Dan di serambi masjid, secercah cahaya terakhir memantul dari sampul mushaf yang terbuka di halaman surah Ar-Rahman—seperti pelita yang tetap menyala meski minyaknya hampir habis..
Dan di tepian Sungai Nil, air terus mengalir membisikkan rahasia: bahwa kadang, cahaya paling terang justru datang dari pelita yang tak pernah padam meski minyaknya hampir habis.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.