
Nostalgia
Catatan Pembuangan Haji Merah ke Pulau Timor
Belanda membuang sejumlah tokoh yang dituding sebagai 'kuminih'.
Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN, periset dan pengajar sejarah. Pernah menjadi dosen tamu dalam visiting scholar di Faculty of Art University of Melbourne Australia
Tersebutlah kisah Haji Datuk Batuah asal afdeling Batipuh X Koto–yang mengguncang dunia pergerakan di Sumatra Westkust. Guru agama di Sumatra Thawalib, pembantu redaksi Al-Munir Al-Manar, pemilik surat kabar Pemandangan Islam, perintis International Debating Club (IDC), dan leader Sarekat Rakyat Padang Panjang itu, telah memicu kecemasan controleur Padang Panjang dan residen Sumatra Westkust.
Ditangkap Atas Fitnahan Datuk Basa
Segala upaya pun dikerahkan untuk meringkus haji merah–yang telah memformulasikan nilai-nilai keislaman, dengan Marxisme dan adat istiadat Minangkabau. Ia menyebutnya Kuminih. Mengapa kedua petinggi kolonial Belanda itu ketakutan?
Tentu saja. Mereka khawatir dengan tulisan-tulisan Haji Datuk Batuah di Djago! Djago!, Pemandangan Islam, Doenia Achirat, Njala, Petir dan Torpedo – yang kerap menyerang kapitalisme, kolonialisme, belasting (pajak) yang menyengsarakan rakyat, maupun bangsa Belanda sebagai “kafir” yang wajib diperangi. “Dulu kita bertuan ke alur dan patut, karena tipu daya Belanda, kita beraja ke bangsa yang tidak tahu alur dan patut.”–demikian tulis Haji Datuk Batuah (Doenia Achirat, 3 November 1923).
Belum termasuk, meningkatnya jumlah anggota Sarekat Rakyat Padang Panjang yang baru dideklarasikan pada Oktober 1923. Sebulan kemudian jumlahnya melesat menjadi 250 orang. Benar-benar fantastis. Hoofddjaksa Padang Panjang berupaya menjerat Haji Datuk Batuah dan kompatriotnya Natar Zainuddin dengan pasal karet persdelict, maupun vergader verbond.
Sebagai bagian dari tindakan preventif, controleur mengirim patroli bersenjata untuk meringkus Haji Datuk Batuah dan Natar. Penangkapan terhadap ideolog Kumih ini, terkait fitnah yang dihembuskan Kepala Nagari Koto Laweh Datuk Basa terhadap diri Haji Datuk Batuah. Ia telah membongkar korupsi dari Datuk Basa yang menilap uang pas ternak dan uang lelah buruh yang mengerjakan pengerasan jalan dari Koto Laweh ke Panyalaian.
Penangkapan itu terhadap Natar terjadi pada Ahad, 11 Novermber 1923. Controleur, Demang, dan Hoofdjaksa diikuti beberapa orang serdadu Belanda menciduk Natar Zainuddin yang berada di jalan. Natar mendapat pengawalan ekstra menuju kantor IDC di Pasar Usang Padang Panjang. Aksi penangkapan ini sontak mengagetkan puluhan kader yang mempersiapkan surat kabar terbitan 11 November 1923.
Aksi penangkapan serupa, menimpa Haji Datuk Batuah, yang selesai melaksanakan salat Zuhur. Meskipun berbadan besar, Haji Datuk Batuah tidak melakukan perlawanan, hanya mempersilakan serdadu Belanda menangkapnya. Setelah kedua petinggi Sarekat Rakyat ditangkap, 12 orang polisi bersenjata menggeledah kantor Pemandangan Islam, IDC, rumah Natar Zainuddin, Haji Datuk Batuah, dan Djamaluddin Tamim.
Ketika sepasukan polisi menangkapnya, Haji Datuk Batuah menuduh aksi ini didalangi gurunya sendiri, yakni Haji Rasul. Walaupun eks muridnya itu pernah bersitegang dengan dirinya, mendengar berita penangkapan itu, wajah ayah Hamka itu berubah muram. Ia berujar kepada Hamka, “Sudah tertangkap Haji Datuk Batuah. Sayang dia seorang alim besar, terbenam saja ilmunya. Waang (kamu) jangan masuk komunis pula!”
Controleur mengira sejak meringkus Haji Datuk Batuah dan Natar, gerakan itu akan berakhir. Setahun kemudian, malah Schrieke mengakui bahwa Sumatra Westkust dan daerah sekitarnya lebih ‘merah’ dari sebelumnya. Bagaimana dengan nasib Haji Datuk Batuah dan Natar? Setelah ditahan di sel Padang Panjang, sebelum dihadapkan pada Residen Sumatra Westkust GFE Gonggrijp, keduanya ditahan di penjara Muaro Padang.
Diputuskan Dibuang ke Pulau Timor
Setelah setahun lebih dipenjara, tanggal 19 Oktober 1924 Haji Datuk Batuah dan Natar dikeluarkan dari sel tahanan oleh kepala penjara Muaro Padang. Dengan kedua pergelangan yang dibelenggu, mereka menaiki mobil yang telah menunggu di depan penjara. Pada pukul 23.00 Propagandis Komunis dijebloskan ke sel tahanan Padang.
Keduanya bermalam di kamar yang terpisah, lembab dan diliputi kegelapan. Tanggal 22 Oktober 1924 pukul 08.30 Natar dan Haji Datuk Batuah ditarik keluar sel penjara untuk bertemu Residen Sumatra Barat GFE Gonggrijp.
Rupanya Gonggrijp belum hadir di kantornya, sambil menunggu kedatangannya, mereka duduk-duduk di depan teras. Tidak lama, Datuk Mangkuto Besar dan beberapa orang anggota Sarekat Rakyat mendatangi tokoh propagandis komunis. Namun, polisi melarang Datuk Mangkuto Besar menemui mereka, dengan alasan Residen sebentar lagi hadir. Mendengar penjelasan itu, Datuk Mangkuto Besar hanya bisa menggerutu dan diusir dari teras kantor Residen.
Ketika Gonggrijp hadir, Haji Datuk Batuah dan Natar diberi delapan pertanyaan mengenai tuduhan makar dan persdelict. Haji Datuk Batuah mengajukan syarat, sebelum menjawab seluruh pertanyaan, ia minta dijadikan tahanan kota. Namun, permintaan ini ditolak Gonggrijp dengan alasan, mereka adalah tahanan politik berbahaya.
Mendengar jawaban Residen itu, Haji Datuk Batuah pun menjawab singkat seluruh pertanyaan yang diajukan. Setelah menjawab seluruh pertanyaan, mereka kembali ke sel tahanan. Dalam perjalanan menuju penjara, Datuk Mangkuto Besar menguntit dari belakang dan memanggil keduanya. Seorang polisi Belanda yang mengawal, memberi isyarat pada Haji Datuk Batuah, bahwa ia tidak boleh bicara dengan Datuk Mangkuto Besar.
Tanggal 23 Januari 1925, Haji Datuk Batuah menerima salinan besluit yang berisi perintah pembuangan dirinya ke Kalabahi dan Natar Zainuddin ke Kefamenanu. Salinan besluit ini keluar dari hasil keputusan pengadilan di Padang tanggal 12 Januari 1925. Mengenai alasan pembuangan tokoh propagandis komunis asal Padang Panjang itu, dimuat Petir tanggal 15 Januari 1924.
Berselang tiga hari setelah diterimanya salinan putusan pengadilan, tanggal 26 Januari 1925 propagandis komunis kembali diminta menghadap Residen. Dalam ruangan besar itu, Sang Residen menegaskan bahwa Haji Datuk Batuah dan Natar harus dibuang karena sudah melakukan tindakan subversif.
Menuju Pembuangan di Kalabahi dan Kefamenanu
Sejak tersiarnya kabar penangkapan Haji Datuk Batuah cs, rupanya banyak pihak menunggu kabar beritanya di balik ‘hotel prodeo’. Jelang tiga tahun masa penahanannya Januari 1925, Haji Datuk Batuah menulis surat untuk seorang sahabatnya di Fort de Kock, kemudian dimuat Doenia Achirat tanggal 1 Februari 1925.
Melalui suratnya, Haji Datuk Batuah mengisahkan pembuangan yang dimulai dari Padang. Tanggal 8 Februari 1925 pukul 01.00 Haji Datuk Batuah dan Natar dikeluarkan dari penjara untuk dibawa menuju Emmahaven. Sesampainya di ruang stuurman, propagandis komunis disuruh tidur dalam ruangan itu. Bukannya tidur lelap, Haji Datuk Batuah dan Natar Zainuddin malah mengajak polisi yang berjaga di depan pintu bercakap-cakap.
Tanggal 9 Februari 1925 pukul 09.00, seorang Komisaris Polisi menemui pembesar militer, untuk serah terima berkas-berkas tahanan politik. Ketika kapal hendak berlayar, istri-anak Haji Datuk Batuah dan Natar baru hadir dan mereka pun dipindah ke dek kelas tiga. Haji Datuk Batuah baru merasakan pahitnya menjadi ‘pesakitan politik’.
Sehingga dalam bagian akhir suratnya ia menuturkan perasaannya,”Kami juga terus dijaga dengan serdadu yang pegang senapan siang dan malam. Siapa di antara kami yang akan pergi mandi atau buang air, anak ataupun bini, mesti diantar dengan serdadu.”
Tanggal 11 Februari 1925 rombongan tahanan propagandis komunis sampai di pelabuhan Tanjungpriok. Ketika kapal membuang sauhnya, seorang serdadu menarik tangan Haji Datuk Batuah dan menanyakan keberadaan Arif Fadhilah. Haji Datuk Batuah baru sadar, bahwa eks redaktur Djago! Djago! itu juga berangkat bersama mereka.
Sebelum menuju kantor Komisaris di Tanjungpriok, Haji Datuk Batuah bertemu dengan Alimin, seorang gembong CC PKI di Jawa. Dalam suratnya, Haji Datuk Batuah mengungkap kebahagiaannya bisa bertemu dengan tokoh sentral PKI dalam masa pembuangannya.
Setibanya di Kantor Komisaris, propagandis komunis dan keluarganya langsung ditahan dan dijaga ketat polisi. Sementara itu, beberapa orang tokoh PKI melobi untuk bertemu dengan tokoh propagandis komunis. Kepala Komisaris hanya membolehkan Budi untuk menyampaikan pesan ketua PKI dan permohonan maaf mereka.
Ketua PKI mendoakan Haji Datuk Batuah, Natar dan keluarganya tidak menemui kendala dalam masa pembuangan. Sebelum berpamitan, Budi menyerahkan uang sebesar f 25 dan beberapa bungkus makanan dan kue.
Hanya sekitar satu jam berada di pelabuhan Tanjungpriok, Haji Datuk Batuah dan Natar dibawa ke Cirebon dan menginap di sana. Pagi harinya, mereka melanjutkan perjalanan menuju Surabaya dengan kapal Ekspress. Sesampainya di Surabaya, mereka menginap di salah satu hotel dengan pengawalan ketat. Ketika menginap di Surabaya, Haji Datuk Batuah bertemu dengan seorang pentolan PKI muda, yakni Muso (Surat Pribadi Haji Datuk Batuah Juli 1925).
Tidak lama setelah berjumpa Haji Datuk Batuah, Muso ditangkap pada tanggal 6 Juni atas perkara spreekdelict di Ciamis. Penangkapan ini diduga untuk mencegah tokoh komunis muda itu menghadiri kongres Komunis di Welteveraden tanggal 7-11 Juni 1926. Rencananya pada awal kongres, Muso akan tampil sebagai pembicara di depan massa kiri yang berasal dari Jawa, Sumatra, Selebes, dan Borneo.
Bagaimana dengan kisah pembuangan haji merah dan Natar? Misalnya Natar yang dibuang bersama keluarganya diliputi kisah pilu. Anak pertama Natar bernama Kartini (15 tahun) harus menjadi tumbal karena menderita sakit malaria. Cerita sedih ini diungkap istri Natar Apiah dalam Medan Muslimin di Solo.
Tanggal 10 Desember 1925 pada pukul 02.00 anak sulung Natar tidak kuasa menahan serangan malaria. Apiah menulis, sudah beberapa hari anaknya menderita demam tinggi dan dari hidungnya keluar darah. Keterbatasan tenaga medis di Kefamenanu, mengakibatkan nyawa Kartini tidak tertolong (Njala tanggal 25 Februari 1926).
Natar dan istrinya yang mengurus jenazah Kartini, mulai dari memandikan, mengafani, menyalatkan, hingga menguburkan. Tidak satupun penduduk di sana menolong, karena wilayah Kafananu notabenenya adalah penganut Kristen Katolik. Meskipun berada di wilayah non muslim, namun penduduk Kefamenanu yang beragama Kristen dan beberapa orang Tionghoa sempat melayat ke rumah duka (Njala tanggal 25 Februari 1926).
Apiah lebih lanjut menulis,”Pada hari itu juga (Ahad) siangnya setelah selesai dimandikan dan disembahyangkan oleh bapaknya Kartini (suami saya), menurut perintah Tuhan dalam agama Islam jam 3 sore dikuburkanlah anak saya itu di pinggir rumah yang saya tinggal itu juga. Betul waktu itu ada juga beberapa orang Kristen dan Tionghoa turut berduka cita. Tapi ia tidak dapat berbuat apa-apa karena tidak mengerti peraturan agama Islam, sudahlah kami laki istri berbuatnya. (Medan Muslimin tanggal 23 Februari 1926). Jasad Kartini yang sudah dishalatkan itu, kemudian dimakamkan di samping rumah mereka.
Tiga hari setelah pemakaman anaknya, tepatnya tanggal 14 Desember 1925, giliran Natar didera malaria. Natar menderita demam tinggi dan dari hidungnya keluar darah. Apiah tidak kuasa menahan beban yang menggunung itu. Ia harus mengurus suaminya yang didera sakit malaria, bersamaan itu juga ia harus membesarkan buah hatinya. Melalui surat yang ditulis tanggal 16 Januari 1926 itu, ia berharap supaya redaktur Medan Muslimin mau mengabarkan kondisi keluarganya di pembuangan.
*Penulis pernah mempresentasikan tulisan ini dengan judul "Islamic and Communist Protest Movements" tanggal 28 Mei 2024 di Sidney Myer Center University of Melborune Australia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.