Cerpen Hantu-Hantu Dalam Kepala | Republika/Daan Yahya

Sastra

Hantu-Hantu dalam Kepala

Cerpen A Rantojati

Oleh A RANTOJATI

 

Jika ditanya soal siapa yang pernah melihat hantu, orang-orang Jatimaras tentu akan bersipandang dan menggeleng seperti gelengan anak-anak yang ditanyai mengapa hasil 2 x 3 lebih besar daripada 2 + 3. Tak seorang pun dari mereka akan mengada-ada dan mengaku pernah melihat hantu. Bagi orang Jatimaras ucapan adalah doa, maka mereka pantang berucap yang tidak-tidak, termasuk soal hantu. Bagi mereka ucapan seperti mantra yang bisa mngadakan yang tiada, dan meniadakan yang sudah ada. Maka mereka percaya sekali saja mengaku pernah melihat hantu, berarti mendoakan diri mereka sendiri bertemu hantu—melihat ketakutan itu. Mereka sama sekali tidak ingin bersipandang dengan hantu, sebab kata orang-orang tua zaman dahulu jangan pernah berurusan dengan hantu: ketidakpastian yang entah wujudnya itu.

Orang-orang Jatimaras tak paham betul seram dan buruknya rupa hantu seperti yang dikabarkan orang-orang dari kampung sebelah yang jauh lebih dulu punya televisi. Dari televisi itu orang-orang kampung sebelah mengerti wujud hantu, mulai dari yang malu-malu menampakkan diri seperti kabut dan bersuara siut sampai yang terang-terangan dengan wajah hancur dan mata yang nyaris coplok kemudian memburu orang-orang demi balas dendam. Tapi orang-orang Jatimaras tidak paham itu. Yang mereka pahami hanyalah tidak banyak yang mereka tahu soal hantu. Yang mereka pahami soal hantu hanyalah bahaya dan kemungkinan mereka meninggalkan tulah serta mengambil alih pikiran mereka. Sekali orang kena hantu, pikiran jadi kacau dan gila seperti cerita orang tua yang sudah-sudah.

Setelah bertahun-tahun kepercayaan soal hantu itu mengakar di hati orang-orang Jatimaras, tibalah petaka itu. Orang-orang Jatimaras begtiu saja jadi geger ketika seorang anak perempuan menangis tersedu di bawah pohon randu di ujung kampung yang jauh dari perhatian orang-orang. Kar yang selepas subuh berkepentingan ke ladang di ujung kampung mendapati suara tangis sayup-sayup. Kar yang memang orang Jatimaras tak berpikir macam-macam soal suara hantu, tetapi suara tangis itu tetap menahannya dan membuatnya penasaran. Dalam remang lepas subuh mata Kar menyisir semak dan perdu di ujung kampung. Tak ada apa-apa. Hanya suara samar yang terdengar. Angin dingin dan basah udara membuat Kar menaruh cangkulnya dan mengapit kedua telapak tangannya pada ketiak. Setelah berjalan ke utara menyusuri belukar yang tingginya sepaha—sekitar dua puluh meter dari jalan setapak yang dilewatinya, Kar tertegun. Ia dapati anak perempuan itu. Kar tidak mendekat. Ia langsung berbalik arah dan lari ke tengah kampung.

"Celaka! Hantu! Ada hantu!” Orang-orang mematung. Darah tersirap dan membuat wajah mereka pucat tegang.

“Sembarangan! Hati-hati mulutmu!”

“Sumpah, Kang! Ada anak perempuan menangis di bawah randu tua! Pasti hantu.” Kar yang memang tak tahu tapi penasaran rupa hantu memberi penjelasan dengan napas tersengal.

Kar beserta orang-orang Jatimaras lain tergopoh menyusuri jalan setapak ke ujung kampung. Anak perempuan masih duduk memeluk lutut di bawah pohon randu. Wajahnya tersembunyi di antara lutut dan tubuhnya. Ada tangis terdengar samar. 

Orang-orang Jatimaras selain Kar, laki dan perempuan, yakin itu bukan hantu sebab hantu hanya bermukim dalam rahasia sementara anak perempuan itu kasat mata dan bisa dijamah. Maka begitu saja orang-orang Jatimaras mendekat dan bertanya dari mana ia datang. Wajah gadis terangkat. Air mata meleleh dari matanya yang kosong. Orang-orang Jatimaras kembali bertanya dari mana asalnya. Anak hanya menggeleng tanpa suara. Ia tak bersuara. Maka orang-orang Jatimaras berunding dan memutuskan untuk membawanya ke kampung dan menempatkannya di salah satu rumah warga. Para perempuan membimbing anak itu ke kampung sementara Kar dan beberapa laki-laki bertolak ke balai desa untuk melapor. Jadilah pagi itu arak-arakan dari randu tua menuju kampung.

