Ketua Umum Partai Ummat, Ridho Rahmadi | Republika/Prayogi

Opini

Islam Promotor Ideologi Teknokratik

Pemerintah harus tegas memberantas berbagai racun-racun digitalisasi.

Oleh RIDHO RAHMADI, Ketua Umum Partai Ummat

 

Kebangkitan Era Technopolar

Ian Bremmer, seorang political scientist, pernah mengatakan bahwa yang akan menguasai dunia di masa depan belum tentu seperti apa yang kita bayangkan selama ini. Ia mengatakan bahwa orde dunia akan berada di dalam genggaman simpul-simpul baru yang disebut dengan istilah technopolar–sebuah terminologi untuk menamai orang perseorangan atau kelompok yang menguasai berbagai inovasi teknologi. Pemikiran ini didasarkan atas pengamatan terhadap kemajuan dan berbagai temuan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) yang sangat berpotensi untuk menjadi sebuah kekuatan besar baru di dunia modern saat ini dan mendatang.

Dalam imaji kita yang terbangun secara umum, yang sekiranya lazim akan menguasai dunia adalah para polar yang merajai ekonomi dunia, memiliki militer dan pertahanan yang ampuh, mempunyai institusi pendidikan yang leading, layanan kesehatan yang terkini, dan lain sebagainya. Dalam hal ini, hampir dapat dipastikan sekalipun tidak kesepakatan di antara kita, semua pikiran akan menunjuk Amerika Serikat dan Cina sebagai bipolar yang dimaksud.

Tapi saat ini dunia beserta sebagian besar dimensi kehidupan di dalamnya telah dipaksa untuk masuk ke dalam sebuah mesin transformasi secara besar-besaran, membuat tesis tentang bipolar di atas menjadi tidak relevan lagi sepenuhnya. Mesin besar transformasi tersebut dibahanbakari industrialisasi dan digitalisasi, mengkatalis perubahan dunia dalam kecepatan eksponensial.

Dulu kita masih berkirim surat dengan pena dan kertas. Sekarang hal tersebut sudah terkesan sangat kuno dan telah tergantikan dengan digitalisasi yang bernama email atau bahkan Whatsapp, yang dapat mengirimkan pesan dari satu benua ke benua lainnya dalam tempo yang-mendekati–realtime, seakan dapat melipat ruang dan waktu.

Sekarang kalau kita cermati dengan seksama situasi di sekeliling kehidupan kita, kita akan menyadari betapa kita telah sangat bergantung pada digitalisasi. Ketergantungan ini hampir dapat dilihat pada semua aspek kehidupan, mulai dari cara kita berbelanja yang saat ini bisa dilakukan dengan cepat dan mudah melalui aplikasi belanja online, hingga cara kita membangun dan membina kehidupan sosial kita yang cukup melalui media sosial tanpa harus repot-repot lagi bertamu ke teman atau sanak keluarga.

Kita belum lagi berbicara bagaimana perubahan cara kita membaca berita setiap harinya, memesan makanan, memesan taksi atau ojek, membuat janji dengan dokter, mengikuti pelajaran atau kuliah di sekolah atau kampus, menabung atau mentransfer uang, dan lain sebagainya. Begitu banyak aspek kehidupan kita yang telah terdigitalisasi.

Untuk kita sadari, bahwa digitalisasi dibangun dan hidup dalam ekosistem yang ditopang oleh infrastruktur digital, seperti jaringan internet, pusat data, dan aplikasi-aplikasi digital yang memungkinkan berbagai keperluan kita sehari-hari. Dan untuk kita pahami pula, bahwa infrastruktur digital tersebut bukannya tanpa tuan. Semuanya itu memiliki pemilik yang bahkan telah mendaftarkan paten kepemilikannya. Lalu siapa para pemilik tersebut?

