Masyarakat adat Kampung Cirendeu memainkan alat musik tradisional karinding di Leuwigajah, Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat, Selasa (21/2/2023). | ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA

Safari

Abah Olot dan Karinding

Karinding dulu sempat dinyatakan 'mati'. Abah Olot berusaha 'menghidupkannya'.

Pondok kayu itu berdiri di dekat kompleks Pemakaman Taneuh Beureum, kawasan Parakanmuncang, Sumendang. Penduduk setempat menyebutnya Saung Giri Karenceng.

Siang itu, di depan bangunan tersebut, seorang laki-laki berambut gondrong terlihat asyik dengan kesibukannya. Sambil duduk di atas gelondongan batang pohon, tangannya tampak lincah menggerak-gerakkan pisau raut, menghaluskan sepotong bambu sepanjang 20 cm. Tak butuh waktu lama, jadilah potongan bilah itu sebuah karinding, alat musik tradisional khas Sunda.

Laki-laki itu adalah Enang Sugriwa (48 tahun), yang akrab disapa Abah Olot. Hampir setiap harinya, dari pukul 08.00-18.00 WIB, ia membuat karinding di situ. Di dinding luar dan balai-balai saung miliknya itu, terpampang sejumlah piala dan piagam penghargaan.

Abah Olot mulai giat membuat karinding sejak 2004 lalu. Berangkat dari rasa prihatin karena alat musik ini sudah dilupakan orang. Terbukti, hari ini masih banyak orang Sunda yang tidak tahu apa itu karinding. "Bahkan, karinding dulu sempat dinyatakan 'mati'. Karena itulah saya coba menghidupkannya kembali," tuturnya.

photo
Masyarakat adat Kampung Cirendeu memainkan alat musik tradisional karinding di Leuwigajah, Kota Cimahi, Provinsi Jawa Barat, Selasa (21/2/2023). - (ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)

Karinding dibagi menjadi tiga segmen. Bagian pertama disebut pancepengan, yakni tempat pegangan tangan saat memainkan karinding. Bentuknya bisa dibuat beragam. Ada yang polos, ada pula yang seperti kujang, senjata tradisional Sunda. Yang kedua adalah cecet ucing alias ekor kucing, bagian paling tipis pada karinding yang bentuknya menyerupai jarum. Sementara bagian ketiga dinamai paneunggeulan.

Cara memainkan alat musik ini pun terbilang unik. Karinding diletakkan di mulut, dengan posisi kedua bibir mengapit ruas cecet ucing. Setelah itu, jari tangan menabuh paneungeulan sehingga menyebabkan jarum bergetar. "Jangan menabuhnya terlalu keras ataupun digosok. Cukup buat cecet ucing memantul dengan baik," kata Abah Olot.

Jika dilakukan dengan benar, akan keluar bunyi-bunyian menyerupai suara tonggeret. Bunyi ini terbentuk karena udara di rongga mulut bergetar pada celah-celah resonator.

Menurut bapak tiga anak itu, belajar memainkan karinding tidak selalu mudah. Sebagian orang membutuhkan waktu lama untuk menguasai alat musik ini. "Ada yang dalam tiga hari sudah bisa, tapi ada pula yang sampai berbulan-bulan belum bisa-bisa juga," imbuhnya. Tak jarang pula mereka yang belajar menggunakan alat musik ini mengalami tenggorokan kering hingga sariawan.

photo
Seniman Bejo Sandy menata alat musik tradisional harpa mulut atau biasa disebut Karinding di Galeri Bejo di Malang, Jawa Timur, Sabtu (19/2/2022). - ( ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto/nym.)

Lazimnya, karinding dimainkan bersama instrumen musik bambu tradisional lainnya, seperti kohkol, celempung, toleat, bangkong reong, dan goong tiup. Namun pada zaman dahulu, ada juga yang menggunakannya untuk mengusir serangga atau hama di sawah.

Seperti dikutip dari situs milik komunitas Karinding Attack, di kalangan masyarakat umum, karinding memang dikenal sebagai alat musik pertanian, di samping alat ritual yang dimainkan dalam berbagai acara. Di kalangan pemuda Tatar Sunda, karinding populer sebagai alat musik pergaulan. Di Banten, karinding juga menjadi permainan anak-anak.

Aslinya, alat musik ini dibuat dari pelepah aren. Tapi, Abah Olot lebih memilih bambu jenis gombong yang sudah tua, karena bahan ini lebih mudah diperoleh. Selain lebih keras, jenis ini juga lebih lentur dibandingkan bambu lainnya, sehingga amplitudo yang dihasilkan cecet ucing pun lebih panjang. "Bambu lain juga bisa, tapi hasilnya tidak sebaik gombong," katanya.

Meski bentuknya sangat sederhana, untuk membuat sebuah karinding dengan kualitas baik ternyata membutuhkan kesabaran. Bambu ini harus dijemur dulu minimal satu bulan. Atau cara lainnya adalah dengan mendiamkannya selama enam bulan hingga satu tahun. Setelah dirasa "matang", barulah bambu-bambu itu dipotong dan diraut.

Untuk setiap satu buah karinding buatannya, pria itu mematok harga Rp 50 ribu. Pelanggan juga diberi tabung bambu pelindung karinding yang berukiran tanda tangan sang seniman. "Ini brand dari saya," ujarnya.

photo
Sejumlah pemuda memainkan musik Karinding pada acara Workshop Seni Buhun di Teater Tertutup Taman Budaya Jawa Barat, Bandung. - (FOTO ANTARA/Agus Bebeng)

Keahlian ini diwarisi Abah Olot dari sang ayah. "Dulu bapak saya yang sering bikin. Tapi karena sudah tua, dia berhenti. Saya hanya melanjutkannya," kisahnya. Kini, di samping membuat karinding, ia juga membuat alat-alat musik tradisional berbahan bambu lainnya.

 

Merangkul Kaum Muda

Usaha Abah Olot mempertahankan kesenian ini ternyata membuahkan hasil. Sekarang, karinding mulai diminati kaum muda. Hampir setiap hari, Saung Giri Karenceng menjadi tempat berkumpul anak-anak Awi Saweulas, kelompok seni tradisional Sunda yang beranggotakan delapan orang remaja berusia 17-18 tahun. "Tempat ini sudah seperti rumah sendiri buat kami," ujar Danis (18), salah satu anggota Awi Saweulas.

Di saung ini, Danis dan kawan-kawan tak sekadar berlatih memainkan karinding dan beragam instrumen musik bambu lainnya. Ada semacam tradisi yang mereka lakukan di tempat ini. Biasanya, sehabis latihan, kegiatan diisi dengan ngopi dan makan nasi liwet. Kadang-kadang, mereka juga menginap di pondok berukuran 8x8 meter tersebut.

Kelompok ini kerap pula diundang untuk mengisi berbagai acara. Mulai dari hajatan, festival, acara-caara sekolah, hingga pagelaran seni. "Kalau dibayar syukur, kalau nggak Alhamdulillah. Buat kami mah, yang penting ingin melestarikan budaya saja," ucap Indra (18) alias Bopak, anggota Awi Saweulas lainnya.

Abah Olot memang sengaja merangkul kalangan muda. Karena, menurut dia, kreativitas yang mereka miliki sangat potensial untuk mengembangkan kesenian Sunda, terutama karinding, yang dulunya sempat menjadi legenda. Dalam mewariskan ilmunya, Abah Olot pun tak pilih-pilih orang. Bahkan, di antara remaja yang sering mangkal di saungnya itu ada yang pernah menjadi anggota geng bermotor.

Abah Olot juga rutin melatih anak-anak sekolah yang ada di sekitar Saung Giri Karenceng dengan kesenian Sunda. Ia melatih mereka tiga kali dalam sepekan, yakni setiap malam Rabu, malam Jumat, dan malam Ahad. Untuk ini, ia tak memungut bayaran atau upah sepeser pun.

Hari ini, sejumlah komunitas musik underground di Bandung, semisal Jasad pun terpesona pada karinding. Dalam beberapa kali manggung, mereka menampilkan pertunjukan karinding yang dikolaborasikan dengan musik cadas. Tidak sampai di situ saja, pada Maret 2009 lalu, beberapa komunitas metal di Ujungberung akhirnya membentuk Karinding Attack (Karat). Sebuah band yang menggabungkan unsur tradisional karinding dengan berbagai unsur musikalitas modern.

Disadur dari Harian Republika edisi 25 November 2012 dengan reportase Ahmad Islamy Jamil

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Di Kaluppini, Perempuan Adat Menjaga Tradisi

Perempuan di Kaluppini tak sekadar mengurus rumah tangga.

SELENGKAPNYA

Pangalengan, Swiss Tanpa Salju

Ada sejuta identitas yang kita bisa sematkan pada Pangalengan. 

SELENGKAPNYA

Banyak Jalan Menuju Pangalengan

Lokasinya hanya berada di kisaran 40-an kilometer dari pusat Kota Bandung.

SELENGKAPNYA