
Safari
Sebuah Desa Sungai Yang Sibuk
Warga Napallicin memperkenalkan kesibukan perkampungan yang penuh kedamaian.
Subuh di Napallicin. Gema suara muazin desa membangunkan warga. Sementara, kabut masih menenggelamkan rumah-rumah kayu berpanggung itu. Dalam gelap, Obor-obor menyala. Suara langkah dan gerak tubuh manusia mulai terasa. Senada dengan iring-iringan shalawat dan lantunan ayat.
Selepas beribadah, tidak ada waktu jeda untuk berleha atau sekadar kembali ke peraduan. Para perempuan menemani anak mereka ke sungai untuk mandi dan mencuci. Para lelaki menyiapkan jung dan alat sadap untuk pergi ke kebun karet. Selepas mandi, anak-anak sudah siap dengan seragam merah putih untuk sekolah. Saya turut merasakan gelimang alam desa. Mandi bersama warga di sungai, merasakan kesejukan kali berdasar batu. Di sana, saya sadar betapa warga menjadikan Sungai Rawas sebagai penghidupan.
Terpencil
Selepas Subuh mereka menyusuri sungai dengan jung dan rakit untuk pergi ke kebun karet. Kemudian, beberapa warga yang punya lahan lebih, bersawah menanam padi dan rempah di tepian sungai. Ketika sore, sungai tumpah ruah dengan penduduk. Terutama anak-anak desa. Mereka berenang beramai-ramai dengan onggok bambu. Berlomba-lomba mencari pe menang untuk sampai di seberang. Begitulah warga desa menjalani hidupnya, dengan budaya sungai.
Sebagai permukiman, Desa Napallicin sungguh terpencil. Desa ini terletak di ujung Kabupaten Musirawas, berbatasan langsung dengan Provinsi Jambi dan Bengkulu. Bupati Musirawas, Ridwan Mukti, sempat berceloteh kehidupan warga di Ulu Rawas (Kecamatan Desa Napallicin) dahulu jauh dari peradaban. ‘’Dulu warga kami di Ulu Rawas bahkan belum pernah melihat mobil,’’ ungkapnya.
Desa-desa di Ulu Rawas dulu terisolasi. Penyebabnya, tidak ada jalan yang bisa dilalui kendaraan. Warga pun menggunakan jung dan rakit untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari ke kota terdekat, Sarolangun. Mereka harus menempuh waktu sekitar empat jam untuk sampai ke sana. Mahalnya ongkos transportasi dan jauhnya jarak membuat hanya segelintir warga yang pergi ke kota.
Kepala Desa Napallicin, Jamal Abdul Nasir, bercerita, jalan ke Napallicin pertama kali dibangun pada 1964. ‘’Itu pun masih bertanah,’’ ujar nya. Sehingga, amat jarang mobil yang bisa masuk ke Ulu Rawas dan tiba di Napallicin. Pada 2007, Pemkab Musi rawas membangun jalan batu di rute yang sama. Pembangunan jalan disertai pembuatan 33 jembatan yang menghubungkan desa-desa di Ulurawas. Jamal mengungkapkan, jalan membuat ekonomi Desa Napallicin berkembang pesat.
Warga bisa leluasa pulang pergi ke kota. Motor keluaran terbaru hilir mudik masuk keluar desa. Listrik yang digunakan warga pun tergolong canggih. Mayoritas warga menggunakan solar system di samping diesel. Soal televisi pun mereka tak ketinggalan. Beberapa warga mampu mengakses saluran luar negeri lewat parabola.
Karet dan emas
Dibanding dengan luas wilayahnya, Desa Napallicin, Kecamatan Ulu Rawas, Kabupaten Musi Rawas, Sumatra Selatan, hanya setitik debu di padang pasir. Hanya 24 hektare lahan yang didiami warga berisi 550 kepala keluarga berikut dua ribu jiwa. Jika dihitung, jumlah tersebut hanya 0,2 persen dari 47 ribu hektare luas keseluruhan wilayah Napallicin.

Maka, jamak kalau warga memiliki kebun karet. ‘’Cuma sedikit saja yang menjadi pekerja. Mereka menjadi buruh untuk tetangganya,’’ ungkap Jamal. Dari karet inilah warga berpenghidupan. Seperti salah satu warga desa, Mustofa. Ayah tiga anak ini memiliki lima hektare kebun karet.
Saban hari, kebun Mustofa dapat menghasilkan 10 kilogram getah karet. Setiap kilogram bisa dijual ke penadah dengan harga Rp 10 ribu. Jika dirata-rata, ia bisa mendapatkan uang senilai tiga juta rupiah per bulan. “Kami jual ke tauke desa,” ungkap dia.
Saat harga karet sedang turun, Mustofa dan penyadap lainnya tidak kehilangan akal. Mereka akan menyimpan getah hasil sadapan di balik rakit. Maka, jangan heran. Banyak rakit yang dibiarkan teronggok di tepi sungai. Rakit itu digunakan sebagai atap getah yang sedang berendam di air. Dampaknya, mutu karet menjadi berlipat.
Tidak hanya karet, Napallicin dan desa-desa di Ulu Rawas pun dianugerahi Tuhan dengan berbagai sumber alam. Termasuk emas dan bebatuan. Di hulu Sungai Rawas, banyak warga Napallicin yang terlihat sibuk memburu serbuk-serbuk emas dari dasar sungai. ‘’Memang belum ada perusahaan yang menambang emas di sini,’’ ujar Jamal.
Karena itu, tuturnya, kebersihan sungai masih tetap terjaga. Bebatuan pun menjadi kekayaan alam yang lahir dari derasnya jeram sungai. Beberapa pos penambang batu terlihat di tengah sungai. Tidak hanya untuk kebutuhan material, warga juga berburu batu untuk dijual sebagai barang hiasan.
Menutup hari
Sore berlalu di Napallicin. Warga duduk-duduk di halaman sembari menunggu panggilan dari muazin desa. Selepas gelap, saya dan dua teman dari Kabupaten Musirawas naik ke atas desa. Kami menikmati keindahan Napallicin dari ketinggian. Dari atas tampak hamparan genting diterangi lampu dan obor. Rumah-rumah panggung berkayu meranti itu membentuk lembah. Kunang-kunang menerangi kami. Makhluk berlampu itu menjadi malam penutup yang indah bagi kami.
Disadur dari Harian Republika edisi 16 Juni 2012 dengan reportase Ahmad Syalabi Ikhsan
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.