Mereka itulah yang disebut sebagai technopolar, perusahaan-perusahaan teknologi raksasa pemilik jaringan-jaringan internet, pusat-pusat data, aplikasi-aplikasi untuk mengirimkan pesan, yntuk mesin pencarian, untuk mencari alamat tujuan, untuk memesan makanan-ojek, untuk belanja berbagai kebutuhan, untuk media sosial, dan lain-lain masih banyak lagi.

Istilah technopolar muncul dalam sebuah proyeksi pemikiran yang melihat relasi kuat antara dua premis; yang pertama adalah kepemilikan, dus, betapa kendali penuh terhadap infrastruktur digital oleh para pemiliknya, dan yang kedua, betapa besar dependensi manusia modern terhadap digitalisasi. Sehingga kita sampai pada kesimpulan betapa kehidupan manusia modern telah dan akan semakin berada dalam genggaman para technopolar tersebut. Sebagai pembangkit kesadaran, bayangkan jika hari ini, salah satu dari infrastruktur digital yang vital seperti jaringan internet, atau pusat data, atau aplikasi pengirim pesan, atau media sosial, di-shutdown oleh pemiliknya. Barangkali, kita akan chaos dalam hitungan tidak sampai sehari;
komunikasi mati, ekonomi lumpuh, lalu apalagi yang selanjutnya?

Di sinilah dapat kita lihat bagaimana technopolar memiliki kekuatan yang setara atau bahkan melebihi kekuasaan sebuah negara. Untuk direnungkan, technopolar yang lahir di dalam suatu negeri kapitalis kemungkinan akan lebih cepat bertumbuh besar dibanding jika dia lahir di sebuah negeri sosialis. Namun technopolar yang tumbuh besar di negeri sosialis akan jauh lebih berbahaya karena dia akan berada di bawah kendali penuh negaranya. Lihat bagaimana Cina mengendalikan penuh infrastruktur digital di negerinya, termasuk bagaimana taipan pemilik Alibaba, Jack Ma, yang pernah menghilang hampir empat tahun, hanya karena mengkritik sistem perbankan dan keuangan pemerintahan Xi Jinping.

Peta Global Transformasi Digital: Indonesia di Mana?

Indonesia dengan seperempat miliar lebih penduduknya saat ini tengah menjadi pasar global untuk berbagai macam komoditas digital. Bahkan di kawasan ASEAN, pada 2019 saja Indonesia sudah menjadi pasar terbesar untuk Information & Communication Technology (ICT), dengan nilai mencapai 20 miliar dolar AS.

Tapi sayangnya, di dalam pasar besar tersebut, Indonesia lebih menjadi sebuah objek sebagai konsumen, ketimbang menjadi salah satu subjek sebagai pelaku pasar. Infrastruktur digital asing, mulai dari jaringan internet, pusat data, hingga aplikasi-aplikasi yang sifatnya vital di Indonesia dibangun atau dikembangkan oleh asing. Dalam hal ini China dengan proyek Digital Silk Road (DSR) nya terlihat begitu bernafsu untuk menancapkan pancang-pancang bisnisnya di Indonesia. Paling tidak pada tahun 2021 saja, sudah ada 41 proyek infrastruktur digital yang dibangun oleh Cina di Indonesia.

Aplikasi-aplikasi yang sering kita gunakan sehari-hari juga lebih banyak–kalau tidak
semua–buatan asing yang kebanyakan made in Amerika dan Cina. Sedang aplikasi buatan dalam negeri relatif belum begitu luas dipakai, kecuali aplikasi khusus yang didesain dan digunakan secara terbatas di dalam sebuah untuk instansi atau perusahan. Indonesia sendiri saat ini juga belum memiliki cukup banyak sumber daya manusia dengan kualifikasi standar bidang ICT, yang bahkan kekurangan tersebut diproyeksikan akan menyentuh angka sembilan juta kekurangan ICT talent pada 2030.

AI telah demikian pesatnya berkembang dan terus menemukan jalannya menuju berbagai inovasi yang tak terbayangkan sebelumnya. Berbagai AI seperti AlphaGo dan ChatGPT dibangun dengan pendekatan stokastik dan telah beberapa kali menghentak dunia karena mampu mengalahkan juara dunia dalam berbagai permainan dan mampu menjawab berbagai pertanyaan dari manusia, dan bahkan menjalankan instruksi untuk membantu menulis mulai bagian-bagian dari khutbah Jumat hingga karya ilmiah.

Memang mulai banyak bermunculan berbagai inisiatif dan startup AI di Indonesia. Tapi sejauh pengamatan penulis, sebagian besar AI yang dibuat merupakan pesanan dari berbagai instansi dalam atau perusahaan dalam negeri, sehingga lebih bersifat aplikatif ketimbang inovatif. Sebagian kecil lainnya tampak cukup menjanjikan. Inisiatif dari pemerintah juga belum terlalu terlihat hasil nyatanya kecuali konsep-konsep yang dituangkan dalam dokumen peta jalan.

Islam yang Sangat Teknokratik

Islam tidak pernah kurang di dalam memberikan legitimasi, motivasi serta visi bagi umatnya untuk membangun peradaban yang berbasis Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Dalam bahasa lain, Islam sangatlah teknokratik. Surat Al Baqarah ayat 30-31
merupakan serangkaian diktum Qurani yang memberikan legitimasi manusia sebagai Khalifah di muka bumi, yang diamanahi tugas-tugas individu maupun kolektif untuk membangun peradaban yang tinggi di dunia, dan dibekali kecerdasan serta ilmu pengetahuan sebagai sarana untuk mencapainya (baca juga At Tin 4). Nabi Muhammad SAW juga memperkuat, bahwa ilmu pengetahuan adalah sebuah jalan untuk memenangkan dunia dan bahkan sekaligus akhirat.

Alquran lewat surat Ibrahim ayat 24-25 memberikan sebuah driving force, melalui metafora sebuah pohon, bagaimana konsistensi di dalam mengembangkan IPTEK untuk membangun peradaban, sesungguhnya menjadi salah satu pilihan manifestasi dari tauhid, dus keimanan kita kepada Allah SWT. Dalam konfigurasi kehidupan masyarakat global, bahkan, untuk memenangkan peradaban adalah sebuah benchmark Qurani, bagi Nabi Muhammad SAW dan kita para pengikutnya (lihat Surat Al Fath 28).

Kita sebagai umat Islam telah memiliki setiap alasan untuk menjadi salah satu aktor utama di atas panggung global dengan turut mengembangkan Iptek. Dulu memang pada abad ke-8 hingga ke-13, dunia Islam pernah mencapai zaman keemasan di bawah kepemimpinan Dinasti Abbasiyah, menjadi sebuah pusat peradaban ilmu pengetahuan dunia. Tapi kalau kita renungi situasi dunia Islam saat ini, khususnya di negeri kita sendiri yang merupakan populasi Muslim terbesar di dunia, tampaknya masih jauh panggang dari api.

Lalu di mana sesungguhnya sumber permasalahan yang menyebabkan kemandegan umat Islam–di Indonesia khususnya–di dalam pengembangan Iptek? Sedang saat ini kita hidup di zaman yang relatif serba mudah jika dibanding 13 abad yang lalu pada zaman Abbasiyah yang belum ada internet. Alquran yang kita baca sama, hadis yang kita dengar pun sama, dengan demikian seharusnya dengan apa yang kita miliki saat ini, kita bisa mencapai lebih dari apa yang telah dicapai oleh dunia Islam pada saat itu. Masuk akal?

Pertanyaan di atas untuk dimaknai sebagai sebuah otokritik, yang harus kita jawab bersama secara kolektif, karena perubahan hanya dapat terjadi jika–dan hanya jika dilakukan bersama, sebagaimana pesan di dalam Surat Ar Ra’d ayat 11.

Apa yang Harus Dilakukan? Oleh Siapa?

Tantangan bagi umat Islam tidak hanya bagaimana kita harus menjadi salah satu aktor utama di dalam pengembangan Iptek, tapi juga bagaimana kita mengantisipasi segala kemungkinan buruk yang mungkin muncul dari setiap inovasi Iptek itu sendiri. Sebagai contoh dampak buruk dari digitalisasi yang saat ini sedang mewabah di negeri ini, judi online, yang tidak hanya memperburuk kondisi ekonomi rakyat kecil yang sudah sekarat, tapi juga menyebabkan dekadensi moral hingga sampai pada batas terendah, sehingga banyak pecandu judi online yang memilih bunuh diri demi keluar dari belit permasalahan utangnya.

Dalam pandangan penulis paling tidak ada beberapa langkah yang harus kita ambil untuk menjawab berbagai tantangan yang telah diuraikan di atas. Pertama, harus ada berbagai inisiatif dari pemerintah dan simpul-simpul masyarakat khususnya dari lingkungan akademisi dan praktisi untuk mengembangkan Iptek, terutama dalam hal digitalisasi termasuk AI Pengembangan tersebut harus inovatif, dalam arti breakthrough namun juga affordable, dan difokuskan pada kebutuhan-kebutuhan vital harian masyarakat Indonesia.

Pendanaan dari pemerintah dapat dipadukan dengan berbagai sumber funding untuk mengejar semua target-target perencanaan yang telah dibuat. Kolaborasi cantik antara masyarakat, kampus, dan pemerintah adalah kunci. Lihat bagaimana Silicon Valley di Amerika atau Softwarepark Hagenberg di Austria menjadi episentrum kemajuan sekaligus bisnis berbasis Iptek.

Kedua, langkah-langkah tersebut harus ditopang oleh regulasi-regulasi yang mendukung dan kondusif. Jangan sampai ide dan konsep yang cemerlang harus layu sebelum berkembang hanya karena sulit mengurus izin atau dilarang aturan usang yang sudah berumur puluhan tahun. Birokrasi dan legislasi haruslah turut menjadi bagian integral dari katalisator bukan malah menjadi resistor. Masalah regulasi adalah masalah political will dan merupakan wilayah pemerintah dan para anggota dewan yang terhormat.

Ketiga, berbagai langkah untuk mengantisipasi ekses negatif dari kemajuan Iptek harus disiapkan dan jika telah terjadi, harus segera dimitigasi. Sebagai contoh dalam konteks digitalisasi, kecanduan terhadap judi online, pinjol, pornografi, dan lain sebagainya, harus diatasi mulai dari simpul terkecil dalam sebuah masyarakat, yaitu keluarga. Dengan basis keluarga yang kuat sebagai filter pertama dari semua digital toxic tersebut, berbagai dampak negatif digitalisasi dapat lebih mudah ditangani.

Selanjutnya, pemerintah yang memegang otoritas lalu lintas infrastruktur digital, harus tegas di dalam memberantas berbagai racun-racun digitalisasi tersebut. Jangan malah menjadi bagian dari kartel yang merusak anak bangsa, seperti sebagaimana kita dapati berita bahwa judi online justru dilindungi oleh Kementerian Komunikasi dan Digital itu sendiri. Ini adalah korupsi yang teramat barbaric.

Formula langkah-langkah di atas dapat digeneralisir pada domain Iptek yang lainnya, seperti pengembangan berbagai peralatan militer berbasis AI untuk pertahanan, berbagai perangkat smart farming untuk pertanian dan peternakan, berbagai alat bantu medis, dan lain sebagainya.

Kita berharap, dengan kerja keras serta kerja sama dari segenap komponen bangsa, mulai dari masyarakat, kampus, lembaga legislatif, hingga pemerintah, Indonesia dapat menjadi suatu bangsa yang teknokratik, yang maju dan beradab tinggi, yang pada akhirnya mampu menjalankan misinya sebagai khalifah di atas muka bumi ini dengan baik.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat