Internasional
Setelah Gencatan Senjata Palestina Harus Merdeka
Indonesia mendesak pemberlakuan total gencatan senjata di Gaza.
GAZA – Kesepakatan gencatan senjata antara Israel dan kelompok Hamas di Palestina harus membuka jalan bagi tujuan yang lebih besar yakni pembebasan Palestina. Hal ini disampaikan Pemerintah Indonesia menyambut kesepakatan gencatan senjata yang telah dicapai kedua pihak kemarin.
"Indonesia menyambut baik kesepakatan gencatan senjata di Gaza, seperti selama ini didorong Indonesia serta masyarakat internasional. Implementasi kesepakatan tersebut harus dilaksanakan segera dan secara menyeluruh demi terhentinya korban jiwa di Gaza," kata Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI dalam keterangannya, Kamis (16/1/2025).
Indonesia menekankan pentingnya pemulihan kehidupan masyarakat di Gaza melalui akses penuh penyaluran bantuan kemanusiaan. Termasuk pemulihan peran Badan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) serta rekonstruksi Gaza.
"Perdamaian di Palestina tidak dapat dicapai tanpa penghentian penjajahan Israel, serta berdirinya Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat, sesuai solusi dua negara berdasarkan parameter internasional yang telah disepakati," kata Kemlu RI.
Gerakan perlawanan Islam Hamas akhirnya sepakat untuk gencatan senjata. Kesepakatan gencatan senjata ini diumumkan Perdana Menteri dan Menteri Luar Negeri Qatar Syekh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani pada Rabu malam (15/1/2025). Pada Ahad (19/1/2025) nanti, lanjut dia, gencatan senjata itu akan mulai dilaksanakan.
"Kedua belah pihak yang bertikai di Jalur Gaza telah mencapai kesepakatan tentang pertukaran tahanan dan sandera, dan (kami) mengumumkan gencatan senjata. Harapannya, ini akan berujung pada gencatan senjata secara permanen antara kedua belah pihak tersebut," ujar PM Qatar Syekh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani dalam jumpa pers, seperti dilansir the Guardian, Kamis (16/1/2025).
Kesepakatan ini terwujud setelah berbulan-bulan perundingan yang terkadang berlanjut dan terkadang mundur, dan setelah ancaman Presiden Amerika Serikat Donald Trump bahwa gencatan senjata diperlukan sebelum dia mulai menjabat pada tanggal 20 Januari 2025.
Perjanjian tersebut mencakup klausul yang mengatur perbaikan kondisi tahanan Palestina di penjara pendudukan, tetapi Israel menolak untuk membebaskan tahanan senior Palestina di penjara pendudukan. Disepakati pula untuk membentuk komite Mesir-Qatar untuk mengawasi kembalinya para pengungsi dari Jalur Gaza selatan ke utara.
Kesepakatan itu terdiri dari tiga fase. Fase kedua dan ketiga akan dilaksanakan bila fase pertama dapat dijalankan.
Fase Pertama
Tiga puluh tiga warga Israel tawanan Hamas di Gaza, termasuk perempuan, anak-anak dan warga sipil yang berusia di atas 50 tahun akan dibebaskan. Sementara Israel akan membebaskan lebih banyak tahanan Palestina selama fase ini.
Israel akan menarik pasukannya dari pusat populasi Gaza ke wilayah yang tidak lebih dari 700 meter di dalam perbatasan Gaza dengan Israel. Israel juga akan mengizinkan warga sipil untuk kembali ke rumah mereka di wilayah utara yang terkepung dan mengizinkan gelombang bantuan hingga 600 truk per hari ke wilayah tersebut.
Israel akan mengizinkan warga Palestina yang terluka meninggalkan Gaza untuk mendapatkan perawatan, dan akan membuka penyeberangan Rafah dengan Mesir tujuh hari setelah dimulainya penerapan tahap pertama.
Pasukan Israel akan mengurangi kehadirannya di Koridor Philadelphi, wilayah perbatasan antara Mesir dan Gaza, dan kemudian mundur sepenuhnya selambat-lambatnya pada hari ke-50 setelah perjanjian tersebut berlaku.
Fase Kedua
Jika persyaratan untuk tahap kedua telah dipenuhi, Hamas akan melepaskan semua tawanan yang masih hidup, sebagian besar tentara laki-laki, sebagai imbalan atas pembebasan lebih banyak warga Palestina yang ditahan di penjara-penjara Israel. Israel akan memulai “penarikan total” dari Gaza.
Fase Ketiga
Jika persyaratan tahap kedua terpenuhi, jenazah para tawanan yang tersisa akan diserahkan sebagai imbalan atas rencana rekonstruksi tiga hingga lima tahun yang akan dilakukan di bawah pengawasan internasional.
Setelah gencatan senjata yang disepakati Israel dan Hamas rencananya akan diberlakukan pada Ahad. Warrga Palestina di Gaza sejauh ini telah kehilangan puluhan ribu orang syuhada serta banyak lagi yang tidak memiliki rumah untuk kembali.
Sekretaris Jenderal Amnesty International Agnes Callamard mengatakan bahwa meskipun perjanjian gencatan senjata mungkin memberikan secercah harapan bagi warga Palestina, hal ini “sangat terlambat”. Callamard menyerukan kegagalan komunitas internasional dalam menekan Israel untuk memenuhi kewajiban hukumnya dan mengizinkan bantuan kemanusiaan mencapai Gaza.
“Bagi warga Palestina yang telah kehilangan begitu banyak, tidak ada yang bisa dirayakan ketika tidak ada jaminan bahwa mereka akan mendapatkan keadilan dan reparasi atas kejahatan mengerikan yang mereka derita,” kata Callamard dalam sebuah pernyataan semalam.
“Kecuali akar penyebab konflik ini diatasi, masyarakat Palestina dan Israel tidak akan bisa berharap akan masa depan yang lebih cerah yang dibangun berdasarkan hak, kesetaraan, dan keadilan. Israel harus membongkar sistem brutal apartheid yang diterapkannya untuk mendominasi dan menindas warga Palestina dan mengakhiri pendudukan ilegalnya di Wilayah Pendudukan Palestina untuk selamanya.”
Secara kritis, Israel bersikeras bahwa tidak ada jaminan tertulis yang diberikan untuk mengecualikan dimulainya kembali serangan-serangannya setelah tahap pertama selesai dan tawanan sipilnya kembali. Namun, menurut sumber Mesir yang dikutip oleh kantor berita Associated Press, tiga mediator yang terlibat dalam perundingan – Mesir, Qatar dan Amerika Serikat – telah memberikan jaminan lisan kepada Hamas bahwa perundingan akan dilanjutkan dan ketiganya akan mendesak tercapainya kesepakatan.
Soal penarikan sepenuhnya pasukan Israel dari Gaza, belum diputuskan oleh kabinet Israel dan bertentangan dengan posisi yang dinyatakan oleh banyak anggota sayap kanan kabinet Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, yang juga ia andalkan untuk mendapatkan dukungan. Netanyahu di masa lalu, di mana ia berulang kali memanfaatkan kehadiran Hamas di Gaza untuk memperpanjang konflik.
Merujuk Aljazirah, saat ini belum ada kesepakatan mengenai siapa yang akan mengelola Gaza setelah gencatan senjata. Amerika Serikat telah mendesak agar Otoritas Palestina versi reformasi melakukan hal tersebut.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken pada Selasa mengatakan rekonstruksi dan pemerintahan pascaperang membayangkan Otoritas Palestina mengundang “mitra internasional” untuk membentuk otoritas pemerintahan sementara untuk menjalankan layanan penting dan mengawasi wilayah tersebut.