Tak satupun tahu siapa dan dari mana anak perempuan itu. Orang hanya menduga-duga anak perempuan itu tersesat atau memang dibuang oleh orang tuanya dari kampung jauh. Sementara itu orang-orang kampung sebelah menganggap anak itu diculik hantu bengaok di pohon randu. Tak ada perdebatan dan perbantahan sebab orang Jatimaras memang pantang berucap yang tidak-tidak. Persoalan anak perempuan pun selesai di balai desa sebab polisi dan orang-orang yang berkepentingan membawa anak itu. Anak perempuan pergi, tetapi gosip di luar kampung soal anak culikan bengaok masih bertahan dan semakin menyebar. Orang-orang Jatimaras yang terkenal menggeleng ketika ditanya soal hantu jadi bulan-bulanan. Orang-orang luar Jatimaras mulai beranggapan bahwa sebenarnya hantu-hantu memang bermukim di Jatimaras, makanya segala rahasia soal hantu menjadi tabu bagi orang Jatimaras. Orang-orang Jatimaras, terutama yang muda-muda, merasa kesal dan geram sebab tuduhan yang tidak-tidak soal mereka.

Semakin hari semakin bertambah pengakuan orang-orang soal hantu pohon randu di ujung Jatimaras. Setiap hari Jumat ada tradisi baru di pelataran masjid seusai shalat Jumat. Orang-orang berkepentingan berkumpul di depan masjid sambil menceritakan kabar terbaru soal hantu pohon randu. Seminggu setelah penemuan anak perempuan menangis di bawah pohon randu, ada kabar bahwa Marto, orang kampung tetangga sebelah utara Jatimaras, yang lewat jalan setapak dekat pohon itu ketemper kendaraan gaib. Marto begitu saja terpental dan kejang-kejang. Tubuhnya terkapar di atas rerumputan jalan setapak Jatimaras. Marto masih beruntung sebab orang Jatimaras kebetulan lewat dan menemukannya. Ia pun ramai-ramai digotong ke ambulans yang menunggu di jalan desa. Lima hari setelah Marto jatuh, ada seorang perempuan yang berteriak-teriak dekat pohon randu dan menangis histeris. Perempuan yang datang dari kampung jauh itu hanya diam dengan tatapan kosong ketika ditanyai orang-orang Jatimaras yang menemukannya. Tak ada jawaban. Ia akhirnya juga diantar ke balai desa dan dibawa oleh polisi dan orang-orang yang berkepentingan. 

Yang mencengangkan lagi adalah peristiwa tiga hari setelah itu. Pada sore Kamis seorang laki-laki tak dikenal begitu saja memanjat randu itu. Ia mengalungkan tambang pada lehernya dan mengikatkan ujung tali yang lain pada batang pohon. Kar yang memang rutin lewat jalan setapak di ujung kampung kebetulan mendapati laki-laki itu di atas pohon dan mau melompat.

“Kang, Turun! Ketek!” teriakan Kar menarik perhatian orang-orang di ladang yang agak jauh. Laki-laki itu masih diam memperhatikan orang-orang. Orang-orang saling bertanya siapa laki-laki itu. Mereka saling menggeleng. Muring-muring dan misuh-misuh. Orang-orang berpikir lelaki itu bakal bunuh diri di pohon randu.

Asu! Kalau mau, modar saja di rumahmu!”

Orang-orang menggeleng dan ikut meneriaki lelaki di atas randu. Wajah lelaki itu pucat tegang seperti kriminal yang digelandang polisi sambil diarak orang di jalanan. Pada saat-saat terakhir, mata lelaki itu jadi sembab dan mengalirkan air mata. Seperti aliran mata itu ia mengempaskan diri dari pohon randu. Mampus! Orang-orang berteriak tetapi tidak lama kemudian disusul ucapan syukur. Lelaki itu tak jadi mati tergantung sebab ikatan tambang yang ia buat pada pohon tidak kuat. Lelaki itu lolos dari maut. Hanya saya tubuhnya jatuh berdebum ke tanah dan semak yang tingginya sepaha. Orang-orang segera menghampiri dan memeganginya. Orang-orang bertanya kepadanya, tetapi lelaki itu hanya diam. Ia pun digelandang ke balai desa dan akhirnya dibawa polisi dan orang-orang yang berkepentingan.

