Pak Sanusi Mengadakan Pesta | Daan Yahya/Republika

Sastra

Pak Sanusi Mengadakan Pesta

Cerpen Mumin Roup

Oleh MUMIN ROUP

 

Ketika beritanya viral, dan para donatur berbondong-bondong mendonasikan sebagian hartanya, ada yang seratus atau dua ratus juta, bahkan ada yang bernilai milyaran, sekarang resmi Pak Sanusi dinobatkan sebagai miliarder atau orang kaya baru.

Ia pun meninggalkan rumah tuanya di kampung halaman, membawa istri dan kedua anaknya untuk tinggal di perumahan mewah Pondok Indah di Jakarta Selatan. 

Setelah beberapa bulan tinggal di perumahan itu, Pak Sanusi mengusulkan pada istrinya untuk menyewa empat orang koki keturunan Tionghoa dengan tuntutan gaji yang sangat tinggi. Pasangan itu berencana mengumpulkan para milyarder lainnya yang tinggal di perumahan Pondok Indah, yang sebagian besar adalah para konglomerat keturunan Tionghoa yang sudah lama berkiprah di dunia bisnis sejak masa pemerintahan Orde Baru. 

Pak Sanusi juga akan memperkenalkan istrinya dan kedua anaknya yang beranjak dewasa, terutama si sulung yang dalam beberapa bulan ke depan akan melangsungkan pernikahan.

Barangkali saja dengan mengadakan pesta makan malam selama tiga hari, bersama orang-orang besar itu dapat meningkatkan derajat dan kedudukan dirinya, serta menaikkan status sosial seluruh keluarganya.

Pesta makan malam pertama nampaknya berlangsung biasa-biasa saja, tak ada sambutan yang memadai, tentu saja tak sesuai dengan apa yang diharapkan. Meskipun makanan yang disajikan cukup berkelas, dan pelayanan cukup optimal, namun suasananya terkesan sunyi dan hambar. Tak ada pembicaraan menarik yang tersulut di antara para tamu, dan nampaknya mereka juga merasa kurang nyaman berada di sana.

“Masalahnya apa, Chen? Apa yang membuat suasana begitu tegang dan kaku?” tanya Pak Sanusi pada pemimpin koki.

Chen berdehem dengan pandangan menerawang, lalu katanya pelan, “Saya harap Bapak jangan tersinggung kalau saya katakan yang sebenarnya.”

“Ya, katakan saja enggak apa-apa, supaya besok malam kita bisa memenuhi apa-apa yang menjadi ganjalan mereka.”

“Saya kira masalahnya ada di minuman, Pak, sebab belum cukup dengan berbagai jenis teh, kopi dan sirup-sirupan...”

“Lalu, sebaiknya ditambah dengan apa?”

“Anggur,” kata Chen singkat. “Jadi, makanan luar biasa yang telah kami sajikan, harus pula ditemani anggur-anggur di sekelilingnya, begitulah kebiasaan pesta orang-orang konglomerat itu, Pak.”

“Oo, begitu,” balas Pak Sanusi dengan tatapan menerawang. “Baik kalau begitu, besok akan segera saya perintahkan beberapa orang untuk mencari berbagai jenis anggur, supaya sorenya segera kita persiapkan dengan berbagai masakan yang akan kalian hidangkan.”

Esok paginya Pak Sanusi memerintahkan beberapa pesuruhnya agar bersiap-siap membeli berbagai jenis anggur di Jalan Brendi, Vines Green Pramuka, hingga anggur-anggur merah di sekitar Intisari dan Restu Jaya.

“Kenapa enggak bilang dari kemarin, Chen, kamu tahu kan, saya ini banyak uang, dan siap menyediakan anggur-anggur terbaik buat tamu-tamu konglomerat itu. Ayo, jangan disia-siakan kesempatan ini. Beli semua anggur-anggur termahal yang ada di Jakarta ini. Coba sebutkan merk apa saja yang terbaik.”

Meluncurlah lima orang pesuruh untuk membelikan anggur-anggur termahal yang biasanya diproduksi sangat terbatas, dan diimpor langsung dari Prancis, misalnya Margaux, Penfolds Block, Screaming Eagle, dan beberapa anggur yang usianya sudah melebihi satu abad, misalnya Cheval Blanc dan Romanee Conti.

“Beli semuanya! Sediakan tiga atau empat lemari kaca untuk menyimpan anggur-anggur terbaik dari Prancis maupun Spanyol,” ujar Pak Sanusi, “saya enggak peduli berapapun harganya.”

Pak Sanusi akhirnya menyadari bahwa pengetahuan tentang anggur-anggur merupakan aset sosial yang sangat penting baginya. Ia pun menelusuri segala hal berkaitan dengan anggur, baik melalui internet maupun buku-buku ensiklopedia mengenai anggur-anggur terbaik.

Tak lama kemudian, ia menyuruh Chen agar memanggil sahabatnya yang paham soal dunia anggur, lalu mengajarkan tata cara menyicipi anggur dengan benar. “Pertama, Pak Sanusi,” ujar sahabat Chen itu, “Bapak harus menempelkan ujung gelas di bawah hidung, lalu menarik napas, seperti ini, anggur ini dihirup pelan-pelan. Lalu Bapak harus menenggak anggur hingga mulut Bapak benar-benar penuh, kemudian Bapak berkumur dengan cairan anggur seperti saya ini. Setelah berkumur, barulah Bapak bisa menelan anggur dengan mulut Bapak.”

Setelah Pak Sanusi menguasai tentang seluk-beluk meminum anggur, malam harinya selesai santap makan malam, ia pun berteriak di tengah-tengah para tamu undangan. “Para hadirin, bapak-bapak, ibu-ibu yang saya hormati,” Pak Sanusi mengangkat gelasnya di udara, lalu sambungnya lagi, “Inilah anggur Prancis, Margaux yang sudah kita kenal bersama. Wanginya seperti harum bunga, meskipun ada kualitas rasa sepat, tapi nikmatnya luar biasa.”

Para tamu ikut menenggak dan menyeruput anggur dalam gelas masing-masing, sambil menyuarakan beberapa pujian, tetapi sebagian justru meringis tak dapat menikmati anggur mahal tersebut.

“Ada apa dengan orang-orang ini, Chen,” Pak Sanusi memanggil Chen dengan suara berbisik. “Uang ratusan juta sudah saya keluarkan untuk pesta ini, juga milyaran saya korbankan khusus untuk membeli anggur-anggur terbaik, tapi kenapa sambutannya malah menjengkelkan seperti ini?”

“Saya kira, masalahnya masih pada soal anggur, Pak,” jawab Chen lagi.

“Lho? Kenapa lagi? Bukankah saya sudah menyediakan anggur-anggur impor termahal yang ada di Jakarta ini?”

Pemimpin koki itu memiringkan kepalanya ke satu sisi dan menatap ke atas. “Saya kira, yang paling utama adalah soal rasa...”

“Maksudnya?”

“Mereka akan senang hati jika rasanya juga menyenangkan. Dan mereka akan menikmati jika rasanya juga nikmat.”

“Lalu, kurang apa lagi, Chen, apanya yang enggak nikmat?”

“Tadi sore di ruang dapur, Ibu Sanusi masuk dan memerintahkan kami untuk menambahkan micin dan cuka pada masakan capcay dan soto ayam di kuali...”

“Lho? Bukankah soto yang ditambahkan cuka itu lebih nikmat... saya suka sekali dengan cuka...”

“Itu dia masalahnya, Pak.”

“Aah, saya enggak mau dengar alasan omong kosong ini!”

“Maaf, Pak, tadi Bapak bilang tidak keberatan kalau saya ngomong terus-terang...”

“Tapi, omongan kamu ini mengada-ada!”

“Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, Pak.”

Seketika itu, Pak Sanusi menodongkan telunjuknya dengan nada ancaman, “Awas, saya enggak mau dengar alasan omong kosong ini... persoalan ini harus kamu pertanggungjawabkan, terutama mengenai kontrak kesepakatan yang sudah kita tandatangani bersama. Bagi saya, dengan sekadar uang muka yang sudah kami berikan, itu saja menjadi keberatan buat saya...”

“Apa yang menjadi keberatan, Pak?”

“Bagaimanapun cuka itu tidak akan merusak cita rasa anggur... dan itu sudah bisa dibuktikan sendiri dengan apa yang saya rasakan tadi...”

“Bapak masih beruntung kalau begitu, tetapi lidah Bapak tentu berbeda dengan lidah ratusan konglomerat yang hadir pada malam ini.”

“Ooh, jadi kamu menghina lidah saya, Chen?” katanya semakin naik pitam.

Pak Sanusi semakin mencaci-maki Chen dan tiga koki lainnya di hadapan para tamu undangan. Malam semakin larut dan suasana makin tegang. Seorang koki lainnya membela bosnya dengan mengatakan, “Ibu Sanusi bukan cuma menambahkan cuka pada soto dan salad, tetapi juga pada masakan capcay. Katanya, suaminya sangat menyukai kuah capcay yang rasanya asam manis....”

“Waah, pantesan rasa Lafite jadi enggak karuan di mulut saya!” teriak salah seorang yang hadir sambil membanting tutup botol anggur di atas meja.

“Saya juga tadi makan capcay, tapi setelah merasakan Margaux, kok anggur Prancis itu seperti rasa kencing kuda, ya...”

Hadirin yang lain tertawa terpingkal-pingkal. Tatapan mereka terpancang menyorot tajam ke arah si empunya pesta. Pak Sanusi dan istrinya jadi kalang kabut, serba salah dan merasa dipermalukan di depan para konglomerat Jakarta.

Yang lainnya mengatakan telah menikmati salad yang agak asam, tetapi setelah merasakan Romanee Conti, diakuinya seperti air kencing kambing. Begitupun yang menikmati Screaming Eagle maupun Penfolds Block. Seseorang membanting botol cuka yang tergeletak di meja, yang lainnya membalas dengan melempar botol kecap dan saos, hingga jas-jas para undangan belepotan dengan warna merah dan hitam berantakan.

Seseorang dengan nada setengah mabuk mengangkat botol anggur di hadapan hadirin, lalu koar-koar berceramah: “Lihat hadirin sekalian yang muliakan, anggur ini rasanya agak mirip Chateau Lafite tahun 1945, tapi setelah saya amati legalitas segel pada kemasannya, tahu-tahu hanya buatan lokal di kisaran tahun 1990-an. Saya kira, Pak Harto dan kroni-kroni Orde Baru yang masih hidup sekarang ini, sudah kenyang perutnya dengan anggur imitasi ini... saya kira yang mengadakan pesta ini juga orang kaya dadakan... orang kaya gadungan... juga orang kaya imitasi, hahaha...!”

Orang senewen itu membanting botol anggur keras-keras, hingga pecahan belingnya mental dan berantakan ke mana-mana. Orang-orang berhamburan ke sana kemari, para istri konglomerat berteriak-teriak histeris. Nampan, piring dan gelas-gelas beterbangan di dalam ruangan.

Para sopir konglomerat ikut masuk dan menjarahi anggur-anggur yang masih tersisa. Suasana pesta-pora berubah dalam waktu sekejap, seperti suasana kerusuhan dan penjarahan massal oleh ribuan penduduk ibukota Jakarta di era 1997-an, yang mengakibatkan Soeharto sebagai penguasa dan orang terkaya, tumbang dari kursi kekuasaannya.

 

Mumin Roup adalah peneliti dan dosen di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, menulis prosa dan esai di berbagai media nasional luring dan daring.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Hewan-Hewan Pilihan Nagara

Puisi-puisi Ujang Saepudin

SELENGKAPNYA

Bau Asap Rokok 

Cerpen Teuku Hendra Keumala

SELENGKAPNYA

Tabungan Haji

Cerpen Ali Satri Efendi

SELENGKAPNYA