LUTFA DI NEGERI TANPA BAYANG | Republika/Daan Yahya

Sastra

Lutfa di Negeri Tanpa Bayangan

Cerpen Sri Haldoko

Oleh SRI HALDOKO

Lutfa remaja selalu duduk persis di depan meja guru, jauh dari gangguan dan kebisingan teman-temannya. Di luar kelas, dunia seakan berlarian, sibuk mengejar bayang-bayang, sementara di dalam benak Lutfa, pertanyaan demi pertanyaan melayang, tak pernah tersampaikan. Setiap kali dia melihat guru sastranya membuka buku, hatinya berdebar. Kata-kata yang keluar dari mulut sang guru selalu mengandung dunia yang belum ia pahami, seperti teka-teki yang mengundang rasa penasaran tanpa henti.

Hari itu, sang guru membuka halaman buku yang sudah usang. Mata Lutfa terfokus pada tangan gurunya, seolah di antara helai kertas itu tersimpan rahasia yang bisa membebaskan pikirannya.

“Anak-anak,” kata sang guru, “hari ini kita akan membahas cerita lama tentang seorang kaisar. Kaisar yang percaya dirinya mengenakan pakaian terindah, padahal sesungguhnya ia tak memakai apa-apa, judulnya Baju Baru sang Kaisar.”

Siswa lain mendengar dengan setengah hati, mata mereka sudah lelah oleh tugas yang menumpuk. Tapi tidak Lutfa. Baginya, cerita itu seakan hidup, bernafas, dan membawa pesan yang menanti untuk ditemukan.

Ketika cerita berakhir, sang guru menutup bukunya. "Apa yang kalian pelajari dari kisah ini?" tanyanya, menatap seluruh kelas. Lutfa ingin sekali mengangkat tangannya. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam di balik kisah itu, sesuatu yang tak hanya tentang kebodohan seorang kaisar, tapi tentang kebutaan yang lebih besar, buta akan kebenaran karena ketidakmampuan untuk melihatnya.

Namun, seperti biasa, tak ada yang berani bertanya. Tak ada yang berani mengkritisi cerita itu. Mereka diam, seperti rakyat dalam kisah sang kaisar, takut melihat kenyataan karena sudah terlalu lama menerima apa yang dikatakan sebagai kebenaran.

Setelah kelas usai, Lutfa mendekati gurunya, dengan keberanian yang baru tumbuh dari dalam dirinya. "Pak, kenapa semua orang diam, padahal mereka tahu kaisar itu telanjang?"

Sang guru tersenyum lembut, sambil meletakan kacamatanya di meja. "Karena, Lutfa, mereka tidak punya kata-kata untuk menjelaskan apa yang mereka lihat. Mereka buta bukan karena mereka tidak punya mata, tapi karena mereka tidak tahu bagaimana cara membaca dunia di sekitar mereka."

Lutfa mengerutkan kening. "Maksud Bapak, mereka tidak bisa membaca?"

"Benar," kata sang guru. "Tapi bukan sekadar membaca huruf di kertas. Literasi, Lutfa, bukan hanya tentang membaca buku. Literasi adalah kemampuan memahami dunia. Saat kamu membaca sebuah kisah, entah itu dongeng di halaman buku atau kisah hidup yang terpahat dalam realitas, kamu tengah belajar memahami makna-makna tersembunyi yang tak kasat mata, kamu belajar melihat hal-hal yang tidak tampak di permukaan. Kamu belajar menganalisis, mencari makna di balik kata-kata, melihat celah di antara narasi yang dibangun."

Lutfa mengangguk, tapi ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam dari penjelasan itu.

"Tanpa kemampuan membaca, bukan hanya huruf, tapi membaca makna dan kebenaran di dunia ini, kita akan seperti rakyat dalam cerita kaisar," lanjut sang guru. "Mereka tidak buta, tapi mereka tidak tahu bagaimana mempertanyakan. Mereka tak punya nalar kritis. Dan nalar kritis itu, Lutfa, lahir dari literasi. Hanya dengan literasi, kita bisa melihat di balik kebohongan dan menemukan kebenaran."

Sejak saat itu, Lutfa mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda. Ia tak lagi sekadar membaca buku, tapi mulai membaca lingkungan di sekitarnya. Ia melihat poster-poster politisi yang berwajah tersenyum di dinding-dinding kota, membaca iklan-iklan yang menawarkan janji kebahagiaan, membaca berita yang tak pernah selesai menghitung bencana dan keberhasilan palsu.

Dan waktupun berlalu, Lutfa tumbuh dalam dunia yang semakin sulit dimengerti. Poster-poster politik yang dulu ia baca sebagai seorang anak sekarang lebih dari sekadar janji. Mereka adalah bagian dari permainan citra, di mana kenyataan dan kebenaran tidak lagi punya tempat.

Suatu sore, saat berjalan pulang dari sekolah, Lutfa melihat sekelompok orang berkerumun di depan sebuah televisi di toko pinggir jalan. Di layar, seorang politisi terkenal sedang memberikan pidato yang menggema bak singa Afrika ke seluruh negeri. Wajahnya penuh keyakinan, suaranya lantang, dan kata-katanya terjalin dengan sempurna, seolah setiap kalimat telah direncanakan untuk menciptakan ilusi kekuasaan yang tak terbantahkan. Tak lama kemudian, tayangan berganti menampilkan sang politisi mengenakan baju putih sederhana sedang berbincang-bincang dengan pedagang di pasar.

“Lihatlah,” kata seorang di antara kerumunan itu, “dia benar-benar pemimpin yang kita butuhkan.”

Lutfa terdiam. Ia mengenali pola itu. Pidato itu, kata-kata itu… penuh dengan janji, namun kosong dari substansi. Ini bukan tentang kebenaran, tapi tentang apa yang ingin didengar orang. Tentang di mana emosi dan persepsi menggantikan fakta. Orang-orang tak lagi peduli apakah sesuatu itu benar atau salah, selama apa yang mereka dengar sejalan dengan keyakinan atau ketakutan mereka. Suatu kondisi yang dikemudian hari Lutfa pahami sebagai era post-truth.

Dan yang paling mengerikan, pikir Lutfa, adalah bahwa orang-orang seperti dalam dongeng kaisar itu tak lagi mencari kebenaran. Mereka lebih memilih untuk percaya pada apa yang membuat mereka nyaman, meski kaisar sesungguhnya telanjang.

"Kenapa mereka tidak bisa melihat, Pak?" Lutfa pernah bertanya pada gurunya dulu.

"Karena mereka belum belajar membaca dengan benar," jawab sang guru.

Literasi, Lutfa menyadari, adalah perisai dalam dunia yang penuh manipulasi. Namun, dalam realitas saat ini, literasi seringkali dikalahkan oleh arus informasi palsu dan hoaks yang terus mengalir. Di era post-truth, kebenaran bukan lagi prioritas. Hoaks berkembang biak seperti gulma, menyesatkan pikiran banyak orang, terutama mereka yang tak terlatih dalam nalar kritis.

Lutfa semakin paham bahwa literasi bukan sekadar membaca huruf, tetapi membaca kenyataan. Ia menyadari bahwa lebih dari satu dekade ini hoaks dan politik pencitraan telah meracuni cara masyarakat berpikir. Orang-orang menerima berita palsu karena tidak memiliki kemampuan untuk mencerna informasi dengan benar.

Di kampus tempat Lutfa kini mengajar sebagai dosen muda di Jurusan Hubungan Internasional UNDIP, ia tak sekadar mengarahkan mahasiswanya untuk mempelajari fakta, tapi menantang mereka untuk berpikir kritis. Setiap hari, ia dihadapkan pada persoalan yang sama: bagaimana memastikan mereka tidak terhanyut dalam arus kerumunan yang buta arah?

Di luar ruang kuliah, dunia dipenuhi dengan janji-janji kosong yang berulang seperti kaset kusut. Politisi berceloteh tentang perubahan, kesejahteraan, dan masa depan gemilang, tetapi kebanyakan hanya omon-omon yang menguap setelah pemilu usai. Media sosial semakin riuh oleh slogan yang terdengar gagah, tetapi hampa makna. Lutfa melihat bagaimana mahasiswa-mahasiswanya, generasi yang seharusnya kritis, sering kali terseret dalam ilusi kata-kata manis yang tak lebih dari manipulasi politik.

Di setiap diskusi kelas, ia menantang mereka: "Jika semua orang berteriak ingin membela rakyat, mengapa rakyat masih tertindas? Jika mereka mengklaim melawan oligarki, mengapa keputusan mereka justru menguntungkan segelintir orang?" Ia ingin mereka belajar membedakan retorika dari realitas, membedah janji-janji menjadi data, dan menilai tindakan bukan sekadar kata-kata.

Lutfa tahu, di negeri ini, politik sering kali lebih mirip sandiwara: tokoh-tokohnya berganti, tetapi naskahnya tetap sama. Dan tugasnya sebagai pengajar bukan sekadar memberi wawasan, tapi memastikan mahasiswa-mahasiswanya tidak tumbuh menjadi bagian dari kerumunan yang mudah diperdaya.

Pada suatu hari, di depan kelas saat menyampaikan mata kuliah Pengantar Filsafat Ilmu, ia berhenti sejenak, menatap mahasiswa-mahasiswanya, lalu berkata dengan suara yang lembut namun sarat makna, "Mahasiswa-mahasiswaku, kalian harus belajar berpikir, bukan hanya menghafal. Dunia ini penuh dengan janji-janji manis yang menipu, kebohongan yang dibungkus seindah mimpi. Kalian harus belajar menembus tirai itu, melihat yang tak terlihat."

Lutfa mengajak mahasiswanya berdiskusi tentang berita-berita yang mereka baca. Ia mengajari mereka cara memverifikasi informasi, membedakan antara opini dan fakta, dan mempertanyakan narasi yang disajikan oleh media.

“Jangan percaya begitu saja,” katanya dengan serius. “Bahkan ketika semua orang mengatakan sesuatu itu benar, belum tentu itu kebenaran. Seperti dalam cerita kaisar yang telanjang. Rakyatnya diam karena takut berbeda pendapat, dan kebenaran dikalahkan oleh rasa takut, takut akan perihnya lapar dan dinginnya jeruji penjara.”

Lutfa mengundang mereka untuk mempertanyakan apa yang mereka lihat dan dengar, mengajarkan mereka bahwa literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tetapi kemampuan memahami informasi dengan nalar kritis.

“Kalian adalah masa depan negeri ini,” lanjut Lutfa, “dan jika kalian hanya menerima apa yang disodorkan tanpa berpikir, kalian akan menjadi bagian dari masalah, bukan solusinya.”

Lutfa mulai melihat perubahan kecil. Mahasiswanya mulai berani mempertanyakan, berani berpikir. Mereka mulai bisa melihat bahwa "pakaian" yang dikenakan para pemimpin mereka tidak selalu seperti yang terlihat. Mereka belajar membaca dunia di sekitar mereka, seperti Lutfa dulu belajar dari gurunya.

Di luar, dunia terus berubah. Era post-truth terus menabur benih keraguan di antara masyarakat, menciptakan ilusi yang semakin sulit dipecahkan. Namun, Lutfa tahu, selama ada anak yang berani berkata "kaisar itu telanjang", maka masih ada harapan.

Literasi adalah lentera kecil, terselip di belantara malam, yang sinarnya lemah namun cukup untuk membimbing jiwa-jiwa yang tersesat di negeri tanpa bayang. Di hati Lutfa, ada keyakinan yang tak tergoyahkan: suatu saat nanti, generasi baru akan mampu menyingkap tabir antara kebenaran dan dusta. Sebab, dari rahim literasi lahir nalar yang tajam, menjadi tameng bagi umat manusia, melawan kepalsuan sebesar apa pun yang menyelimuti langit kehidupan.

Sri Haldoko tinggal di Tegal, Jawa Tengah. Ia adalah pengajar Bahasa dan Sastra Inggris SMAN 2 Brebes.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Ijazah Geuchik Marzuki

Cerpen Rinal Sahputra

SELENGKAPNYA

Pesona Tasbih

Puisi-puisi Faris Al Faisal

SELENGKAPNYA