 

***

Para lelaki di depan masjid semakin khusyuk bertukar kabar soal hantu pohon randu. Sebab banyak orang-orang kena pengaruh hantu. Lantas orang-orang menjuluki hantu randu itu sebagai setan ngaru. Semua mengangguk pertanda setuju. Akan tetapi Kar yang dari tadi mengikuti pembicaraan itu begitu saja misuh. Orang-orang kampung luar Jatimaras baginya terlalu mengada-ada. Kar pun jadi pusat perhatian. Orang-orang menatapnya dengan mata nyalang. Mereka pun berunding dan menantang orang Jatimaras untuk mengadakan pembuktian pada malam Jumat. Kar dan orang-orang Jatimaras harus menunggui pohon randu itu semalam suntuk. Jika tak ada yang ganjil, orang-orang Jatimaras berhak minta ganti rugi dari orang-orang yang bergosip soal hantu pohon randu.

Malam petaka itu pun datang. Orang-orang Jatimaras telah mempersiapkan diri untuk pembuktian itu. Tikar-tikar dihamparkan mengatasi tanah lempung dan rumput-rumput yang berjarak 30 meter dari pohon randu. Atap-atap dari jerami ditinggikan untuk melindungi orang-orang dari hujan dan turunan embun tengah malam. Lampu-lampu teplok dan petromaks dinyalakan. Para laki-laki dari Jatimaras dan kampung tetangga yang berkepentingan duduk berbaur menanti tengah malam tiba. Saat itu lampu-lampu akan dimatikan dan orang-orang harus diam dan mengamati randu itu sampai pagi tiba. 

Kar duduk paling depan sebab dialah yang membawa kabar tantangan pembuktian hantu ngaru pohon randu. Lampu telah padam dan orang-orang hanya berbisik jika diperlukan. Angin malam berembus dan meninggalkan jejak gigil pada tubuh orang-orang. Tak ada penerangan. Hanya cahaya bulan baru yang remang menembusi daun-daun. Kuap mulai terdengar samar. Semua kantuk tertahan. Dalam kantuk, mata semua orang semakin waspada. Derak daun sedikit saja membuat darah tersirap. Semak-semak diam. Jangkrik-jangkrik diam. Hanya suit angin terdengar di daun-daun.

Ao, ao, ao!” Darah orang-orang tersirap dan timbul bisik-bisik. Hanya suara kucing liar bertarung yang seperti suara tangis bayi merah. Semak-semak dekat randu bergoyang dalam remang. Orang-orang mulai waspada. Mata-orang-orang dalam kantuk semakin perih dan mengeluarkan air. Terdengar orang saling berbisik. Kar yang dari tadi siaga di baris depan begitu saja bangkit dan mengendap-endap ke arah semak itu. Tubuh Kar hilang dalam gelap sebab cahaya bulan baru begitu samar. 

Setelah nyaris sampai di pohon randu, Kar begitu saja tak terlihat seperti ditelan kegelapan yang entah. Orang-orang saling bersitatap dan menggeleng. Bisikan dami bisikan saling sambut. Dalam gelap suara bisikan itu seperti desis ular yang berbaur dengan siut angin. Suasana semakin tegang sebab Kar tak juga kembali dari semak-semak yang tingginya hanya sepaha. Sesekali tampak kilatan cahaya dari langit pertanda mendung mulai menghimpun diri. Hawa dingin semakin merapat ke tubuh orang-orang. Bayang-bayang pohon di bawah bulan baru yang samar melipatgandakan rasa cemas di hati orang-orang. Napas orang-orang semakin berat di tengah serangan kantuk yang hebat. Semua sunyi, bahkan bisik-bisik tak terdengar lagi. 

“Kar!” Seseorang coba memanggil Kar yang lenyap dalam gelap. Tak ada jawaban. 

“Kar!” Tetap tak ada jawaban. Orang-orang bersipandang. Hati mereka semakin cemas dan rentan. Mereka berpikir jangan-jangan Kar disekap hantu, tetapi orang-orang Jatimaras segera menutup mulut mereka dengan telapak tangan agar pikiran mereka tak terucap.

Kersik dari semak-semak terdengar tiba-tiba. Ada yang melesat begitu saja ke arah orang-orang.

“Setan! Bengaok!” Kar melompat. Orang-orang yang dari tadi disekap kecemasan, ketegangan, dan rasa kantuk begitu saja tersirap. Rasa penasaran bercampur dengan serangan panik. Kar yang begitu saja melesat dari semak-semak menerobos kumpulan orang-orang seperti orang gila. Tanpa sempat bertanya dan pikir panjang, orang-orang mengekor Kar dan lari seketika. Kerumunan orang cemas mendadak jadi maraton dini hari. Entah mereka mengejar Kar atau merasa dikejar sesuatu yang mengejarnya. Tak ada yang tahu pasti apa yang membuat Kar lari dan berteriak kesetanan. Acara pembuktian malam itu berakhir begitu saja tanpa sepatah kata penutup. Tikar-tikar tergeletak. Atap-atap jerami berserak. Lampu-lampu yang ditinggalkan begitu saja perlahan menjadi dingin dipeluk udara.

Sebelum pintu-pintu rumah di Jatimaras terbuka dan berbagai pertanyaan dilemparkan kepada Kar, kepala orang-orang dipenuhi sangkaan yang macam-macam. Bengaok? Orang-orang Jatimaras tak pernah melihat hantu, apalagi hantu yang bernama bengaok. Tentu orang-orang Jatimaras pernah mendengar nama-nama hantu beserta gambaran wujudnya dari orang-orang di luar kampung yang lebih dulu punya televisi. Dari televisi itulah orang-orang luar Jatimaras tahu nama-nama hantu beserta perwujudannya. Kar tentu tak salah betul menyebut nama itu kalau bertemu dengan hantu yang rupanya disebut bengaok itu. Maka muncul perasaan aneh dalam dada orang-orang Jatimaras. Mereka meragukan Kar tetapi tidak juga bisa membantahnya tanpa bukti. Hanya Kar dan Tuhan yang tahu apakah Kar benar-benar melihat hantu itu. Keraguan itu bertambah-tambah ketika kabar Kar bertemu hantu bengaok tersebar di kampung-kampung sebelah. Jangan-jangan Kar memang melihat hantu.

Orang-orang Jatimaras jadi ingin tahu bagaimana rasanya bertemu hantu, tetapi mereka sadar itu tabu. Setidaknya mereka ingin tahu bagaimana rupa hantu itu. Maka orang-orang Jatimaras begitu saja mengimpikan punya televisi seperti orang-orang di kampung lain sehingga bisa melihat rupa hantu dari televisi. Akan tetapi orang-orang Jatimaras tahu betul, punya televisi bukan perkara mudah sebab butuh cukup uang untuk membelinya.

Maka berbondong-bondonglah orang Jatimaras ke kampung sebelah untuk numpang nonton televisi pada hari-hari disiarkannya acara hantu, mulai dari acara uji nyali hingga film hantu dengan selingan berita terkini soal kenaikan harga beras dan cabai atau persidangan kasus pembuangan anak perempuan oleh kedua orang tuanya. Selepas nonton, pikiran mereka dipenuh-sesaki oleh hantu. Mereka berbondong-bondong kembali ke rumah sambil membawa hantu-hantu di dalam kepala masing-masing. Satu per satu mereka masuk ke rumah dengan perasaan sepi dan merasa terawasi. Dalam tidur mereka juga hantu-hantu berkeliaran seperti film di televisi.

Maka jika ditanya siapa yang pernah melihat hantu, orang-orang Jatimaras tentu akan bersipandang dan menggeleng seperti gelengan anak-anak yang ditanyai soal mengapa hantu di televisi hanya muncul malam hari, tidak siang. Tak seorang pun dari mereka akan mengada-ada dan mengaku pernah melihat hantu karena tabu. Bagi orang Jatimaras ucapan adalah doa, maka mereka pantang berucap yang tidak-tidak, termasuk soal hantu. Ucapan seperti mantra yang bisa mengadakan sesuatu yang tiada, dan meniadakan yang sudah ada. Maka mereka hanya berani mengintip hantu dari televisi sebab mereka sama sekali tidak ingin bersihadap dengan hantu. Dengan begitu mereka bisa tahu nama dan rupa hantu tanpa melanggar wasiat orang-orang tua zaman dahulu: jangan sekali-kali berurusan dengan hantu, ketidakpastian yang entah wujudnya itu.

 

Bengaok:  Hantu yang suka menculik anak-anak dalam kebudayaan masyarakat Cirebon

Ketek: Monyet

Ngaru: setan yang suka memberi pengaruh yang tidak-tidak kepada manusia

 

A. Rantojati menulis cerita pendek dan puisi. Sejumlah puisinya terhimpun dalam antologi bersama Buku Nasib (2015)
dan Merayakan Pagebluk (2020). Selain menulis, ia juga bergelut sebagai penyunting naskah lepas dan riset. Penulis kelahiran Cirebon ini bermukim di Serang sambil mengamati bunga sepatu di pekarangan. Ia bisa disapa melalui akun
instagramnya, @anto.rantojati, atau pos-el anto.rantojati@gmail.com.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat