Nostalgia
Kisah Pembuangan Aktivis ke Kutacane 1942
Aktivis yang dibuang ke Kutacane pada 1942 anggota PNI Baru dan PSII.
Dari celah dinding penjara, mereka melihat masyarakat Kutacane, Aceh Tenggara mendatangi gevangenis. Tua-muda, laki-laki, perempuan, mengambil barang-barang yang ditinggalkan Belanda, mulai dari kursi, meja, lemari, makanan, dan lainnya. Mereka terkejut berjumpa dengan enam orang tahanan asal Sumatra Barat, masing-masing Chatib Sulaiman, Leon Salim, A Murad Saad, M Husni Rajo Bujang, dan Khaidir Gazali. Apa sebab mereka ditahan?
Bermula dari Demonstrasi Menuntut Indonesia Merdeka
Kisah ide demonstrasi pada 12 Maret 1942 untuk menuntut Indonesia merdeka dan menggagalkan ide Gubernur Spits melakukan aksi bumi hangus Bukit Barisan dari aksi serangan sporadis tentara Dai Nippon, bermula dari peristiwa 9 Maret 1942.
Gubernur Jenderal Jonkheer Tjarda van Starkenborgh Stachouwer bersama Letnan Jenderal Hein ter Poorten, panglima tertinggi militer Belanda datang ke Kalijati dan dimulai perundingan antara Pemerintah Hindia Belanda dengan tentara Jepang yang dipimpin langsung Letnan Jenderal Imamura (Benda, 1985: 120). Imamura menegaskan, bahwa Belanda harus menandatangani pernyataan menyerah tanpa syarat.
Dengan demikian, bukan saja de facto, melainkan juga de jure, seluruh wilayah bekas Hindia-Belanda sejak itu berada di bawah kekuasaan dan administrasi Jepang. Pernyataan menyerah tidak diakui pemerintah Kolonial Belanda di Sumatera. Gubernur Spits yang berkedudukan di Sumatera mengumumkan mereka tetap melawan militer Jepang, dengan resiko apapun (Sufyan, 2020).
Spits merencanakan deretan Bukit Barisan yang mengelilingi Sumatera Barat, akan dijadikan sebagai benteng pertahanan terakhir menahan serangan udara dan darat militer Jepang. Bila laju kedatangan militer Nippon tidak terbendung, militer Belanda siap membumihanguskan seluruh Bukit Barisan (Salim, 1942).
Ide busuk Spits itu segera tercium oleh eks aktivis dari PNI Baru, KIM, dan PSII. Pada tanggal 11 Maret 1942, komite pusat yang dibentuk aktivis pergerakan di Padang Panjang mengeluarkan putusan penting, yakni mengadakan demonstrasi besar-besaran di dalam dan luar kota Padang Panjang pada Kamis tanggal 12 Maret 1942 (Salim, 1982). Keterbatasan komunikasi dan mendesaknya waktu yang hanya tersisa beberapa jam saja, Chatib mencari seorang kadernya yang bisa mengetik cepat.
Pilihan Chatib jatuh pada A Murad untuk menyebarluaskan berita demonstrasi di kalangan pemuda Padang Panjang dan Bukittinggi. Dan, pada bagian akhir seruan, ditutup dengan himbauan, “Manakala sang saka Merah Putih berkibar di atas puncak bukit, tanda demonstrasi itu akan dilangsungkan pagi itu; tapi manakala sang saka tidak berkibar di puncak bukit tersebut. Tandanya demonstrasi ditunda pelaksanaannya.” (Sufyan, 2020).
Ditangkap dan Diinterogasi
Belum sempat aksi itu terlaksana, mereka pun diciduk oleh tentara KNIL dan Veldpolitie. Berita penggerebekan di Pasar Baru segera menggegerkan Padang Panjang. Demonstrasi yang direncanakan sehari setelah penangkapan gagal dilakukan. Kawan-kawan seperjuangan Chatib dan Leon yang tinggal di sekitar Pasar Usang segera jadi sasaran penangkapan PID.
Sekitar Perguruan Diniyah, markas KIM, dan sekitar Pasar Usang segera dipagar betis intel PID. Tujuan mereka hanya satu, mencari penanggung jawab demonstrasi Chatib Sulaiman dan Leon Salim, yang dituduh berulang kali meresahkan Asisten Residen Padang Panjang.
Pasca penangkapan Chatib dan dan Leon Salim, puluhan pemuda segera dicari intel polisi. Pencidukan segera meluas ke beberapa daerah, termasuk Koto Laweh, dan Balingka Agam. Rumah isteri Leon Salim di Bukit Batabuah Fort de Kock tidak luput dari aksi penggerebekan Menteri Veldpolitie Harun Alrasyid dan Nurhan.
Dari puluhan pemuda yang diciduk PID, ada enam orang yang tergolong dalam pimpinan aksi demonstrasi, yang berasal dari pengurus PNI Baru dan PSII. Mereka umumnya berusia 30-an tahun dan yang paling muda berusia 20 tahun. Mereka masing-masing Chatib Sulaiman (36 tahun) dari PNI Baru, Leon Salim (30 tahun) dari PNI Baru, A Murad Saad (28 tahun) dari PNI Baru, M Husni Rajo Bujang (38 tahun) dari PSII, dan Khaidir Gazali (20 tahun) dari PSII.
Seorang hoofd jaksa mendampingi Asisten Residen Padang Panjang, menginterogasi pemuda-pemuda yang diduga melakukan tindak makar dan merongrong wibawa pemerintah. Tiba giliran Chatib Sulaiman diperiksa. Dibandingkan Leon, Chatib paling lama diinterogasi. Ketika ditanya apa maksud demonstrasi tanggal 12 Maret 1942, Chatib pun menjawab, “untuk Mendesak supaya pemerintah Hindia Belanda menyerahkan pemerintahan kepada Bangsa Indonesia dan mengakui si Merah Putih sebagai bendera Indonesia”.
Asisten Residen Bartipuh X Koto bernama Kraink, hanya terdiam. Ia masih gelisah menunggu kabar pasukan Dai Nippon yang semakin merangsek maju memasuki Sumatra Barat. Pemeriksaaan yang berdurasi tiga jam pun ditutup. Chatib Sulaiman, Leon Salim, A Murad Saad, M Husni Rajo Bujang, dan Khaidir Gazali dijerat aturan organisasi pergerakan yang bertentangan dengan law and order. Mereka dijerat dalam aturan Wetboek van Strafrecht dan Koninklijk Bestuit tanggal 1 September 1919 (Salim, 1986).
Rupanya, tahanan politik bertambah ketika kelima orang aktivis PNI Baru dan PSII dipindahkan ke tahanan bivak KNIL. Datuk Mandah Kayo tiba-tiba datang dengan tangan terborgol bersama dua orang veldpolitie. Chatib kaget, mendapati Datuk Mandah Kayo diciduk intel PID. “Bagaimana asalnya maka sdr. Mandah Kayo ini terjaring pula tak tahu kami.”
Siang hari, tanggal 13 Maret 1942 keenam tahanan politik yang telah dibekali ransum makanan, telah ditunggu bus polisi, dan dikawal ketat belasan tentara marsose asal pribumi. Keempat tahanan politik didorong paksa masuk ke bus. Chatib dan Leon yang berada dalam bus, tidak melihat hadirnya Datuk Mandah Kayo dan Murad. Tiba-tiba suara tembakan menggelegar. Tidak berapa lama keduanya dipaksa masuk ke dalam bus. Bus pun berangkat menuju Kutacane Aceh.
Delapan hari Dibuang di Kutacane
Kelima tahanan politik itu sampai di Kutacane pada 18 Maret 1942. Sejak didirikan, pemerintah Hindia Belanda membuat kota ini sebagai tempat tahanan bagi “pemberontak” dan lawan politik mereka. Kebanyakan dari mereka disiksa oleh serdadu marsose.
Di kawasan ini, Belanda mendirikan kazerne (barak) militer yang besar, dilengkapi rumah sakit dan kamp tawanan. Sebelum rombongan dari Bukittinggi bertemu di rumah petinggi militer, Bas John memerintahkan tiga marsose berjalan di kiri bus, dan tiga orang lainnya di kanan bus dengan pedang terhunus (Salim, 1942: 26).
Sesampai di halaman markas militer, seorang Letnan memerintahkan, agar John membawa tawanan ke gevangenis (rumah penjara). Rombongan kemudian melanjutkan perjalanan ke kamp tahanan yang terletak di sisi kiri bus dengan tulisan Huis van Bewaring (rumah tahanan).
Gindo sang sipir penjara membawa keenam tahanan menuju ruangan. Sambil berjalan, Gindo yang ramah itu, menghibur mereka supaya tidak cemas, selama berada di penjara. Mereka diberi satu kamar yang luas dan bersih. Setelah shalat Isya dan makan malam, Chatib cs tertidur pulas. “Serasa kami di hotel kelas satu. Selayang teringat penangkapan kami tanggal 12 Maret di Padang Panjang,” kenang Leon Salim (1942)
Pada siang hari tanggal 19 Maret 1942, seorang hoofd jaksa ditemani Gindo memanggil tiga dari enam tahanan secara bergantian. Ketiganya diinterogasi atas keterlibatannya menebar kebencian pada pemerintah. Kali pertama dipanggil Chatib, sejam kemudian Leon Salim diinterogasi, dan terakhir A.Murad. Ketiga tokoh pergerakan ini adalah pengurus PNI Baru.
Interogasi yang dilakukan beberapa jam, mulai melelahkan Rajo Bujang dan Dt. Mandah Kayo. Chatib melihat kondisi psikis keduanya sudah lelah, dan mata bengkak karena menahan amarah. Rajo Bujang di depan Chatib dan Leon bersumpah, “Saya akan membunuh Belanda, bila saudara-saudara ditembak!. Keenam tokoh pergerakan kemudian melewati malam dengan perasaan was-was menjelang pagi hari.” (Sufyan, 2020).
Pada 21 Maret 1942 kamp tawanan dikejutkan dengan bunyi sirine tanda bahaya. Tong-tong dipukul sekeras-kerasnya oleh tentara KNIL untuk memberitahukan, agar seluruh penghuni masuk ke dalam bunker. Chatib cs yang mendengar suara tanda bahaya, tidak punya pilihan lain. Mereka segera bersembunyi di kolong tempat tidur. “Sambil menelungkupkan kepala, kami menunggu bom Jepang. Tak ada bunyi bom, hening sebentar,” jelas Chatib dalam menarasikan suasana yang mencekam.
Tiba-tiba terdengar suara deru pesawat di atas gevangenis, disusul suara senapan mesin ke arah sasaran. Bom yang mereka khawatirkan jatuh, tidak kunjung terdengar. Suara pesawat pembom masih terdengar dan masih berputar di sekitar kamp, namun tidak melakukan serangan sporadis. Sampai suara mesin pesawat benar-benar hilang. “Mereka rupanya tidak membom, hanya menyebarkan pamflet-pamflet,” kata Leon Salim. Gindo yang berjaga di luar ruangan, segera mengambil selebaran itu, untuk Chatib Sulaiman cs.
Pada 23 Maret 1942, kembali penghuni kamp tahanan dikejutkan suara sirine. Chatib, Leon, dan Murad menggigit karet yang telah dibagikan dan tiarap di bawah tempat tidur. Suara senapan mesin yang memekakkan seakan mengejar ke arah dua pesawat pembom. Di tengah suara senapan, terdengar bunyi bom yang menggelegar. “Saya meraba kepala, apakah masih di tempatnya atau tidak,” kenang Leon dalam tulisannya (Salim, 1942: 31).
Sore harinya, Letnan W.J Betterman memanggil Chatib cs, untuk dihadapkan ke Pengadilan Militer. Mereka mengira, pada sore hari itu akan langsung dieksekusi mati di depan Datuk Mandah Kayo, Sutan Rajo Bujang, dan Khaidir Gazali. Ketika memasuki ruang pengadilan, mereka hanya menemukan seorang opsir bernama Kapten CC Hart de Ritjer.
Chatib memerhatikan resahnya Ritjer. Ia mondar-mandir dari tempat duduknya ke meja yang lain. Membuka laci, mengambil rokok dan menyelipkan di bibirnya. Setelah menghisap rokok, Ritjer melihat ke arah ketiganya, dan bertanya kepada ketiga pengurus PNI Baru Sumatera Barat. Setelah interogasi ringan selesai, ketiga tokoh pergerakan itu dikembalikan ke kamarnya. Serdadu KNIL ini benar-benar gelisah, menanti kehadiran tentara Jepang yang sudah di depan mata.
Pada 24 Maret 1942, Chatib cs dibiarkan saja dalam kamar tahanan. Mereka hanya mendengar gaduh di luar, perintah menghardik, caci maki dari komandan tentara, ributnya suara tank. Mereka tidak bisa melihat peristiwa itu, karena terhalang oleh tembok penjara yang tinggi.
Esok harinya, tanggal 25 Maret 10423 mereka baru mengetahui dari pegawai penjara, bahwa tentara KNIL dan marsose sudah mundur ke Gunung Setan, berjarak 30 kilometer dari Kutacane. Pada hari itu, mereka sudah terbebas dari tekanan psikis penjajah. Keenam sahabat yang terpisah tembok penjara, akhirnya kembali bertemu. Mereka pun dibebaskan dari penjara Kutacane pasca masuknya tentara Dai Nippon. Namun, ada juga yang mengklaim pembebasan mereka atas usul Bung Karno pada Jepang.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Awal Mula Islam Masuk ke Ranah Minang
Islam tiba di ranah Minangkabau antara lain berkat dakwah oleh ulama-sufi.
SELENGKAPNYADatuk Palimo Kayo, Sang Revolusioner Minangkabau
Ia tampil menyerang kebijakan Kolonial Belanda.
SELENGKAPNYA