Puing-puing sisa Kraton Surosowan di Serang, Banten. | Republika/ Wihdan

Safari

Menyusun Puzzle Banten Lama

Sebuah perjalanan menjelajah kawasan seluas 4.900 hektare untuk menapak tilas Banten Lama.

Setumpuk data dalam lembaran fotokopian dan buku disodorkan kepada kami. ‘’Situs Banten Lama dengan peninggalannya tidak berhimpun, tapi tersebar di kawasan Banten Lama,’’ kata seorang pegiat sejarah Laboratorium Bantenologi.

Chotibul Umam, nama pengamat Banten itu, kami temui di kampus Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sultan Maulana Hasanudin, Kota Serang. Laboratorium Bantenologi merupakan lembaga penelitian yang tengah gandrung melakukan berbagai penelitian tentang keberadaan situs-situs kota tua Banten sejak 2007.

Kami segera paham maksud Umam. Luas kawasan Banten Lama mencapai 4.900 hektare. Dalam kawasan itu ada beberapa sisa bangunan keraton, puing dan batu peninggalan, serta beberapa benteng pertahanan yang masih menyisakan sisa bangunannya. Artinya, butuh waktu untuk menelusuri tiap jengkal kawasan yang menancapkan tonggak Islam pada 1525 tersebut. Perjalanan ziarah dan jelajah sejarah akhirnya kami lakukan keesokan hari. Atas saran Umam yang juga dosen di Universitas Banten Jaya itu, dua pemandu lokal dari mahasiswa jurusan sejarah IAIN Sultan Maulana Hassanudin menemani perjalanan kami.

photo
Puing-puing sisa Kraton Surosowan di Serang, Banten. - (Republika/Wihdan)

Keraton Surosowan

Sekitar 20 menit perjalanan dari Alun-Alun Kota Serang, kami sampai di gapura setinggi delapan meter tanda masuk kawasan Banten Lama. Bangunan pertama kali yang kami sambangi adalah Keraton Surosowan. Konon di keraton inilah pusat pemerintahan dan kerajaan Banten mencapai puncak dan muramnya sepanjang abad ke-16--19.

Dalam buku Halwany Michrob, Catatan Masa Lalu Banten (1993), Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati) bersama anaknya, Maulana Hasanuddin, berhasil menaklukkan Banten Girang (3 km dari Kota Serang) pada 1525. Banten Girang yang saat ini berada di Kecamatan Cipocok Jaya, Kota Serang, merupakan bagian dari Kerajaan Hindu Pajajaran yang situsnya banyak kita jumpai di daerah Bogor.

Singkat cerita, penaklukan Banten Girang membuat Sunan Gunung Jati menginstruksikan Maulana Hasanuddin memperluas kekuasaan Islam di Banten dari daerah pedalaman ke daerah pesisir. "Ada kemungkinan, ini untuk melanjutkan perjuangan syiar Islam Sunan Ampel yang telah lebih dulu datang di kawasan pesisir," kata budayawan dan sejarawan Banten, Yadi Ahyadi. Pergerakan pusat pemerintahan Banten dari daerah pedalaman ke daerah pesisir dilakukan pada tanggal 1 Muharam 933 Hijriah (8 Oktober 1526).

photo
PPuing-puing sisa Kraton Surosowan. - (Republika/Wihdan)

Awalnya, Banten merupakan kadipaten yang termasuk dalam Kerajaan Demak. Pada 1552, Banten semakin kokoh dan memperluas kekuasaannya hingga Ujung Kulon dan Lampung. Maulana Hasanuddin dinobatkan sebagai sultan pertama Banten dengan gelar Panembahan Surosowan. Tahun itu pula yang diyakini mengawali pondasi Benteng Surosowan ini.

Berdirinya Keraton Surosowan, kata Yadi, juga menjadikan daerah Banten Lama ini sempat dikenal sebagai Negeri Surosowan. Secara administratif, situs Keraton Surosowan atau yang kini bercagar atas nama Benteng Surosowan terletak di Desa Banten, Kecamatan Kaseman, Kabupaten Serang.

Sisa reruntuhan

Tidak seperti keraton di Yogyakarta ataupun Cirebon, Jawa Barat, yang masih terawat, Keraton Surosowan hanya menyisakan fondasi dan reruntuhan bangunan. Butuh imajinasi lebih saat membayangkan kemegahan Kesultanan Banten pada Abad ke-16 dan ke-17. Imajinasi kemegahan mungkin bisa diawali dengan gambaran benteng berupa tembok setinggi tiga meter dengan ketebalan lima meter, kokoh tentunya.

Tembok ini dibangun Sultan Maulana Yusuf (1570--1580) sebagai Sultan Banten kedua. Komposisi tembok dibuat dari bata dan batu karang yang direkatkan dengan kapur layaknya representasi kejayaan kerajaan Islam. Hal ini selaras dengan cerita yang dituangkan dalam Babad Banten. Tertulis bahwa Keraton Surosowan berdiri dan dibangun dengan kata "Gawe Kuta Baluwarti Bata Kalawan Kawis" (membangun kota dan perbentengan dari bata dan karang).

photo
Puing-puing sisa Kraton Surosowan di Serang, Banten. - (Republika/Wihdan )

Sebenarnya ada tiga pintu masuk menuju ke dalam keraton. Pintu utama masuk ke Keraton Surosowan terletak di sebelah utara, menghadap ke bekas alun-alun keraton, dan gerbang kedua serta ketiga di sebelah timur dan selatan. Namun, semua gerbang telah dikunci rapat oleh museum kepurbakalaan setempat. Ada saja beberapa sampah dan sisa-sisa minuman di dalam kompleks bangunan bersejarah ini.

Yang lebih mengherankan, ternyata kompleks dalam keraton menjadi lapangan untuk bermain sepak bola antarkampung. Selain sisa-sisa reruntuhan dinding, anak tangga dan fondasi kamar-kamar yang jumlahnya puluhan, lahan seluas 3,5 hektare ini terhampar rumput hijau yang membuat kompleks keraton asri di tengah kawasan Banten yang gersang.

Penghancuran dari masa ke masa

Kondisi hancurnya keraton ternyata bukan lantaran termakan usia. Tercatat, keraton ini sempat mengalami kehancuran dan penghancuran sepanjang perjalanan Kesultanan Banten. Penghancuran pertama terjadi saat di Kesultanan Banten terjadi perang saudara antara Sultan Ageng Tirtayasa ( 1651--1672, sultan ke-6 Banten) dengan putra mahkotanya sendiri, Sultan Haji (1672--1687, sultan ke-7 Banten) pada 1680.

Perpecahan diperparah oleh kongsi dagang Belanda, VOC, yang memang mengincar Banten sebagai pusat perdagangan di Nusantara saat itu. Taktik adu domba dilakukan VOC dengan memberikan dukungan kepada Sultan Haji yang memiliki nama asli Sultan Abu Nashar Abdul Qahar. Dalam perang saudara tersebut, Sultan Ageng Tirtayasa bersama pengikut dan loyalisnya berhasil melakukan perlawanan kembali dengan menghancurkan Keraton Surosowan. Meski demikian, akhirnya Sultan Ageng Tirtayasa kembali dipukul mundur dan ditahan hingga wafat di Batavia (Jakarta).

photo
Puing-puing sisa Kraton Surosowan di Serang, Banten. - (Republika/Wihdan)

Setelah Sultan Haji dinobatkan oleh Belanda menjadi raja Banten pengganti ayahnya (1672), ia meminta bantuan seorang arsitek Belanda, Hendrik Laurenzns Cardeel, untuk membangun kembali istananya. Artinya, bangunan yang saat ini kami kunjungi merupakan bangunan jilid kedua Kesultanan Banten yang telah mendapat pengaruh kuat VOC. Bukti penguat lain adalah dengan didirikannya Benteng Speelwijk, benteng pertahanan pertama Belanda di Banten.

Penghancuran yang paling parah terjadi pada masa Sultan Aliuddin (1803--1808, sultan ke-18 Banten). Saat itu Gubernur Jenderal Belanda Herman Willem Daendels meminta Sultan agar mengirimkan seribu pekerja rodi untuk membangun jalur jalan Anyer-Panarukan dan pangkalan angkatan laut di Ujung Kulon. Selain itu, ibu kota kesultanan diminta pindah ke Anyer karena di sekitar Surosowan akan dibangun benteng Belanda. "Belanda meminta Sultan (Aliuddin) untuk mengirimkan seribu warga tiap harinya," kata Yadi Ahyadi menegaskan.

Penolakan tegas dilakukan Sultan. Terjadilah peperangan hebat yang berakhir dengan penaklukan Surosowan dan penangkapan Sultan Aliuddin yang kemudian dibuang ke Ambon. Belanda amat murka saat itu lantaran utusannya, Komandeur Philip Pieter Du Puy bersama 13 para pengawalnya, dipenggal di depan Benteng Surosowan. "Sultan saat itu tidak tahu bahwa Benteng Surosowan telah dikepung Belanda," kata Yadi menambahkan.

Disadur dari Harian Republika edisi 8 September 2013 dengan reportase Angga Indrawan dan foto-foto Wihdan Hidayat

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat