
Internasional
Negara Arab dan Islam Bersatu Tolak Pengosongan Gaza
Pengusiran warga Gaza ke Saudi dinilai sebagai garis merah.
RIYADH – Negara-negara Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menolak pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menyerukan pembentukan negara Palestina di wilayah Saudi. Pernyataan ini menambah panjang daftar kecaman terhadap rencana yang mulanya dilontarkan Presiden AS Donald Trump tersebut.
Rencana itu dianggap "rasis dan di luar kendali", dan menekankan bahwa keamanan Kerajaan Saudi yang merupakan lokasi Masjidil Haram dan Masjid Nabawi adalah garis merah. Hal ini disampaikan dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan oleh Mesir, Uni Emirat Arab, Sudan, Palestina, dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI).
Aljazirah Arabia melansir, Kementerian Luar Negeri Saudi juga menegaskan penolakannya terhadap pernyataan Netanyahu mengenai pengusiran warga Palestina dari tanah mereka. Saudi mengatakan bahwa pernyataan tersebut bertujuan untuk mengalihkan perhatian dari kejahatan pendudukan berturut-turut di Gaza.
Dalam sebuah pernyataan, mereka menekankan bahwa “hak persaudaraan rakyat Palestina akan tetap teguh dan tidak ada yang bisa mengambilnya tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan, dan perdamaian abadi hanya akan tercapai dengan kembali ke logika nalar dan menerima prinsip hidup berdampingan secara damai melalui solusi dua negara.”

Kementerian juga menghargai “kecaman, kecaman dan penolakan total yang diumumkan oleh negara-negara bersaudara mengenai apa yang dinyatakan Benjamin Netanyahu mengenai pengusiran rakyat Palestina dari tanah mereka. Posisi ini menegaskan pentingnya perjuangan Palestina bagi negara-negara Arab dan Islam.”
Dewan Kerjasama Teluk (GCC) yang beranggotakan enam negara “mengecam keras” komentar perdana menteri Israel tentang pembentukan negara Palestina di Arab Saudi.
Sekretaris Jenderal Jasem Mohamed Albudaiwi mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa “pernyataan berbahaya dan tidak bertanggung jawab ini menegaskan pendekatan pasukan pendudukan Israel yang tidak menghormati hukum dan perjanjian internasional dan PBB serta kedaulatan negara”.
“posisi Kerajaan dan negara-negara GCC yang tegas dan teguh untuk mendukung rakyat Palestina dalam memperoleh hak-hak mereka yang sah,” ujarnya dilansir Aljazirah kemarin. Ia juga menekankan perlunya mencapai solusi dua negara dan mendirikan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur yang diduduki sebagai ibu kotanya.

Pejabat tersebut juga memperbarui seruannya kepada komunitas internasional untuk “menentang pernyataan agresif Israel ini dengan serius dan tegas, yang merupakan ancaman dan bahaya bagi keamanan dan stabilitas kawasan dan dunia secara keseluruhan”.
Kementerian Luar Negeri Mesir juga mengutuk dengan tegas pernyataan tidak bertanggung jawab dan sama sekali tidak dapat diterima yang dikeluarkan oleh pihak Israel yang menghasut terhadap Arab Saudi dan menyerukan pembentukan negara Palestina di tanah Saudi.
Dia menekankan bahwa “Arab Saudi dan penghormatan terhadap kedaulatannya adalah garis merah yang tidak boleh dilanggar, dan stabilitas serta keamanan nasionalnya adalah inti dari keamanan dan stabilitas Mesir dan negara-negara Arab, dan tidak ada kompromi mengenai hal itu.”
UEA juga menyatakan “kecaman keras dan kecaman atas pernyataan Netanyahu yang tidak dapat diterima dan provokatif mengenai pembentukan negara Palestina di wilayah Saudi.”
Sekretaris Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO), Hussein Al-Sheikh, juga mengutuk posisi Israel yang menargetkan Kerajaan Arab Saudi dan kedaulatannya, serta menyerukan pembentukan negara Palestina di tanahnya.
Organisasi Kerjasama Islam (OKI) mengecam dalam sebuah pernyataan "dengan tegas pernyataan Perdana Menteri Israel yang tidak dapat diterima dan tidak bertanggung jawab, di mana ia menyerukan pembentukan negara Palestina di wilayah Saudi."
Organisasi tersebut menganggap bahwa "pernyataan-pernyataan rasis ini datang dalam kerangka penolakan Israel yang terus-menerus, sebagai kekuatan pendudukan, terhadap hak-hak sejarah, politik dan hukum masyarakat asli Palestina di tanah air mereka."
Wakil Menteri Luar Negeri (Wamenlu) RI Muhammad Anis Matta juga secara tegas menolak usulan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang menyampaikan ingin merelokasi warga Palestina di Jalur Gaza ke negara lain. “Ada pun rencana (presiden Amerika Serikat) untuk relokasi warga Gaza, ya itu pasti kita tolak," kata Wamenlu Anis Matta kepada Republika di Gedung Konstitusi Kemenlu RI, Kamis (6/2/2025).
Wamenlu Anis Matta mengatakan, melakukan relokasi warga Gaza sama saja dengan mengusir warga Gaza. Bahasa merelokasi artinya mengusir warga Gaza tapi dengan bahasa yang halus. "Jadi pasti kita (Indonesia) tolak (rencana Donald Trump) itu, tapi yang lebih penting lagi pasti masyarakat Gaza juga menolak (rencana tersebut)," ujarnya.

Wamenlu Anis Matta mengungkapkan, warga Gaza menghadapi pembantaian dan genosida yang dilakukan Israel saja tidak pergi meninggalkan Gaza. Maka kalau hanya pembangunan ulang Gaza, tentu warga Gaza tidak akan pergi.
Menurutnya, semua negara sekarang ini terutama negara-negara di Timur Tengah sudah menyatakan juga penolakannya atas gagasan Presiden Trump merelokasi warga Gaza. "Dan memang ini (rencana Presiden Amerika) saya kira bertentangan ya, dan Kementerian Luar Negeri RI sudah menyampaikan pernyataan resmi menolak soal gagasan (Presiden Trump) ini," ujar Wamenlu Anis Matta.
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu sebelumnya mengatakan dalam sebuah wawancara pada Jumat bahwa "Arab Saudi memiliki cukup tanah untuk menyediakan negara bagi Palestina," menurut apa yang dilaporkan oleh Jerusalem Post. Ditanya tentang pembentukan negara Palestina sebagai syarat normalisasi dengan Arab Saudi, Netanyahu mengatakan, "Saya tidak akan membuat perjanjian yang akan membahayakan Israel."
Presiden AS Donald Trump pada gilirannya menyarankan agar Amerika Serikat mengambil alih Jalur Gaza dan mengevakuasi penduduknya untuk mengembangkan proyek real estat di sana, namun kemudian ia mengatakan bahwa ia tidak terburu-buru untuk melaksanakan usulannya.
Sejak 25 Januari, ia juga telah mempromosikan rencana untuk memindahkan warga Palestina dari Gaza ke negara-negara tetangga seperti Mesir dan Yordania, yang ditolak oleh kedua negara, dan diikuti oleh negara-negara Arab lainnya serta organisasi regional dan internasional.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.