Nasional
Bagaimana Dampak PPN Barang Mewah?
Ada sejumlah jalan untuk mendongkrak pendapatan negara selain PPN.
JAKARTA – Pemerintah akhirnya menetapkan bahwa tarif pajak pertambahan nilai (PPN) hanya untuk barang-barang mewah pada 2025. Bagaimana dampaknya bagi pendapatan negara?
Pengamat ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menilai keputusan itu tidak akan memberikan dampak signifikan pada penerimaan negara. Dengan skema itu, estimasi tambahan penerimaan hanya berkisar antara Rp 1,5 hingga Rp 3 triliun per tahun.
“Estimasi PPN 12 persen untuk barang mewah memang kecil bagi penerimaan negara, hanya kisaran Rp 1,5-3 triliun per tahun. Padahal, sebelumnya pemerintah mengharapkan pendapatan sebesar Rp 75 triliun,” ujar Bhima kepada Republika, Rabu (1/1/2025).
Ia menambahkan, meskipun kebijakan ini memberikan angin segar bagi daya beli masyarakat dan ekonomi domestik yang ditopang oleh konsumsi rumah tangga, kontribusinya terhadap pendapatan negara sangat terbatas. Namun, Bhima juga menekankan pentingnya kebijakan pemerintah untuk terus menggenjot penerimaan pajak dengan mencari sumber baru, selain mengandalkan PPN.
Ia pun memberikan beberapa rekomendasi strategi yang dapat dipertimbangkan oleh pemerintah untuk memperluas basis penerimaan negara. Pertama, pemerintah dapat mulai merancang pajak kekayaan yang dikenakan pada orang-orang super kaya, dengan estimasi penerimaan sebesar Rp 81,6 triliun.
"Pajak ini belum diterapkan di Indonesia, padahal OECD dan G20 sudah mendorong pajak kekayaan,” ujar Bhima.
Selain itu, ia juga menyarankan penerapan pajak karbon yang bisa berjalan tahun ini, dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait pajak karbon untuk sektor industri seperti PLTU batubara. “Pajak karbon ini tidak hanya baik untuk lingkungan, tetapi juga dapat mendukung transisi ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan,” tambahnya.
Selain itu, Bhima mengusulkan agar pajak produksi batubara yang lebih tinggi diterapkan, serta untuk menutup kebocoran pajak di sektor sawit dan tambang yang masih terjadi. Ia juga meminta pemerintah untuk mengevaluasi insentif pajak yang tidak tepat sasaran, seperti pemberian tax holiday kepada perusahaan smelter nikel yang saat ini mencatatkan laba besar.
“Dengan menerapkan kebijakan-kebijakan ini, kita dapat memperkuat sistem perpajakan di Indonesia dan memastikan keadilan fiskal yang lebih baik,” harap Bhima.
Pemerintah secara resmi memutuskan hanya memberlakukan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen per 1 Januari 2025 bagi barang-barang mewah yang masuk dalam Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM). Saat ini Kementerian Keuangan tengah merevisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 15 Tahun 2023 tentang PPnBM.
“Nanti kami akan segera mengeluarkan PMK untuk mengatur sesuai yang disampaikan oleh Bapak Presiden,” kata Sri Mulyani di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (31/12/2024).
Sri Mulyani menyebut pihaknya langsung mengerjakan revisi PMK Nomor 15 Tahun 2023 pada malam hari ini, Selasa (31/12/2024). Ia memastikan PMK mengenai kejelasan barang-barang mewah apa saja yang dikenakan PPN 12 persen akan segera dikeluarkan dalam waktu dekat.
Presiden RI Prabowo Subianto telah menyampaikan kepastian mengenai kebijakan PPN 12 persen akan diberlakukan per 1 Januari 2025. Ia memastikan kebijakan PPN 12 persen hanya diberlakukan bagi barang-barang mewah.
“Hari ini pemerintah memutuskan kenaikan tarif PPN 11 persen jadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah,” kata Prabowo dalam konferensi pers di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (31/12/2024).
“Saya ulangi supaya jelas, kenaikan PPN dari 11 persen jadi 12 persen hanya dikenakan terhadap barang dan jasa mewah. Yaitu barang dan jasa tertentu yang selama ini terkena PPN barang mewah, yang dikonsumsi oleh golongan masyarakat berada, masyarakat mampu,” tegasnya.
Prabowo mengatakan, kebijakan tersebut tetap diberlakukan karena merupakan amanat Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Namun, dia kembali menekankan pengenaannya hanya bagi barang mewah yang digunakan oleh kalangan menengah atas.
“Contoh pesawat jet pribadi, itu tergolong barang mewah yang dimanfaatkan atau digunakan masyarakat papan atas. Kapal pesiar, yacht, motor yacht, rumah yang sangat mewah, nilainya di atas golongan menengah. Artinya, untuk barang jasa selain tergolong barang mewah tidak ada kenaikan PPN. Tetap sebesar berlaku sekarang, yang sejak 2022,” terangnya.
Artinya, barang dan jasa yang selama ini dikenakan PPN 11 persen, tidak jadi dikenai kenaikan 1 persen menjadi 12 persen pada 2025. Adapun, barang dan jasa yang selama ini masuk dalam PPN 0 persen seperti bahan-bahan pokok, tetap sama kebijakannya.
Wakil Ketua DPR RI Koordinator bidang Kesejahteraan Rakyat (Korkesra) Cucun Ahmad Syamsurijal menilai keputusan kebijakan Presiden Prabowo Subianto yang memutuskan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah sebagai langkah yang tepat untuk menjaga daya beli masyarakat, khususnya kalangan menengah ke bawah, serta memperkuat ketahanan industri nasional.
“Keputusan ini mencerminkan kepekaan terhadap kondisi ekonomi masyarakat, terutama kelompok menengah dan bawah yang sangat bergantung pada stabilitas harga barang dan jasa kebutuhan pokok,” ujar Cucun dalam keterangan, Rabu (1/1/2024).
Ia menambahkan, kebijakan ini juga menunjukkan keadilan dengan hanya membebankan tarif PPN lebih tinggi kepada barang mewah yang dikonsumsi oleh kalangan atas, seperti jet pribadi dan kapal pesiar. Wakil Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menegaskan bahwa kebijakan ini memberikan ruang bagi pelaku industri untuk tetap tumbuh, sembari tidak membebani masyarakat bawah yang lebih rentan dengan harga barang dan jasa.
“Keputusan Presiden tentang PPN 12 persen saya kira sudah tepat, karena sasarannya tidak general, tapi hanya untuk kalangan atas. Yang tidak adil itu jika pemilik barang mewah, seperti pesawat atau rumah besar, dibebani pajak yang sama dengan kalangan menengah ke bawah,” tambah Cucun.
Di tengah situasi ekonomi global yang penuh ketidakpastian, Cucun menilai kebijakan ini penting untuk menjaga kestabilan harga barang kebutuhan sehari-hari dan jasa non-mewah. “Dengan tetap tidak menaikkan tarif PPN untuk barang kebutuhan pokok, kebijakan ini tidak hanya menjaga daya beli masyarakat, tetapi juga membantu industri dalam negeri untuk menjaga produktivitas dan daya saing,” lanjutnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Mitigasi Penurunan Daya Beli Imbas Kenaikan PPN
Bantalan sosial harus digecarkan demi menjaga konsumsi rumah tangga.
SELENGKAPNYATransaksi QRIS Dipastikan tak Kena PPN
Airlangga menyampaikan bahwa PPN juga tidak diberlakukan untuk bahan pokok.
SELENGKAPNYAPPN Naik, Kebijakan Fiskal Harus Adil
Pemberian insentif sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan ekonomi.
SELENGKAPNYAPPN Tetap Naik, Pemerintah Tebar Insentif
Pemerintah memberikan diskon tarif listrik sebesar 50 persen.
SELENGKAPNYA