
Nasional
kongkalikong Perkara Ekspor Minyak Kelapa Sawit
Penitera muda Wahyu Gunawan disebut jadi inisiator suap hakim.
JAKARTA — Kasus suap perkara korupsi perizinan ekspor minyak mentah kelapa sawit (CPO) oleh Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat (PN Tipikor Jakpus) ternyata merupakan inisiatif penegak hukum. Inisiator pengaturan vonis lepas tersebut, menurut Kejaksaan Agung (Kejagung) adalah tersangka Wahyu Gunawan (WG) yang menjabat sebagai Panitera Muda Perdata di Pengadilan Negeri Jakarta Utara (PN Jakut).
Vonis lepas terhadap tiga korporasi terdakwa kasus itu disebut sudah direncanakan sebelum penunjukkan majelis hakim pemeriksa perkara. Dan terungkap vonis lepas untuk terdakwa korporasi Permata Hijau Group, Musim Mas Group, dan Wilmar Group tersebut sudah dipasangi tarif sebelum sidang pertama dimulai.
Dan penentu tarif vonis lepas untuk para terdakwa korporasi tersebut, adalah tersangka Muhammad Arif Nuryanta (MAN), Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), yang saat skandal suap ini terjadi pada 2024, masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Tipikor Jakpus. Permata Hijau Group, Musim Mas Group, dan Wilmar Group diumumkan sebagai tersangka korupsi perizinan ekspor CPO oleh penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung (Kejagung) pada Juni 2024 lalu. Dan dari penetapan tersangka itu pada Agustus-September 2024, berkas perkara ketiga korporasi tersebut dilimpahkan ke PN Tipikor Jakpus.
Direktur Penyidikan Jampidsus Abdul Qohar menjelaskan, ketika berkas perkara tiga terdakwa korporasi tersebut masuk ke PN Tipikor Jakpus dan akan mulai tetapkan jadwal sidang, tersangka Ariyanto Bakri (AR) yang merupakan pengacara dari terdakwa korporasi bertemu dengan Wahyu. Dalam pertemuan tersebut, Wahyu menyampaikan kepada Ariyanto bahwa kasus korupsi izin ekspor CPO yang menjerat tiga korporasi tersebut, harus ‘diurus’. “Tersangka Wahyu Gunawan menyampaikan kepada tersangka Ariyanto sebagai pengacara, agar perkara minyak goreng harus diurus, karena jika tidak diurus, putusannya akan bisa maksimal,” kata Qohar, Selasa (15/4/2025).

Kata Qohar, Wahyu menyampaikan kepada Ariyanto, jika tidak diurus, majelis hakim nantinya bakal memutus perkara tiga terdakwa korporasi tersebut melebihi tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). “Dan dalam pertemuan tersebut, Wahyu Gunawan juga menyampaikan kepada Ariyanto Bakri sebagai penasehat hukum korporasi untuk segera menyiapkan biaya pengurusannya,” kata Qohar. Belum ada bilangan angka dalam pertemuan antara Wahyu dan Ariyanti tersebut. Tetapi selanjutnya, Ariyanto mengkomunikasikan hasil pertemuan dengan Wahyu tersebut kepada mitranya sesama pengacara korporasi, yakni tersangka Marcella Santoso (MS).
Setelah mendengar kabar dari Ariyanto tersebut, Marcella menjalin kontak dengan tersangka Muhammad Syafei (MSY) yang merupakan legal social security Wilmar Group. Dalam komunikasi tersebut Marcella meminta Syafei untuk bertemu. Pertemuan keduanya terjadi di Rumah Makan Daun Muda di kawasan Jakarta Selatan. Dan dalam pertemuan itu, Marcella menyampaikan kepada Syafei tentang pembicaraan antara Ariyanto dengan Wahyu sebelumnya. “Dimana MS menyampaikan kepada MSY, perihal informasi dari AR, bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng tersebut,” ujar Qohar.
Menanggapi informasi dari Marcella itu, Syafei pun menyampaikan, bahwa akan ada tim yang akan mengurus selanjutnya. Kata Qohar, dua pekan setelah komunikasi dan pertemuan antara Marcella, dan Syafei tersebut, Wahyu kembali menghubungi Ariyanto. Wahyu mengingatkan kembali kepada Ariyanto, bahwa perkara CPO tiga terdakwa korporasi tersebut harus cepat-cepat diurus. “Lalu Ariyanto kembali menyampaikan kabar dari Wahyu Gunawan tersebut kepada tersangka Marcella Santoso,” kata Qohar. Dan Marcella, pun kembali mendesak Syafei agar ketemuan. “Dan MS kemudian kembali bertemu untuk kedua kalinya dengan MSY,” kata Qohar.
Pertemuan kedua Marcella, dan Syafei juga masih dilakukan di Rumah Makan Daun Muda. Lalu Marcella kembali menyampaikan kepada Syafei agar cepat-cepat mengurus perkara korporasi tersebut. Dan Syafei menyampaikan kepada Marcella bahwa pihak korporasinya menyiapkan dana Rp 20 miliar. “MSY memberitahukan atau mengatakan kepada MS, bahwa biaya yang akan disediakan oleh korporasi sebesar 20 miliar,” kata Qohar. Lalu Marcella, pun menyampaikan angka tersebut kepada Ariyanto. Setelah itu, kata Qohar, Ariyanto menghubungi Wahyu untuk bertemu.

Wahyu mengiyakan rencana pertemuan tersebut. Dan selanjutnya, Ariyanto bertemu dengan Wahyu yang membawa serta tersangka Arif Nuryanta. Pertemuan ketiganya dilakukan di Rumah Makan Layar Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur (Jaktim). Angka Rp 20 miliar yang ditawarkan Syafei melalui Marcella itu, Ariyanto sampaikan dalam pertemuan tersebut. Ariyanto, pun meminta Wahyu dan Arif Nuryanta untuk mengurus putusan bebas para terdakwa korporasi tersebut. Tetapi Arif Nuryanta menyampaikan kepada Ariyanto, tentang perkara korupsi minyak goreng oleh tiga korporasi tersebut tak mungkin diputus bebas.
“Tetapi tersangka MAN menyampaikan kepada tersangka AR, bahwa perkara minyak goreng tersebut, bisa diputus onslag (lepas),” ujar Qohar. Akan tetapi kata Qohar, Arif Nuryanta menyampaikan kepada Ariyanto, bahwa Rp 20 miliar yang ditawarkan itu kurang. Karena itu, Arif Nuryanta meminta Ariyanto agar mengalikan tiga dari angka tawaran tersebut. “Arif Nuryanta meminta 20 miliar itu dikali tiga. Sehingga jumlahnya total 60 miliar,” kata Qohar. Dan dari pertemuan itu pula, kata Qohar, Wahyu kembali menyampaikan kepada Ariyanto agar menyiapkan dana Rp 60 miliar untuk pengaturan vonis onslag seperti yang dijanjikan Arif Nuryanta tersebut.
Ariyanto selanjutnya menyampaikan hasil pertemuannya bersama Wahyu dan Arif Nuryanta itu, kepada Marcella. Lalu Marcella, pun kembali menghubungi Syafei dan menyampaikan hasil pertemuan antara Ariyanto, Wahyu, dan Arif Nuryanta tersebut. Dan dari komunikasi dengan Marcella itu, Syafei menyampaikan korporasi akan menyanggupi permintaan Rp 60 miliar itu. “MSY menyampaikan kepada MS, akan menyanggupi, dan akan menyiapkan permintaan (Rp 60 miliar) tersebut dalam bentuk mata uang dolar Amerika (USD) atau dolar Singapura (SGD),” kata Qohar. Tiga hari setelah komunikasi tersebut, Syafei menghubungi Marcella.
“MSY mengatakan kepada MS, bahwa uang yang diminta sudah siap” kata Qohar. Lalu Syafei mengatakan kepada Marcella, kemana uang tersebut akan diserahkan. Marcella, lekas mengatakan kepada Syafei agar uang tersebut diantarkan kepada Ariyanto. Marcella mengirimkan kontak telepon Ariyanto kepada Syafei. Lalu Syafei menghubungi Ariyanto perihal penyerahan uang tersebut. “AR menyampaikan kepada MSY, agar bertemu di parkiran SCBD. Dan MSY datang ke tempat yang direncanakan tersebut, dan menyerahkan uang tersebut kepada Ariyanto,” ujar Qohar.
Tak lama setelah penyerahan uang dari Syafei itu, Ariyanto, pun menghubungi Wahyu. Dan Ariyanto menyampaikan kepada Wahyu bahwa uang Rp 60 miliar yang diminta oleh Arif Nuryanta sudah siap. Lalu meminta Ariyanto agar mengantarkan uang tersebut ke kediaman Wahyu yang berada di Cluster Ebony Jalan Ebony-6 Blok AE Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara. “Dan AR menyerahkan uang tersebut kepada WG,” kata Qohar. Uang dari Ariyanto itu, pun Wahyu kabarkan kepada Arif Nuryanta. Dan Wahyu menyerahkan uang tersebut kepada Arif Nuryanta.
“Dan saat penyerahan uang tersebut, MAN atau Muhammad Arif Nuryanta memberikan kepada Wahyu Gunawan sebesar 50 ribu dolar USD (sekitar Rp 800 juta) sebagai uang jasa penyerahan,” kata Qohar. Sedangkan uang selebihnya, dalam penguasaan Arif Nuryanta. Selanjutnya Arif Nuryanta atas jabatannya sebagai wakil ketua PN Tipikor Jakpus menunjuk komposisi majelis hakim yang akan memeriksa perkara korupsi tiga terdakwa korporasi tersebut. Arif Nuryanta menunjuk Hakim Djuyamto (DJU) sebagai ketua majelis, dan Hakim Agam Syarif Baharudin (ASB), serta Hakim Ali Muhtarom (AM) sebagai hakim anggota.
Setelah penunjukkan komposisi majelis hakim tersebut, Arif Nuryanta menerbitkan surat penetapan sidang. Pada saat itu, kata Qohar, Arif Nuryanta meminta Hakim Djuyamto, dan Hakim Agam Syarif menghadap. Keduanya, pun berjumpa di ruangan Arif Nuryanta. Dalam pertemuan tersebut, Arif Nuryanta menyerahkan uang Rp 4,5 miliar. Kata Qohar, uang itu, diberikan sebagai biaya baca berkas perkara korporasi yang terjerat dakwaan korupsi ekspor CPO. “Dan MAN menyampaikan kepada ASB, dan DJU agar perkara tersebut diatensi,” kata Qohar.
Uang Rp 4,5 miliar yang diserahkan Arif Nuryanta itu diterima oleh Agam Syarif. Ia membungkus uang haram itu ke dalam kantong goodie bag. Lalu setelah kelar bicara dengan Arif Nuryanta, bersama-sama Djuyamto, Agam Syarif membagi uang Rp 4,5 miliar tersebut menjadi tiga bagian. Tersangka Hakim Ali Muhtarom turut dapat jatah dari Rp 4,5 miliar untuk uang baca berkas itu. Artinya ketiga hakim tersebut mendapatkan jatah uang pertama, Rp 1,5 miliar. “Uang tadi (Rp 4,5 miliar) dibagi kepada tiga orang, ASB sendiri, kepada AM yang keduanya sebagai hakim anggota, dan juga kepada DJU sebagai ketua majelis hakim persidangan,” kata Qohar.
Lepas itu, pada kisaran September-Oktober 2024, Arif Nuryanta kembali menyerahkan uang gelombang kedua. Nilainya sebesar Rp 18 miliar. Uang itu diserahkan kepada Djuyamto. Lalu Djuyamto, pun membagi-bagi uang tersebut dengan Agam Syarif, dan Ali Muhtarom. “Dimana penyerahan uang tersebut dilakukan di depan Bank BRI Pasar Baru Jakarta Selatan,” begitu kata Qohar. Tapi Djuyamto membagi-bagi Rp 18 miliar tersebut tak merata. Djuyamto sendiri mengambil jatah kedua untuknya sebesar Rp 6 miliar. Untuk Agam Syarif sebesar Rp 4,5 miliar. Dan untuk Ali Muhtarom Rp 5 miliar.
Dan Djuyamto, ada menyerahkan uang tambahan kepada pihak lain yang disebut sebagai Panitera, sebesar Rp 300 juta. “Sehingga total seluruhnya yang dibagi-bagi dan diterima sebesar 22 miliar Rupiah,” ujar Qohar. Jika seluruh uang pemberian tersangka Ariyanto kepada tersangka Wahyu, yang diserahkan ke tersangka Arif Nuryanta setotal Rp 60 miliar. Maka sisa uang tersebut setelah dibagi-bagi sebesar Rp 22 miliar, masih tersisa Rp 38 miliar. Dan sisa Rp 38 miliar tersebut, hingga saat ini belum terang mengalir kemana-mana lagi.
Pada 19 Maret 2025 majelis hakim tersebut menjatuhkan vonis lepas terhadap Musim Mas Group, Wilmar Group, dan Permata Hijau Group. Padahal ketiga terdakwa korporasi tersebut dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam penerimaan izin ekspor CPO 2022.
Dan JPU dalam tuntutannya meminta majelis hakim menghukum masing-masing perusahaan tersebut dengan denda Rp 1 miliar. Serta JPU meminta agar majelis hakim menghukum tiga perusahaan tersebut dengan pidana tambahan berupa mengganti kerugian keuangan negara, dan kerugian perekonomian negara. Terhadap terdakwa Permata Hijau Group, JPU meminta majelis hakim menjatuhkan pidana tambahan, berupa membayar uang pengganti kerugian perekonomian negara senilai Rp 935,5 miliar. Terhadap terdakwa Wilmar Group senilai Rp 11,88 triliun. Dan terhadap terdakwa Musim Mas Group sebesar Rp 4,89 triliun.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Terduga Penyuap Hakim dari Pihak Korporasi Resmi Tersangka
Kejagung mengumumkan M Syafei (MSY) selaku Legal Wilmar Group sebagai tersangka.
SELENGKAPNYAMisteri Sisa Rp 38 Miliar dalam Dugaan Suap Hakim
Sisa Rp 38 miliar tersebut, hingga saat ini belum terang mengalir ke mana lagi.
SELENGKAPNYABertambah Tiga Hakim Terjerat Dugaan Suap Ekspor CPO
Mereka terjerat skandal dugaan penerimaan suap dan gratifikasi senilai Rp 60 miliar.
SELENGKAPNYASuap Hakim Tipikor Coreng Peradilan
Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ditangkap Kejaksaan Agung.
SELENGKAPNYA