Mitra lain, terutama negara-negara Arab, akan menyediakan kekuatan untuk menjamin keamanan dalam jangka pendek, katanya dalam pidato di Atlantic Council, sebuah wadah pemikir yang berbasis di Washington. Agar rencana tersebut berhasil, diperlukan dukungan dari negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi, yang mengatakan bahwa mereka hanya akan mendukung skema tersebut jika ada jalan menuju negara Palestina.
Hal ini menambah perdebatan di kalangan anggota parlemen Israel, meskipun Israel telah menyetujui solusi dua negara dalam Perjanjian Oslo pada tahun 1990-an. Israel belum menyarankan bentuk pemerintahan alternatif di Gaza.
A Palestinian woman celebrates with tears the official announcement of a ceasefire between the Palestinian resistance in the Gaza Strip and the Israeli occupation following 467 days of genocide. pic.twitter.com/tQoYc98ID4 — Quds News Network (QudsNen) January 16, 2025
Sementara faksi-faksi Palestina beberapa waktu lalu telah menyepakati pemerintahan bersatu yang independen di Jalur Gaza. Hal ini bisa terhambat aksi Otoritas Palestina menyerang kelompok perlawanan yang terafiliasi dengan faksi lain di Palestina.
Hingga hari ini, perang tersebut telah menewaskan sedikitnya 46.707 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan di Gaza. Sementara 1.600 keluarga dihapuskan dari catatan sipil. Sebanyak 17.841 anak terbunuh, dan 44 orang meninggal karena kekurangan gizi.
Delapan orang, termasuk tujuh anak-anak, syahid akibat hipotermia. Sebanyak 12.298 wanita terbunuh, 1.068 petugas medis syahid, 202 jurnalis syahid, 109.274 orang luka-luka. Selain itu 35.074 anak kehilangan kedua orang tuanya, 161.600 unit rumah hancur total, serta 34 rumah sakit tidak lagi beroperasi.
Izzat al-Risheq, anggota biro politik kelompok Palestina, mengatakan perjanjian gencatan senjata memenuhi semua persyaratan yang ditetapkan Hamas pada awal perang, termasuk penarikan penuh pasukan Israel, pengembalian pengungsi ke rumah mereka dan penghentian permanen. untuk perang di Gaza. “Penjajah dibuat bertekuk lutut,” kata al-Risheq dalam sebuah pernyataan dilansir Aljazirah.
Gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi (BDS) mengatakan bahwa semangat pemboikotan justru harus lebih ditingkatkan setelah gencatan senjata. "Kalau menurut gerakan BDS justru semakin dibutuhkan untuk peningkatan boikot divestasi dan sanksi terhadap Israel," ujar co-founder Gerakan BDS Indonesia, Muhammad Syauqi Hafiz, kepada Republika Kamis (16/1/2025).
Ia mengatakan, gerakan boikot harus dilanjutkan sebagai bentuk pengawalan terhadap komitmen Israel menjalankan gencatan senjata. Selain itu, boikot juga masih perlu dilakukan untuk memberikan dorongan agar para penjahat perang yang melakukan kejahatan di Gaza bisa mendapatkan hukuman.
"Harapannya ke depan boikot lebih meningkat skala dan levelnya. Semoga bahkan bisa ada regulasi lahir untuk menjadi cover hukum aksi boikot divestasi dan sanksi di Indonesia," kata Syauqi.
Gerakan BDS sedianya sudah mulai beroperasi jauh sebelum terjadi genosida setahun belakangan. Artinya, tujuannya bukan semata terkait peristiwa teranyar. "Yang paling mendesak, kita perlu meningkatkan tekanan gerakan boikot untuk mengakhiri sepenuhnya genosida oleh Israel," bunyi pernyataan gerakan itu.
Tujuan akhir dari boikot, merujuk pernyataan itu, adalah hak kembali warga Palestina ke tanah di mana mereka diusir tentara Zionis pada 1948 lalu. "Hak kembali ke kampung halaman mereka di seantero wilayah Palestina historis lebih mendesak saat ini ketimbang sebelumnya dan tak boleh dihapuskan oleh genosida, sistem apartheid, maupun jalannya waktu."
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.