Pelaksanaan Shalat Id di Nagari Kurai Taji–awal bermulanya Muhammadiyah Daerah Padang Pariaman. Sumber: | Dokumentasi Kasim Munafy

Nostalgia

Shalat Id Sarat Konflik di Sumatra Westkust

Muhammadiyah yang pertama kali memperkenalkan shalat di tanah lapang.

Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN, periset dan pengajar sejarah. Pernah menjadi dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Art University of Melbourne Australia

 

Tersebutlah kisah mengenai pelaksanaan shalat kali pertama di Sumatra Westkust, yang mengundang konflik antara persyarikatan Muhammadiyah dengan kelompok Islam tradisional. Sejarawan Taufik Abdullah dalam School and Politics menyebutnya sebagai konflik Kaum Muda versus Kaum Tua. Setidaknya ada dua afdeling yang sarat konflik itu. Yakni, Afdeling Batipuh X Koto, Indropuro, dan Kerinci, serta Afdeling Pariaman.

 

Bermula dari Hoofdbestuur Muhammadiyah Hindia Timur

Adalah persyarikatan Muhammadiyah yang pertama kali memperkenalkan shalat di tanah lapang. Pada awalnya, ritual ibadah ini tidak lazim dilakukan. Kontan saja pelaksanaan ini menyulut konflik di kalangan ulama tradisional.

Haedar Nashir (2010) mencatat, bahwa pelaksanaan Salat Id di lapangan untuk pertama kali dilakukan Muhammadiyah pada 1926 dengan berlokasi di alun-alun utara Keraton Yogyakarta. Kiai Ahmad Dahlan sebelum wafat, telah berusaha memahamkan pada umat Islam, supaya mengikuti Sunnah dengan menggelar Salat Id di lapangan terbuka.

Sementara di masa itu, muslim Indonesia yang mayoritas bermazhab fikih Syafi’i kerap melaksanakan Salat Id di masjid besar. Sebab penyelenggaraan Shalat Id di dalam masjid lebih utama dilakukan.

Tentunya putusan yang ditetapkan Hoofdbestuur Muhammadiyah Hindia Timur pasca keputusan Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, adalah bentuk ijtihad dan mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW, serta kalangan tabi'in. Juga berdasarkan riwayat Abu Sa'id Al-Khudri, bahwa  “Rasul SAW keluar ke tanah lapang pada hari Idul Fitri dan Idul Adha, maka pertama kali yang dilakukannya adalah sholat” (HR Bukhari).

Sejak saat itu, pelaksanan shalat Id dilakukan di lapangan terbuka. Sumber-sumber primer di masa Kolonial Belanda menyebutkan, misalnya di Batavia, untuk penyelenggaraan shalat Id dipusatkan di Waterlooplein, atau kini dikenal dengan nama Lapangan Banteng. “Tahun ini adalah kedua belas kalinya ritual semacam itu diselenggarakan di tempat terbuka” (Bataviasch Nieuwsblad, 7 November 1939).

Aidil Fitri Gebeid tidak hanya diselenggarakan Muhammadiyah saja. Untuk pelaksanaaan di Waterlooplein juga digalang oleh tiga belas organisasi massa Islam, termasuk di dalamnya disokong persyarikatan yang dirintis Kiyai Dahlan itu.

Apakah pemerintah Kolonial Belanda memegang peran dalam penyelenggaraan ibadah umat Islam? Kantoor Voor Indlandsche Zaken yang dirintis untuk melaksanakan gagasan dari Snouck Hourgronje memegang hak untuk menentukan awal Ramadhan dan Idul Fitri.

Namun untuk penyelenggaraannya untuk kasus di Jawa, tidak ada catatan yang ditemukan baik dalam pemberitaan surat kabar di masa Kolonial Belanda. Kondisi ini berbeda dengan di Sumatra Westkust. Di mana penyelenggaraan Shalat Id mendapat respon keras dari kelompok Kaum Tua, terutama di Afdeling Indropuro, Kerinci, dan Afdeling Pariaman.

 

Kisah dari Batipuh  X Koto

Kisah Konflik Shalat Id di Afdeling Batipuh X Koto dan Kerinci bermula di masa awal depresi ekonomi. Berdirinya Groep Lakitan (1927) yang telah memperoleh salinan SK Pendiriannya dari Hoofdbestuur Muhammadiyah Hindia Timur pada 3 Desember 1930. Di Nagari Koto Baru Kambang itulah bermula lahirnya persyarikatan di bumi Afdeling Batipuh X Koto, Indropuro, dan Kerinci.

Ketua Cabang Batipuh X Koto, Indropuro, dan Kerinci – yakni Samik Ibrahim masa itu bersemangat untuk mengembangkan persyarikatan–yang dananya disokong oleh saudagar kaya yang berjualan di Painan, Bayang, Kambang, dan lain sebagainya. Sehingga dalam kurun waktu 1928-1930 Samik Ibrahim berhasil membuka blokade Air Haji, Amping Parak, Pelangai Kambang, Lumpo Balai Selasa, Indropuro, dan Tapan.

Pada tanggal 19 Februari 1931 Samik memobilisasi shalat Id di tanah lapang. Pelaksanaan shalat Id ini adalah kali pertama dilaksanakan di lapangan, setelah empat tahun Muhammadiyah dirintis di ranah Pesisir Selatan.

Selaku Ketua Cabang, Samik menginstruksikan agar seluruh Ketua Groep melaksanakan Shalat Id sesuai dengan tuntunan Sunnah Rasulullah saw. Beberapa daerah yang diberi instruksi tersebut, adalah Groep  Sungai Talang, Groep Lumpo, Groep Amping Parak, Groep Kambang, Groep Pasar Baru, Groep Air Haji, dan Groep Indropuro (Sufyan, 20201).

Hampir seluruh daerah di atas adalah basis dari tarekat Naqsyabandiyah. Dan, direncanakan sebelum datang ke lapangan Kalumpang, para jamaah datang berbondong-bondong bersama keluarganya dan melakukan arak-arakan.

Asisten demang Kambang Moh. Djosan pun mencegah arak-arakan itu. Ia tidak ingin terjadi konflik antara massa fanatik Naqsyabandiyah dengan Muhammadiyah. Setelah pelaksanaan shalat Samik kembali dibungkam Djosan dengan aturan pasal karet, yakni vergader verbond (Sufyan, 2020).

Aturan vergader verbond bermula dari Gubernur Jendral BC de Jonge yang membatasi aktivitas pergerakan nasional. Aturan vergader verbond ditujukan untuk membatasi gerak organisasi yang radikal; larangan untuk mengadakan rapat umum di tempat terbuka/ tempat umum, rapat tertutup di rumah ataupun di kantor partai harus mendapat izin dan veldpolitie berhak untuk hadir.

Tekanan demi tekanan yang dialamatkan pada Samik Ibrahim, tidak membuat psikisnya terguncang. Ia terus menghadapi aturan-aturan pasal karet yang dialamatkan padanya. Pada tahun 1933 pasca lahirnya anak ketiga Samik bernama Umar pada 17 Oktober 1933, ia mencoba cara lain untuk menyiarkan Islam.

 

Shalat Id dikawal Veldpolitie dan Parewa

Berbeda dengan kasus yang menimpa Cabang Batipuh X Koto, Indropuro, dan Kerinci, groep Kurai Taji yang baru berusia dua tahun itu, mengalami tekanan dari massa Tarekat Syattariyah. Dua tahun setelah berdirinya Muhammadiyah di Nagari Kurai Taji Afdeling Pariaman, tokoh-tokoh Muhammadiyah bersepakat untuk melaksanakan shalat Idul Fitri di tanah lapang.

Bila tahun sebelumnya, pelaksanaan shalat Idul Fitri selalu mengikuti aturan Tuanku Kali di Masjid Punango Panendangan, tapi tidak untuk tahun 1931. Lokasi yang dipilih untuk shalat Id adalah lapangan kecil di depan asrama yatim Muhammadiyah. “Saya yang masih berusia 13 tahun, ditugaskan mempersiapkan tikar plastik dan tikar pandan di depan internaat yatim Muhammadiyah.” – demikian tulis Kasim Munafy (1979).  

Kasim Munafy adalah seorang pengurus Hizbul Wathan (HW) Kurai Taji dan menjadi saksi dari bertumbuhnya persyarikatan di daerah tersebut. “Saya menjadi saksi pelaksanaan ‘Ied pertama di tanah lapang. Beberapa orang dari polisi lapangan, bersama seorang intel mengawasi rombongan jamaah yang datang ke lapangan sambil mengumandangkan takbir” – demikian tulis Kasim Munafy dalam manuskripnya.

Masyarakat datang ke lapangan  secara  berbaris  sambil bertakbir. Ketika itu, Kasim melihat beberapa rombongan silih berganti memasuki tanah lapang, diatur begitu rupa. Ada rombongan dari arah Surau Dagang, ada dari Surau Paninjauan, serta dari Batang Tajongkek.

Ketika shalat Id dilaksanakan, Kasim melihat ada pengawalan dari veldpolitie bersama seorang  reserse khusus untuk mengawasi pelaksanaan shalat dan khutbah ‘Id. Mengapa tiba-tiba penyelenggaraan shalat itu dikawal oleh polisi lapangan yang didatangkan dari Afdeling Padang Panjang? Sebab, sudah ada berita intimidasi dari massa Tarekat Syattariyah untuk menggagalkan penyelenggaraan Shalat Id tersebut.

Rupanya, melihat pengawalan dari veldpolitie – niat untuk membubarkan shalat Id yang kali pertama diselenggarakan di Adeling Pariaman itu, urung dilakukan. Ketika itu yang bertindak sebagai imam dan khatib adalah Haji Haroun el Maany  dengan bacaannya yang cukup lantang dengan qiraah yang indah.

Setelah itu, pelaksanaan shalat Id dilaksanakan di lapangan bola di Lundung Pauh, Kurai Taji. Tanah ini disewa dari keluarga suku Koto dari Kurai Taji, kemudian digarap oleh Pemuda Muhammadiyah, mengingat bahwa masyarakat yang mengikuti shalat Id makin berlimpah. Dan sampai kini pelaksanaan Shalat Id dilaksanakan di depan gedung Tsawaniyah Muhammadiyah tangah sawah.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat