Konsultasi Syariah
BPJS Ketenagakerjaan Menurut Fatwa DSN MUI
Bagaimana ketentuan syariah terkait BPJS Ketenagakerjaan menurut fatwa DSN MUI?
DIASUH OLEH USTAZ DR ONI SAHRONI; Anggota Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia
Assalamu’alaikum wr. wb.
Pak Ustaz, saat ini pada umumnya setiap pegawai yang bekerja di perusahaan atau instansi harus terdaftar sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Saya ingin tahu, sebenarnya bagaimana ketentuan syariah terkait BPJS Ketenagakerjaan menurut fatwa DSN MUI? Mohon penjelasan Ustaz! --Arifin, Tangerang
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Dalam Fatwa DSN MUI No 147/DSN-MUI/XII/2021 tentang Penyelenggaraan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Berdasarkan Prinsip Syariah dijelaskan secara detail ketentuan syariah yang harus diberlakukan di BPJS Ketenagakerjaan.
Tetapi sebelum menjelaskan tentang ketentuan syariah seputar aktivitas dan produk BPJS Ketenagakerjaan, maka terlebih dahulu dijelaskan beberapa istilah terkait agar gambaran tentang apa itu BPJS Ketenagakerjaan menjadi lebih mudah tergambar.
Beberapa istilah sebagai berikut. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial untuk menyelenggarakan program jaminan sosial di bidang ketenagakerjaan.
Selanjutnya, BPJS Ketenagakerjaan memberikan beberapa layanan atau produk, yaitu (1) Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) adalah jaminan atas manfaat berupa uang tunai dan/atau pelayanan kesehatan yang diberikan pada saat peserta mengalami kecelakaan kerja atau penyakit yang disebabkan oleh lingkungan kerja.
(2) Jaminan Hari Tua (JHT) adalah jaminan atas manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.
(3) Jaminan Kematian (JKM) adalah jaminan atas manfaat uang tunai yang diberikan kepada ahli waris ketika peserta meninggal dunia bukan akibat kecelakaan kerja.
(4) Jaminan Pensiun (JP) adalah jaminan atas manfaat uang tunai yang bertujuan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak bagi peserta dan/atau ahli warisnya dengan memberikan penghasilan setelah peserta memasuki usia pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
(5) Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) adalah jaminan atas manfaat berupa uang tunai, akses informasi kerja, dan pelatihan kerja yang diberikan kepada peserta yang mengalami pemutusan hubungan kerja.
Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia No 147 telah menjelaskan bahwa BPJS Ketenagakerjaan itu sesuai dengan syariah apabila memenuhi ketentuan berikut.
Pertama, investasi dana peserta. Ketentuan tersebut meliputi:
(1) Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan hanya dapat diinvestasikan pada instrumen investasi yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Investasi Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dilakukan berdasarkan akad yang sesuai dengan karakteristik investasi syariah, berupa akad mudharabah, akad musyarakah, akad ijarah, akad wakalah bi al-istitsmar, akad bai’, atau akad lain yang sesuai dengan prinsip syariah.
Kedua, kepemilikan dana. Dari sisi jenis aset, BPJS Ketenagakerjaan mengelola aset jaminan sosial ketenagakerjaan yang terdiri dari aset BPJS Ketenagakerjaan dan aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang terdiri dari aset dana Program JKK, JHT, JP, JKM dan JKP.
Dari sisi kepemilikan, bisa dijelaskan sebagai berikut:
(1) Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dalam program JKK, JP, JKM, dan JKP merupakan milik peserta kolektif.
(2) Aset Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan dalam program JHT merupakan milik masing-masing peserta.
(3) Peserta program JHT dapat mengalihkan kepesertaanya menjadi layanan syariah program JHT.
(4) Saldo peserta program JHT pada saat dialihkan diakui sebagai saldo awal pada layanan syariah program JHT.
(5) BPJS Ketenagakerjaan boleh menggunakan sistem accrual basis maupun cash basis dalam administrasi keuangannya.
Dalam hal terjadi pencairan dana untuk program JHT, peserta akan menerima sebesar dana yang menjadi haknya termasuk perhitungan imbal hasil investasi yang telah berjalan dengan penyesuaian (adjustment) atas imbal hasil berdasarkan metode accrual basis.
Ketiga, hak dan kewajiban antara para pihak. Di antara ketentuan syariah itu menentukan siapa melakukan apa.
Dalam fikih dikenal dengan akad atau perjanjian. Akad tersebut pada prinsipnya untuk menentukan apa saja hak dan kewajiban para pihak yang terkait dengan BPJS Ketenagakerjaan.
Akad-akad tersebut adalah:
(1) Akad antara peserta (dan/atau peserta kolektif) dan BPJS Ketenagakerjaan adalah akad wakalah bi al-ujrah. Akad wakalah bi al-ujrah meliputi pemberian kuasa untuk kegiatan administrasi, pengelolaan portofolio risiko, investasi/pengembangan Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, pembayaran uang manfaat, dan kegiatan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Akad antar peserta dalam program JKK, JKM, dan JKP adalah akad tabarru’ dalam rangka saling menolong (ta’awun) sesama peserta melalui pembentukan dana tabarru’.
(3) Akad antar peserta dalam program JP adalah akad hibah tanahud dalam rangka saling menolong (ta’awun) sesama peserta melalui pembentukan dana tanahud.
(4) Akad antara peserta program JHT dan BPJS Ketenagakerjaan terkait pengelolaan investasi adalah akad wakalah bi al-istitsmar.
(5) Akad antara pemberi kerja dan peserta adalah akad hibah atau akad hibah bi syarth.
(6) Akad pemberian bantuan oleh pemerintah kepada peserta adalah akad hibah atau akad hibah bi syarth, yang diserahkan kepada BPJS Ketenagakerjaan.
(7) Akad antara pemerintah dan BPJS Ketenagakerjaan sebagai wakil peserta kolektif dalam menanggulangi Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang tidak memenuhi standar kesehatan keuangan adalah akad hibah atau akad qardh.
(8) Akad antara BPJS Ketenagakerjaan dan peserta kolektif dalam menanggulangi Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang tidak memenuhi standar kesehatan keuangan adalah akad qardh.
Keempat, ketentuan terkait denda yaitu sebagai berikut.
(1) Saat pemberi kerja atau peserta terlambat membayar iuran. BPJS Ketenagakerjaan boleh mengenakan sanksi (ta’zir) kepada pemberi kerja dan/atau peserta dengan ketentuan berikut:
(a) Apabila pemberi kerja dan/atau peserta terlambat membayar iuran karena lalai, maka boleh dikenakan sanksi (ta’zir).
(b) Apabila pemberi kerja dan/atau peserta terlambat membayar iuran karena sebab yang benar menurut syariah dan hukum (misal karena kendala teknis operasional, kesulitan keuangan yang sangat atau karena ketidaktahuan), maka BPJS Ketenagakerjaan tidak boleh mengenakan sanksi.
(c) Tingkatan berat atau ringannya sanksi (ta’zir) dapat diberlakukan sepadan dengan jenis dan tingkatan pelanggarannya.
(d) Dana sanksi (ta’zir) beserta hasil pengembangannya yang berasal dari program JKK, JP, JKM, dan JKP wajib dimasukkan ke dalam dana jaminan sosial pada masing-masing program.
(e) Dana sanksi (ta’zir) beserta hasil pengembangannya yang berasal dari program JHT, dicatat secara terpisah dan disalurkan untuk kemaslahatan umat dan kepentingan umum yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
(2) Saat BPJS terlambat membayar kewajibannya. Dalam hal BPJS Ketenagakerjaan terlambat membayar kewajibannya kepada fasilitas kesehatan/rumah sakit dan pihak lainnya dalam pemberian layanan kesehatan kepada peserta program JKK, BPJS Ketenagakerjaan boleh dikenakan sanksi (ta’zir), dengan ketentuan bahwa sumber dana untuk pembayaran sanksi berasal dari dana BPJS Ketenagakerjaan, bukan dari Dana Jaminan Sosial Ketenagakerjaan.
(3) Saat faskes atau rumah sakit terlambat mengajukan klaim. Dalam hal fasilitas kesehatan/rumah sakit dan pihak lainnya terlambat dalam mengajukan klaim atas layanan kesehatan yang diberikan kepada peserta program JKK sesuai batas waktu yang disepakati, fasilitas kesehatan/rumah sakit dan pihak lainnya dapat dikenakan sanksi (ta’zir), dengan ketentuan dana sanksi (ta’zir) wajib dimasukkan ke dalam dana jaminan sosial program JKK dan tidak boleh menjadi pendapatan BPJS Ketenagakerjaan.
Wallahu a’lam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Inilah Ketum Muhammadiyah Terlama
Yang begitu dikenang dari sosok KH AR Fachruddin adalah kesederhanaan hidupnya.
SELENGKAPNYAInilah Guru Pendiri Muhammadiyah dan NU
Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi menjadi guru bagi KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy'ari.
SELENGKAPNYAImplementasi Jam'iyyah Ilahiyyah: Mengubah Ular Menjadi Tali
Ahmad membutuhkan pengetahuan khusus untuk menyatakan ular itu tidak nyata.
SELENGKAPNYA