Chatib Sulaiman, ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah. | Public Domains

Nostalgia

76 Tahun PDRI: Ingatan Hamka untuk Chatib Sulaiman

Oleh FIKRUL HANIF SUFYAN; periset dan pengajar sejarah, pernah menjadi Visiting Scholar di Faculty of Art University of Melbourne

 

Kondisi yang makin genting dan seringnya pesawat mustang Belanda lalu lalang di udara, mendorong Hamka untuk segera meninggalkan Maninjau. Selepas mengantar Siti Raham dan tujuh orang anaknya, yakni Zaki, Rusjdi, Fachry, Azizah, Irfan, Aliyah, dan Fathiyah – ditemani  Zainoel Abidin Sjoeaib (ZAS) dan Rasjid Idris, Hamka berencana untuk menuju ke Pagadih Palupuh, untuk berkoordinasi dengan Ketua MPRD Chatib Sulaiman.  Kisah ini merupakan penggalan dari masa Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang telah berusia 76 tahun.

 

Dalam Keadaan Sakit, Hamka Memaksakan Diri Berjumpa Chatib

Mereka bertolak dari Sungai Batang menuju ke Paninjauan VI Koto Maninjau. Rure ini dipilih karena lebih cepat menuju ke daerah tujuan. Ketiganya pun beristirahat di sebuah surau. Usai Maghrib, ZAS didaulat oleh Hamka, untuk menyampaikan pengajian sampai jelang Isya (Sjoeaib, 1977).

Lelah yang mendera, dalam perjalanan yang cukup jauh, memaksa mereka untuk melepas lelah di surau. Keesokan harinya, ketiganya melanjutkan perjalanannya mendaki Bukit Paninjauan, menuju ke Koto Alam - Selaras Air. Namun, Hamka yang sudah kelelahan tiba-tiba memanggil ZAS.

 

“Buya ZAS ke sini sebentar” pinta Hamka.

“Apa kabar, buya?”

“Wasir (ambeien) saya kambuh, nafas sudah sesak pula. Dari itu saya tidak bisa ikut besok pagi mendaki bukit ke Koto Alam.

“Kalau sakit, apa boleh buat. Jangan dipaksa-paksa badan kalau sakit. Biarlah kami berdua saja dengan Buya Datuk [Rasjid Idris] besok ke Koto Alam [sejauh 57,6 kilometer]. Sekarang buya, tidur sajalah” kata ZAS.

photo
Buya Hamka saat menjalani Ibadah Haji - (Istimewa)

Pagi harinya, ZAS kembali menghampiri Hamka yang masih terbaring. “Akankah tega buya melihat kami berdua mendaki bukit? Padahal kita sudah berhari-hari seperjalanan bertiga. Bagai tungku tigo sajarangan!” bujuk ZAS.

“Kami pun akan mengeluh, melepas buya pulang sendirian” timpal Buya Datuak.

“Baiklah! Kita berangkat bertiga. Biarlah saya usahakan berjalan,” demikian Hamka menguatkan dirinya. 

Perjalanan menuju ke Palembayan, memang terjal dan curam. ZAS yang masih berusia muda, dengan lincah bergerak. Dan yang kerap tertinggal di belakang adalah administrator Kauman Padang Panjang itu. Rasjid Idris kerap terpeleset di pinggir jalan yang licin. Ia pun terjatuh.

Di tengah nafasnya yang mulai terengah-engah, Hamka menyerah kalah dengan kelincahan ZAS – yang ingin segera sampai di Koto Alam Palembayan. Apalagi mereka mesti masuk-keluar hutan yang belum dijamah tangan manusia. Sedangkan Datuk Sinaro Panjang, sudah hampir menyerah. “Akan diturutkan buya Datuk. Dia hendak tidur di sini saja nampaknya. Padahal, ekor awaklah berlemak darah [wasir kambuh]” – demikian keluh Hamka, sebagaimana yang dikisahkan kembali oleh ZAS.

Ketika pusat PDRI  pindah ke Koto Tinggi, berdasarkan Instruksi No.1 Gubernur Militer Sumatera Barat tanggal 13 Januari 1949, Malik Ahmad – eks muridnya Hamka di Tablisghschool Muhamamdiyah diserahi tugas memimpin bagian perburuhan dan sosial. Malik Ahmad turut mengurusi perbekalan pengungsi dan pejabat teras PDRI di Koto Tinggi.

Dalam Instruksi No 1 Gubernur Militer Sumatera Barat yang ditandatangani Sutan Moh. Rasjid, ditunjuk beberapa nama untuk mengisi pos-pos jabatan, di antaranya (1) Rasjid Manan memimpin bagian pemerintahan, perkara, personalia,(2) Effendi Nur mempimpin bagian umum, surat menyurat, menyimpan arsip, dan menerima tamu, (3) Nur Suhud memimpin bagian penyiaran, penerangan, dan ordonansi, (4) Ganto Suaro memimpin bagian keuangan dan perbekalan, (5) Malik Ahmad memimpin bagian perburuhan, sosial, pengungsian, dan mengurus orang-orang yang masuk ke Koto Tinggi (Penerangan, 1953; Sufyan, 2014). Tugas yang  diserahkan pada Malik Ahmad, tampaknya berdasarkan bidang yang digelutinya, semasa menjabat Wakil Kepala Jawatan Sosial Sumatera Tengah.

Hamka tidak menduga, bahwa pertemuannya dengan sahabatnya Chatib Sulaiman di Nagari Pagadih adalah terakhir kali. Ia mengaku shock mendengar kabar dari Letkol Dahlan Ibrahim, hawa Ketua MPRD itu tewas dalam pembantaian di Situjuh tanggal 15 Januari 1949. Pejabat sipil lainnya yang terbunuh adalah Bupati Militer Limapuluh Kota, Arisun.

 

Muramnya Hamka Pasca Tewasnya Chatib Sulaiman

Sejak mendengar kabar tewasnya Chatib, Hamka tampak murung. Hamka teringat masa-masa pemilihannya selaku Ketua Front Pertahanan Nasional (FPN). Ia mengakui, betapa piawainya sahabat dari Sutan Sjahrir itu dalam melobi pimpinan partai dalam ruangan Istana Bung Hatta. Alhasil, ia terpilih selaku Ketua, Chatib selaku Sekretarisnya, dan Oedin Kurai Taji serta Rasuna Said membantunya di bagian penyebaran informasi.

Hamka kembali teringat pesan khusus Chatib, yang diberikan Letkol Dahlan Ibrahim, dalam selembar kertas. Mantan sekretarisnya di Front Pertahanan Nasional (FPN) itu berpesan, agar Hamka terus membantu tugas-tugas dari Mr Sutan Moh Rasjid yang berat. “Indonesia pasti akan merdeka penuh sesudah mendapat cobaan yang berat, akibat perang kemerdekaan itu!”, demikian pesan Chatib pada Hamka (Sufyan, 2018).

Duka Hamka untuk sahabatnya, kemudian ia ungkap dalam bait-bait syair yang menggambarkan besarnya peran seorang Chatib Sulaiman dalam situasi darurat. Seorang yang ikhlas berjuang, tanpa dikenang perannya dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan (Sufyan, 2018).

 

Rimba Raya Sumatera Tengah Januari 1949

 

Di dalam rimba belukar sunyi

Di dalam ngembara seorang diri

Dari kampung menuju kampung

      Mendengar genta kerbau di padang

      Mendengar kokok ayam di ladang

      Temanmu teringat akan wajahmu

Tinggi besar badan semampai

Mata tenang penuh harapan!

Suara meriam deru menderu

      Bergetar mustang di udara lapang

      Runding bersela dengan senapang

      Saudara Chatib tak ada lagi

Tapi arwahmu beserta kami

Lusuh surat yang kau kirimkan

Basah tersiram di air hujan

 

Belum sempat aku membaca

Kabar syahidmu yang aku dengar

Kubuka kembali sampul suratmu

       Insyaallah kita akan menang

       Di kampung sunyi, jauh di dusun

       Mengawal pemuda gagah perkasa

Tiap tenaga telah tersusun

Chatib Sulaiman empunya jasa

Dalam menuju kemenangan pasti

       Wajahmu Chatib tetap dikenang

       Kuharap ke muka teguhkan hati

       Hapus air mata walaupun berlinang

Walaupun bak mana jalan rundingan

Putusan hanya di tangan kita

Pegang kata ambil pedoman

      Jangan dirintang fatamorgana

      Wahai tuan Lurah Situjuah

      Tolong pelihara pahlawan kami

      Intan mutiara permata tujuh

      Hadiah ke Ibu penyubur kami.

 

Pasca tewasnya Chatib Sulaiman, Sutan Moh Rasjid menawarkan kepada Hamka posisi Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah (MPRD). Namun, Hamka menolaknya. Ia merasa tidak mampu mengemban tanggung jawab yang besar – sebagaimana yang telah dikerjakan oleh Chatib Sulaiman.

Hamka merasa lebih cocok memberikan penerangan [pidato] kepada rakyat. Rasjid menyaksikan sendiri, dengan bertongkat dan bertopi gabus, Hamka masuk kampung keluar kampung, untuk mewartakan dan menggelorakan revolusi kemerdekaan.

“Hamka keliling Sumatra Barat diiringi oleh seorang pembantu, untuk atas nama Pemerintah Militer Sumatra Barat dan Sumatra Tengah, memberikan penerangan dan khotbah-khotbah di tempat-tempat yang banyak dikunjungi rakyat. Dan Hamka sudah dekat dengan rakyat” demikian kisah Rasjid untuk Hamka, pasca tewasnya Chatib Sulaiman (Rasjid, 1975). 

Pasca PDRI dan penyerahan kembali kedaulatan Republik Indonesia melalui perundingan Konferensi Meja Bundar, seluruh aktivitas Kulliyatul Muballighin/ Muballighat kembali berjalan normal. Promosi jabatan di pemerintahan untuk guru-guru Kulliyatul Muballighin terus berlangsung sampai periode 1950-an.

Pasca penyerahan kedaulatan, Hamka memboyong istri dan anak-anaknya ke pusat kekuasaan, di Jakarta. Presiden Soekarno meminta Hamka untuk memilih, apakah aktif di jalur politik [Masyumi], atau menjadi pegawai negeri. Ia pun mengalah dan memilih berkarir sebagai pegawai Kementerian Agama pada tahun 1950.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat