Opini
Agama Sebagai Sumber Inspirasi, Kasih Sayang, dan Toleransi
Para nabi dan tokoh agama besar sepanjang sejarahnya menyerukan transformasi batin.
Oleh ASWAR HASAN, dosen ilmu komunikasi FISIP UNHAS Makassar, mantan komisioner KPI Periode 2019/2022
Islam, sebagai salah satu agama terbesar di dunia, mengajarkan nilai-nilai luhur yang mendorong umatnya untuk senantiasa berbuat baik, saling menyayangi, dan hidup berdampingan secara damai dengan sesama. Kasih sayang adalah inti ajaran Islam. Nama Allah yang paling sering disebut dalam Alquran adalah Ar-Rahman dan Ar-Rahim (Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang). Agama Islam bukan sekadar aturan ritual, melainkan panduan hidup yang bertujuan untuk menciptakan kedamaian, keadilan, dan kasih sayang di antara manusia.
Oleh karenanya, Islam adalah rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil 'alamin). “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam." (QS. Al-Anbiya: 107) "Sesungguhnya pada diri Rasulullah itu terdapat suri teladan yang baik bagi kalian yang menekankan mengharapkan Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah." (QS Al-Ahzab: 21).
Dalam pada itu, menarik untuk menelisik pemikiran Karen Armstrong seorang mantan biarawati Katolik Roma, ia beralih dari seorang yang konservatif menjadi penganut Kristen yang lebih liberal dan mistis. Ia kuliah, dan meninggalkan biara pada tahun 1969. Karyanya berfokus pada kesamaan agama-agama besar, seperti pentingnya kasih sayang bagi sesama manusia.
Dia adalah pencari kebenaran dalam keberagaman iman. Hidupnya didedikasikan untuk menjembatani kesenjangan antar keyakinan manusia, yang banyak dipertentangkan dan menimbulkan konflik itu. Pemikirannya banyak menarik perhatian khususnya dalam bukunya The History of God dan The Battle for God. Dia menjelaskan perspektif mendalam tentang hubungan kompleks antara agama, Tuhan, dan kekerasan. Ia mengeksplorasi bagaimana agama yang sejatinya bertujuan membangun kedamaian yang sering kali digunakan sebagai alat pembenaran untuk konflik.
Pandangan bahwa agama adalah sumber konflik telah menjadi argumen populer dalam pandangan politisasi keagamaan, terutama di tengah maraknya kekerasan yang melibatkan simbol-simbol keagamaan. Namun, pemikiran ini sering kali menyederhanakan realitas yang jauh lebih kompleks. Karen Armstrong, dalam bukunya The History of God dan The Battle for God, menegaskan bahwa agama pada dasarnya bukanlah penyebab konflik, apalagi alat untuk melegitimasinya. Sebaliknya, agama adalah sarana untuk mencari makna, perdamaian, dan solidaritas bagi sesama manusia.
Dalam perjalanan sejarah konsep Tuhan telah berubah yang mencerminkan kebutuhan dan kondisi manusia di setiap era. Dalam bukunya The History of God, ia menjelaskan bagaimana masyarakat kuno melihat Tuhan sebagai kekuatan transenden yang membantu mereka memahami dunia dan memberi makna dalam kehidupan. Pada tradisi Abrahamik, Tuhan berperan sebagai pengikat komunitas dan sumber moralitas. Namun, dalam perjalanannya, gagasan tentang Tuhan seringkali dimanfaatkan untuk memperkuat otoritas politik dan membenarkan kekerasan.
Karen Armstrong mencatat bahwa agama sering kali dipolitisasi. Sebagai contoh, perang salib pada abad pertengahan menunjukkan bagaimana agama digunakan untuk tujuan ekspansi kekuasaan. Hal serupa terjadi dalam berbagai peradaban, di mana Tuhan dijadikan simbol nasionalisme atau alat untuk memobilisasi massa. Meski demikian, Armstrong juga menunjukkan bahwa agama memiliki dimensi yang lebih dalam, yakni panggilan untuk mencintai sesama dan melampaui egoisme individu maupun kelompok.
Dalam karyanya The Battle for God, Armstrong mengeksplorasi fenomena fundamentalisme yang muncul di berbagai tradisi agama, termasuk Kristen, Islam, dan Yudaisme. Fundamentalisme, menurut Armstrong, adalah respons terhadap ketakutan dan ketidakpastian yang dihasilkan oleh modernitas. Ketika masyarakat merasa kehilangan kendali atas identitasnya. Mereka sering kali mencari perlindungan dalam interpretasi agama yang kaku. Bahwa fundamentalisme bukan sekadar fenomena agama, melainkan gejala sosial-politik. Ketika institusi agama menghadapi tekanan dari modernisasi, sekularisasi, dan globalisasi, sebagian orang merasa perlu mempertahankan identitas mereka dengan cara ekstrem. Sayangnya, ini sering kali melahirkan konflik. Misalnya, konflik Israel-Palestina, konflik di Timur Tengah, dan bahkan terorisme internasional sering diwarnai oleh klaim agama, meskipun motivasi utamanya sering kali bersifat politik dan ekonomi.
Namun demikian, Armstrong menekankan pentingya agama yang sejatinya sebagai kekuatan untuk perdamaian. Dalam tradisi agama-agama besar, konsep cinta, belas kasih, dan solidaritas adalah inti dari ajarannya. Armstrong mengajak masyarakat dunia untuk melihat kembali esensi agama yang seringkali terlupakan dan diabaikan di tengah kebisingan konflik.
Padahal, para nabi dan tokoh agama besar sepanjang sejarahnya menyerukan transformasi batin dan keadilan sosial, bukan kekerasan. Nabi Muhammad, Yesus, dan Musa semuanya mengajarkan pentingnya belas kasih sebagai fondasi hubungan manusia. Armstrong percaya bahwa jika umat beragama kembali kepada nilai-nilai tersebut, agama dapat menjadi alat rekonsiliasi di dunia yang kini tercabik-cabik itu.
Olehnya itu, Armstrong mengingatkan kita, bahwa sejarah telah mengajarkan manusia bahaya dari menyalahgunakan agama. Dogma, absolutisme, dan politisasi agama hanya akan memperdalam jurang perpecahan antar manusia. Namun, ia juga optimis bahwa pemahaman mendalam tentang tradisi agama dapat membantu umat manusia menciptakan dunia yang lebih damai.
Armstrong akhirnya mengajak kita untuk merenungkan hubungan antara agama dan Tuhan. Ia menantang kita untuk melihat agama bukan sebagai sumber konflik, melainkan sebagai inspirasi untuk membangun masyarakat yang lebih adil dan penuh kasih dan toleransi. Dengan memahami sejarah agama secara kritis, kita dapat belajar dari kesalahan masa lalu dan memanfaatkan potensi agama untuk menciptakan perdamaian di dunia yang sering kali dipenuhi kekerasan dan kekacauan. Wallahu a’lam bishawab.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.