Ekonomi
Meski Terdampak Korona, Perusahaan Tetap Harus Bayar THR
Kadin menyebut dunia usaha sedang dalam masa sulit.
JAKARTA -- Pemerintah mengingatkan dunia usaha untuk tetap membayarkan hak karyawan berupa tunjangan hari raya (THR). Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, perusahaan punya kewajiban melakukan pembayaran THR meskipun ekonomi sedang terpukul akibat pandemi Covid-19.
Pembayaran THR jadi salah satu hal yang disinggung Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat terbatas, Kamis (2/4). Rapat membahas penanganan Covid-19 hingga mudik Lebaran.
"Diingatkan kepada pihak swasta bahwa THR ini berdasarkan UU, diwajibkan. Kementerian Tenaga Kerja sudah mempersiapkan hal-hal terkait THR," ujar Airlangga seusai mengikuti rapat terbatas.
Pemerintah telah memberikan sejumlah insentif bagi perusahaan di tengah tekanan ekonomi saat ini. Stimulus yang diberikan, antara lain penggratisan PPh 21 bagi pekerja sektor pengolahan dengan penghasilan maksimal Rp 200 juta per tahun. Kemudian, pembebasan PPN impor untuk pengusaha yang melakukan impor dengan tujuan ekspor, terutama bagi industri kecil dan menengah.
Pemerintah juga mengurangi PPh 25 sebesar 30 persen untuk sektor tertentu dan memberikan kemudahan impor tujuan ekspor (KITE) bagi industri kecil dan menengah. Selanjutnya, pemerintah mempercepat restitusi PPN bagi 19 sektor tertentu untuk menjaga likuiditas pelaku usaha.
"Selama ini sudah diberikan kepada sektor pengolahan. Nanti diperluas, tak hanya sektor manufaktur, tapi terdampak lain, juga termasuk pariwisata, transportasi, dan sektor-sektor yang kita segera koordinasikan untuk ditambah," kata Airlangga.
Wakil Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Bidang Hubungan Internasional, Shinta Widjaja Kamdani menyatakan, saat ini tidak mudah bagi perusahaan memenuhi kewajiban pembayaran THR. Sebab, kegiatan bisnis sedang lesu.
"Berat sekali. Makanya masing-masing perusahaan harus membuat kesepakatan bipartit, yaitu kesepakatan antara pemberi kerja dan penerima kerja," kata dia kepada Republika, kemarin.
Shinta mengungkapkan, industri manufaktur Indonesia menurun tajam pada kuartal pertama 2020. Hal itu terlihat dari data Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia IHS Markit yang menurun dari posisi 51,9 pada Februari ke level 45,3 pada Maret.
Menurut dia, PMI Manufaktur Indonesia pada kuartal kedua bisa lebih anjlok lagi.
"Wajar bila PMI Q2 (kuartal kedua) 2020 terjun bebas karena PMI akan selalu mengikuti tren atau proyeksi permintaan pasar di kuartal yang dilaporkan," katanya.
Shinta menuturkan, pada kuartal kedua terdapat proyeksi penyebaran wabah korona yang lebih luas atau dalam hingga mencapai titik puncak. Proyeksi itu membuat pelaku usaha, khususnya di sektor manufaktur, memperkirakan adanya penurunan lebih tajam terhadap permintaan produk manufaktur. Sebab, permintaan akan sangat terkonsentrasi pada barang atau jasa kebutuhan primer.
Jika kondisi itu terjadi, pendapatan industri manufaktur akan turun secara drastis. "Kami proyeksikan tren ini akan bertahan hingga ada kontrol yang lebih baik terhadap wabah di Indonesia dan di level global," kata dia.
Selama wabah korona belum terkendali, menurut Shinta, PMI pun tidak akan pulih, malah akan semakin turun. Jika penyebaran wabah bisa diatasi sebelum akhir kuartal II 2020, dia memprediksi kinerja industri manufaktur bakal sedikit terangkat di kuartal tiga.
"Namun, kalau masih belum juga terkendali hingga kuartal III, kemungkinan besar PMI di sepanjang 2020 tidak akan menunjukkan perubahan positif," katanya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.