Seorang warga berjalan di halaman Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, yang sepi sehubungan merebaknya Covid-19, Ahad (5/4/2020). | ANTARA FOTO/AMPELSA

Opini

Beragama di Tengah Sampar

Agama perlu dikonstruksi yang kemudian dapat memberikan implikasi secara positif,

Syamsul Arifin, Guru Besar dan Wakil Rektor Universitas Muhammadiyah Malang

Publik baru sadar, Indonesia pada akhirnya rentan dan menjadi tempat penyebaran signifikan bagi Corona virus disease (Covid-19) setelah pada awal Maret lalu ada dua orang terpapar olehnya.

Padahal, kira-kira sebulan sebelumnya tebersit kabar dari sejumlah peneliti Harvard University, AS, yang menyinyalir penyebaran Covid-19 di Indonesia. Namun, dalam menghadapi suatu krisis biasanya selalu muncul sikap penyangkalan.

Sebelum kemudian, menerimanya sebagai kenyataan. Tentu, setelah terdapat banyak bukti yang tak terbantahkan dan secara sosiologis menimbulkan kepanikan bahkan bagi kalangan tertentu kemarahan dan depresi.

Begitulah, biasanya tahapan penyikapan suatu krisis setidaknya jika mengacu pada Vasuki Shanstry dalam, Resurgent Indonesia: From Crisis to Confidence (1988). Pada kasus penyebaran Covid-19, penyangkalan bisa juga dipandang sebagai suatu sikap absurd. 

Mengingat, negara lain terpapar lebih dulu hingga pada gilirannya Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan Covid-19 sebagai pandemi. Sikap absurd dalam arti tidak masuk akal dan menggelikan, dalam berbagai artikulasi rupanya juga biasa muncul di setiap krisis.

photo

Paus Fransiskus memberikan pemberkatan di depan Plasa Santo Petrus yang sepi sepi seiring merebaknya wabah Covid-19. - (Pool Reuters)

 

Seperti diceritakan filsuf modern kelahiran Aljazair, Albert Camus, lewat novelnya, Sampar, yang mengantarkan dirinya sebagai peraih Nobel pada 1957, satu dekade setelah terbitnya novel tersebut.

 
 

Dalam novel itu, Camus menampilkan tokoh, salah satunya bernama Cottard dengan karakter antagonis karena di tengah krisis sampar (wabah menular), alih-alih mengedepankan sikap altruis, justru memilih berusaha mencari keuntungan.

Perilaku absurd yang mirip Cottard di tengah pandemi Covid-19, antara lain terlihat pada praktik memperjualkan masker oleh pihak tertentu dengan harga selangit.

Terdapat beberapa sandaran argumentasi di balik sikap absurd tersebut. Praktik ambil untung secara berlipat-lipat pada kasus penjualan masker, bersandar pada argumen yang dipaksakan terkait ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan.

Sikap menyangkal terhadap penyebaran Covid-19 ke Indonesia, dan toh kalau akhirnya bisa tertembus, masih juga menyepelekan tingkat fatalitas kasus atau case fatality rate (CFR), juga memiliki sandaran argumen yang antara lain terambilkan dari agama.

Ketika Covid-19 memakan korban dengan jumlah dalam hitungan jari, seorang pejabat publik yang sejatinya memiliki modal saintifik terkait deteksi secara dini dan mitigasi risiko dampak penyebaran Covid-19, justru mempertontonkan sikap cenderung menyepelekan.

Ini diperkuat pula dengan sikap keagamaan tertentu yang mengarah pada fatalisme.

photo
Relawan bencana nonalam dari GP Ansor menyemprotkan disinfektan ke ruangan utama Klenteng TITD Tjoe Tik Kiong di Tulungagung, Jawa Timur, Rabu (25/3/2020). - (ANTARA FOTO)
 

Konstruksi agama

Selain menimbulkan masalah besar terhadap kesehatan, ekonomi, sosial, dan politik tak kalah menariknya lagi implikasi Covid-19 juga telah memasuki ranah keagamaan.

Di antara aspek keagamaan yang terdampak secara kasat mata di tengah badai Covid-19 adalah pengaturan praktik ritual keagamaan. Terutama yang dilakukan secara bersama-sama (jamaah) dan dilakukan di tempat khusus, seperti masjid dan gereja.

Namun, pelaksanaan terhadap salah satu dimensi penting dalam agama tersebut sangat bergantung pula pada dimensi keyakinan, yang di samping berpengaruh terhadap kedisiplinan dalam mengatur praktik ritual, berpengaruh pula dalam menyikapi Covid-19.

Dengan mempertimbangkan cara penyebaran Covid-19 melalui kontak antarmanusia, terutama dalam jarak dekat, maka terdapat aturan pembatasan interaksi melalui penerapan physical distancing.

Lebih ketat dari sekadar mengatur jarak secara fisik tersebut, beberapa wilayah di Tanah Air bahkan telah menerapkan karantina wilayah  (lockdown) secara sporadis untuk membatasi penyebaran Covid-19.

Dengan modus penyebaran demikian, ritual keagamaan tak bisa lagi dilakukan sebagaimana lazimnya ketika situasi normal. Maka itu, banyak tempat ibadah, masjid misalnya, yang tak saja menghentikan shalat Jumat bahkan shalat wajib lainnya tidak lagi dilakukan berjamaah.

photo
Seorang umat Hindu mencuci tangan sebelum melakukan ritual persembahyangan di Pura Agung Jagatnatha Wana Kertha, Palu, Sulawesi Tengah, Selasa (24/3/2020). - (ANTARAFOTO)

Kalau toh ada yang menyelenggarakannya, physical distancing diterapkan demikian pula protokol lainnya terkait pencegahan Covid-19. Dengan demikian, Covid-19 memiliki implikasi sosiologis terhadap praktik agama. Semula praktik itu secara leluasa bisa dilakukan di ruang publik, kini mengalami proses “privatisasi’’, agama dipraktikkan di ruang privat, yakni keluarga.

Namun, efektivitas pelaksanaan protokol pencegahan Covid-19 di kalangan komunitas keagamaan, sangat bergantung pada keyakinan (belief) yang dianutnya.

Karena itu, kendati terkesan absurd, wajar jika ada komunitas keagamaan tertentu yang justru tetap menyelenggarakan kegiatan yang melibatkan banyak orang dengan bersandar pada satu keyakinan terhadap kuasa absolut Tuhan.

Keyakinan terhadap kuasa absolut Tuhan, misalnya telontar dengan narasi berikut ini, “Jangan takut kepada korona, tetapi hanya takutlah kepada Tuhan.”

Suatu keyakinan seperti dicontohkan pada narasi di atas, tetap diperantarai oleh pengetahuan (logos) yang disebut dengan teologi. Inti teologi adalah pemahaman akan kuasa Tuhan terhadap berbagai aspek selain-Nya.

Yang menjadi persoalan, apakah kuasa Tuhan tetap memberi ruang kepada manusia menggunakan nalar dan ikhtiar yang berlanjut pada suatu praksis untuk mengubah suatu keadaan atau kuasa Tuhan dipahami sebagaimana kritik dari Asghar Ali Engineer, pemikir teologi pembebasan dalam Islam, secara irasional dan buta.

photo
Anggota Satuan Gegana Sub Detasemen Kimia Biologi Radioaktif Brimob Polda Sumbar melakukan penyemprotan disinfektan di Vihara Metta Maitreya, Padang, Sumatera Barat, Jumat (20/3/2020). - (ANTARA FOTO)

Padahal, Engineer menegaskan dalam Islam and Liberation Theology (1990), “Keyakinan yang Qurani tidak bersifat irasional dan buta. Alquran menekankan kesederajatan akal, intelek, dan proses berpikir.”

Salah satu akibat mendasar dari praktik keyakinan yang irasional dan buta adalah pengingkaran terhadap hukum kausalitas atau sebab-akibat, yang sejatinya merupakan manifestasi dari kuasa Tuhan.

Kemunculan dan penyebaran Covid-19 bisa dijelaskan dengan menggunakan hukum kausalitas. Demikian juga, dengan penanganannya.

Jika terdapat suatu hadis yang dikenal secara luas oleh umat Islam, “Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, kecuali Allah turunkan juga obatnya,” sehingga untuk mendapatkan obat pada setiap penyakit diperlukan suatu rasionalitas atau nalar dan ikhtiar karena tidak terberikan (given) begitu saja.

Menghadapi badai Covid-19, dengan demikian meniscayakan suatu dialektika antara rasionalitas dan agama, keduanya tidak boleh diletakkan dalam posisi saling berlawanan (binary-opposition).

Pernyataan Albert Eistein dalam Science and Religion (1950) bisa dirujuk untuk memahami dialektika antara keduanya, “Science without religion is lame, religion without science is blind.”

Ilmu pengetahuan (sains) betapa pun telah berkembang begitu pesatnya berkat kemampuan manusia mengoptimalkan nalarnya, tetap saja ada banyak peristiwa yang tidak bisa dipahami secara rasional, setidaknya belum bisa diungkap.

Pada kasus Covid-19, misalnya, bisa diungkap penyebabnya, tetapi hingga saat ini belum ditemukan vaksin yang dapat memberi efek imunitas terhadap serangan wabah.

Dalam keadaan demikian, agama perlu dikonstruksi yang kemudian dapat memberikan implikasi secara positif, setidaknya terhadap tiga hal. Pertama, ketenangan dan optimisme dalam menghadapi Covid-19.

 

 
Dalam keadaan demikian, agama perlu dikonstruksi yang kemudian dapat memberikan implikasi secara positif, setidaknya terhadap tiga hal. Pertama, ketenangan dan optimisme dalam menghadapi Covid-19.
NAMA TOKOH
 

Ketika agama bergeser dari “ruang publik” ke “ruang privat”, sejatinya akan memberikan kesempatan kepada kita untuk lebih intens dalam melakukan muhasabah dan memperoleh kekuatan secara rohani.

 

Kedua, memperkuat protokol penanganan Covid-19 dengan merujuk kalau dalam Islam apa yang disebut tujuan pokok syariat (maqasid syariah), yang di antaranya memberikan perlindungan terhadap jiwa-raga (hifdzun nafs).

Fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia sebagaimana juga dikeluarkan oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama agar umat Islam melaksanakan ibadah di rumah selama pandemi Covid-19, sejalan dengan prinsip dalam maqasid syariah tersebut.

Lalu yang ketiga, terbentuknya kesalehan sosial, alih-alih sekadar kesalehan ritual dan individual, dengan menggerakkan charity atau direct giving dan filantropi untuk mengatasi dampak ekonomi dan sosial yang pasti muncul selama pandemi Covid-19. n 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat