Pun Sin Yang (63) membuat alat musik khas Tiongkok Tehyan di Neglasari, Tangerang, Banten | . ANTARA FOTO/Lucky R

Safari

Bertamu Ke Rumah Goyong

Seniman gambang kromong ini juga menguasai teknik pembuatannya.

Matahari sudah condong ke timur saat angkot yang saya tumpangi berhenti di depan sebuah kompleks ba ngunan di pinggiran Kota Tangerang, Senin (17/9). “Itu Kantor Camat Neglasari, Mas,” kata pria yang duduk di belakang setir seraya menunjuk ke arah bangunan tersebut.

Menurut petunjuk dari salah seorang teman, rumah Goyong seharusnya tidak jauh dari kantor camat tersebut. Dan, ternyata benar, setelah menyusuri gang kecil di seberang jalan ujung kanan kantor, tibalah saya di depan kediaman seniman gambang kromong itu. Sebuah rumah kecil yang sederhana tanpa tanaman hias di pekarangannya. Alamat persisnya adalah RT 001 RW 04 Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang.

Di halamannya yang sempit, seorang lelaki tua mengenakan kemeja abu-abu lengan pendek tampak tengah asyik memperbaiki jala ikan. Itulah Oen Sin Yong alias Goyong, yang fotonya pernah saya lihat di sebuah blog di internet. Berbadan kurus dan berkulit gelap, tak seperti kebanyakan Tionghoa peranakan yang berkulit kuning.

 

Teh yan

Kedatangan saya membuat Goyong menghentikan kegiatannya sore itu. Laki-laki usia kepala enam itu tampak begitu bersemangat dan antusias. Ia pun mengajak saya masuk ke dalam rumahnya di Mekarsari, Kecamatan Neglasari, Kota Tangerang.

photo
Perajin menyelesaikan pembuatan alat musik tehyan di Betawi Etnic, Tapos, Depok, Jawa Barat, Selasa (27/7/2021).  - (ANTARA FOTO/ASPRILLA DWI ADHA)

Saya melihat puluhan teh yan dan kong ah yan tergantung dengan rapi di dinding ruang tamunya. Kedua instrumen musik gesek tersebut sama-sama memiliki dua senar (secara umum orang menyebut keduanya teh yan—Red). Kong ah yan mempunyai nada lebih tinggi dari teh yan. “Ini semua hasil karya tangan saya sendiri,” ujarnya.

Goyong mengambil salah satu teh yan yang tergantung itu, lalu mulai memainkan beberapa lagu. Suara gesekan-gesekan benang tangsi dan dawai baja itu terdengar begitu nyaring, enak, dan sedikit mendayu.

Kedua tangannya yang keriput tampak lincah membawakan “Bengawan Solo” karya Gesang, “Hidup di Bui” milik D’Lloyd, dan “Lenggang Kangkung”. “Sebenarnya memang cuma dua, tapi semua lagu mah bisa dimainkan dengan alat ini,” katanya dengan logat Sunda.

Karena penasaran, saya pun mencoba memainkan alat itu. Tetapi, tak ada nada-nada indah yang keluar meski suara gesekannya terdengar nyaring. “Posisi tangannya sudah betul, Anda cepat belajar rupanya. Kalau latihan terus pasti mahir,” kata Goyong berkomentar.

photo
Perayaan Peh Cun: Gambang KromongKesenian gambang kromong turut meramaikan perayaan Peh Cun di Kali Cisadane, Tangerang, Banten. - (Republika/ Aditya)

Alat musik gesek ini tidak memiliki fret seperti halnya gitar sehingga sulit bagi mereka yang tak terbiasa mencari nada-nada yang diinginkan. Karena itu, dibutuhkan feeling yang terasah untuk memainkannya. Goyong sendiri mengaku hanya butuh satu tahun buat “menjinakkan” alat musik tradisional ini. Rasa kagum terhadap pria itu makin terasa ketika saya menyanyikan lagu “Bermain Layang- Layang” di dekatnya.

Secara spontan, Goyong mengiringinya dengan teh yan sesuai dengan nada-nada yang saya lantunkan. “Saya bisa langsung mengiringi orang bernyanyi dengan alat ini walaupun lagunya belum pernah saya dengarkan,” ucapnya.

 

Keluarga seniman

Goyong mulai mendalami gambang kromong pada 1978. Sejak itu, hampir setiap harinya perhatian kakek itu tercurah pada kesenian ini. Namanya pun mu lai dikenal orang sebagai seniman gam bang kromong di daerah Tangerang, khususnya kalangan masyarakat Cina Benteng.

Awalnya, ia dan beberapa orang anggota grup musiknya tampil di sekitar Tangerang. Tetapi, belakangan mereka juga unjuk kebolehan di kota-kota lain, semisal Bandung dan Jakarta. Bahkan, saat ini Goyong menyatakan rutin manggung di Bangka setiap tahun. “Kami juga pernah diundang pemerintah mengisi acara penyambutan tamu asing di Bandara Soekarno Hatta,” kisahnya.

photo
Pelajar di Jakarta memainkan alat musik dalam pementasan kesenian Gambang Kromong di Jakarta. - (Republika/Edwin Dwi Putranto)

Darah seni yang mengalir dalam diri Goyong diwarisi nya dari sang ayah, Oen Oen Hok, yang meninggal dunia pada 1996. Oen Hok adalah pemimpin grup gambang kromong yang terkenal pada masanya. Ibu tiri Goyong, Masnah (Pang Tjin Nio), satu-satunya penyanyi yang dapat melantunkan lagu-lagu Po Bin saat ini. Pada pertengahan dekade lalu, perempuan ini pernah tampil dalam sebuah pertunjukan gambang kromong di Singapura.

“Suara Masnah bahkan sudah direkam Smithsonian Folkways dalam album Music of Indonesia Volume 3: Music From The Outskirt of Jakarta,” tulis seorang peminat budaya Cina Benteng, Andipo Wiratama, dalam blognya.

Bukan cara memainkan alat musik saja yang dikuasai Goyong, melainkan juga teknik pembuatannya. Puluhan instrumen yang terpajang di ruang tamunya itu sepenuhnya ia buat sendiri, tanpa bantuan orang lain.

Pertama-tama, ia mengumpulkan bahan berupa batok kelapa, potongan kayu bekas, bambu, dan benang tangsi. Untuk senar, laki-laki itu memakai tali gitar akustik nomor 1 (E) dan 2 (B). Kadang ia juga menggunakan senar gitar nomor 2 (B) dan 3 (G) untuk suara yang lebih rendah. Setelah semuanya tersedia, hanya butuh waktu tiga hari bagi Goyong buat menyelesaikan satu buah teh yan.

photo
Pelajar SJakarta memainkan alat musik dalam pementasan kesenian Gambang Kromong di Jakarta. - (Republika/Edwin Dwi Putranto)

Suara teh yan buatan Goyong lebih nyaring bila dibandingkan produk dari negeri asalnya, Cina. Ini lantaran bahan yang digunakan untuk penutup lubang batok juga berbeda. “Di sana (Cina), orang menggunakan kulit ular. Kalau saya pakai kayu tipis,” jelasnya.

Alat musik yang sudah jadi ia pajang di rumah untuk dijual. Harganya variatif, berkisar Rp 150 ribu hingga Rp 600 ribu per buahnya. “Kalau di Cina, harganya bisa mencapai jutaan rupiah.”

Pembeli teh yan buatan Goyong berasal dari Tangerang, Jakarta, Surabaya, Bangka, Bandung, dan beberapa daerah lainnya. Bukan keturunan Tionghoa saja, melainkan juga orang-orang pribumi. “Pokoknya mereka yang senang dengan alat ini langsung datang ke sini membeli,” ujarnya.

Menurut Goyong, tidak semua pelanggannya yang berniat belajar memainkan instrumen musik itu. Mereka kadang menginginkan teh yan hasil karyanya buat dijadikan hiasan di rumah saja.

Dikutip dari Harian Republika edisi 21 Oktober 2012 dengan reportase Ahmad Islamy Jamil

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat