Foto udara aktivitas penambangan pasir silika di Kecamatan Moramo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (19/2/2024). | ANTARA FOTO/Jojon

Opini

Di Balik Kontroversi Ekspor Pasir Laut

Kebijakan izin ekspor pasir laut harus dikembalikan pada itikad baik pemerintah untuk merawat ekosistem laut.

Oleh IMRON ROSYADI, Peneliti Pada PSEI Universitas Muhammadiyah Surakarta

 

Ekspor hasil sedimentasi di laut, atau umumnya orang menyebut ekspor pasir laut kembali menjadi kontroversi di ruang publik. Perdebatan perihal manfaat dan mudharatnya ekspor pasir laut pernah mencuat sekitar 20 tahun yang lalu, hingga berujung pemerintahan Megawati menghentikan sementara ekspor pasir laut.

Bagi pihak yang kontra, penambangan besar-besaran pasir laut dinilai bakal merusak ekosistem laut. Sebab, proyek ini akan mengubah bentang alam dan dinamika pesisir, sehingga mengancam keberadaan terumbu karang, mamalia laut dan habitat biota laut lainnya.

Selain itu, tak dapat dihindarkan, bisa memicu terjadinya gesekan sosial di sekitar wilayah penambangan pasir laut, lantaran para nelayan kehilangan mata pencaharianya akibat kerusakan di area penangkapan ikan.

Bahkan, lokasi penambangan pasir laut merupakan kawasan tangkap ikan nelayan tradisional yang hidupnya tergantung pada sumber daya perikanan. Walhasil, kebijakan itu bakal menghancurkan ekonomi perikanan yang menjadi tumpuan utama nelayan di Indonesia.

 

Pemanfaatan Hasil Sedimentasi

Bagi pihak yang proekspor pasir laut, terutama pemerintah, pengerukan hasil sedimentasi di laut merupakan implementasi perlindungan, dan pelestarian lingkungan laut. Hal itu lantaran mendukung keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan laut.

Sehingga diharapkan meningkatkan kesehatan laut serta sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah dalam melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Sebagaimana disebut Presiden Jokowi, hasil sedimentasi telah mengganggu pelayaran, dan kehidupan terumbu karang. Karena itu Presiden menilai perlu diatur ihwal pembersihan hasil sedimentasi di laut.

Argumen itulah yang melatari pemerintah membuka kembali izin ekspor pasir laut melalui dua Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag), yakni Permendag No. 20/2024 tentang perubahan kedua atas Permendag nomor 22/2023 tentang barang yang dilarang untuk diekspor, dan Permendag nomor 21/2024 tentang perubahan kedua atas Permendag No. 23/2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.

Jadi, tujuan kedua Permendag tersebut untuk memayungi pelaksanaan kebijakan pemanfaatan hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut untuk ekspor, dan untuk meningkatkan nilai tambah ekspor kratom Indonesia.

Sedimentasi di laut merupakan sedimen di laut berupa material alami yang terbentuk oleh proses pelapukan dan erosi, yang terdistribusi oleh dinamika oseanografi, dan terendapkan yang dapat diambil untuk mencegah terjadinya gangguan ekosistem dan pelayaran. Adapun hasil sedimentasi di laut yang dapat dimanfaatkan berupa pasir laut dan/atau material sedimen lain yang berwujud lumpur.

Sementara itu untuk pasir laut terdapat sejumlah kegunaan, antara lain, reklamasi di dalam negeri; pembangunan infrastruktur pemerintah; pembangunan prasarana oleh pelaku usaha; dan/atau ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan hasil sedimentasi di Laut berupa lumpur dapat digunakan untuk rehabilitasi ekosistem pesisir dan laut.

 

Dampak Regulasi

Bagi pemerintah, penambangan pasir laut menjadi bagian penting dalam pelaksanaan perlindungan, dan pelestarian lingkungan laut untuk mendukung keterpeliharaan daya dukung ekosistem pesisir dan laut. Sehingga diharapkan kesehatan laut dapat terus ditingkatkan.

Namun bagi pegiat lingkungan dan publik yang peduli lingkungan laut, pengerukan pasir laut dalam volume besar-besaran, dan melibatkan banyak korporasi tambang dikhawatirkan berimbas pada kerusakan ekosistem laut.

Bahkan sejak regulasi tersebut digulirkan, setidaknya tercatat ada 66 perusahaan yang sedang mengantri pengajuan izin penambangan pasir laut di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Walhasil, banyaknya perusahaan yang berminat, dan ramai-ramai mengeruk pasir laut, membuat banyak pihak khawatir lautan Indonesia bakal kehilangan keseimbangan ekosistem laut, seperti terjadinya abrasi di wilayah pesisir di pulau rupat, Riau. Begitu pula abrasi yang terjadi di pesisir pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan.

Sementara itu, biaya pemulihan lingkungan akibat penambangan pasir laut jauh lebih besar dibandingkan dengan cuan yang diperoleh negara. Berdasarkan hasil kajian Walhi bersama dengan tim ahli (2024), biaya pemulihan lingkungan hidup akibat pengerukan pasir laut lebih besar lima kali lipat daripada profitnya.

Hal itu dengan asumsi harga per meter kubik pasir laut 7,5 dollar Singapura, biaya yang diperlukan untuk pemulihan lingkungan akibat pengerukan 344,8 juta meter kubik pasir laut mencapai 129,3 juta dollar Singapura, atau setara Rp 1,507 triliun per tahun. Padahal pemerintah menargetkan penambangan 17,6 miliar meter kubik sedimen dan pasir laut yang berasal dari minimal tujuh lokasi.

Demikian pula, merujuk temuan kajian-simulasi Celios (2024) mengonfirmasikan dampak negatif pada Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp 1,22 triliun, dan pendapatan masyarakat (perikanan) akan menurun sampai Rp 1,21 triliun.

Sementara itu, pendapatan negara estimasinya hanya bertambah Rp 170 miliar jika menghitung dampak tidak langsung ke sektor lapangan usaha secara keseluruhan. Meskipun di satu sisi pengusaha ekspor pasir laut mendapat keuntungan sebesar Rp 502 miliar, namun di sisi yang lain terdapat kerugian yang dialami oleh pengusaha di bidang perikanan.

Selain itu, yang menarik dari studi Celios juga mengonfirmasikan bahwa setiap peningkatan ekspor pasir laut berisiko mengurangi produksi perikanan tangkap. Jadi adanya ekspor pasir laut sejumlah 2,7 juta m3, berakibat penurunan nilai tambah bruto sektor perikanan yang ditaksir mencapai Rp1,59 triliun. Sehingga ditaksir pendapatan nelayan yang hilang Rp990 miliar, dan merosotnya lapangan pekerjaan di sektor perikanan sebesar 36.400 orang.

Sementara menurut pemerintah, selain bea keluar (ekspor), potensi penerimaan negara dari ekspor pasir laut berupa tambahan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Sebagai hitungan kasar, dari ekspor 50 juta meter kubik pasir laut, negara memperoleh PNBP Rp 3,25 triliun dengan asumsi tarif 35 persen dan harga patokan ekspor Rp 186 ribu.

Kendati demikian, kebijakan izin ekspor pasir laut harus dikembalikan pada itikad baik pemerintah untuk merawat ekosistem laut. Maknanya tidak semata-mata mendapatkan tambahan PNBP, tapi justru mengorbankan ekologi laut.

Dalam konteks itu pemerintah tetap menjalankan amanah melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Selanjutnya publik mengharapkan pengerukan pasir laut harus terukur, dan tidak berlebihan. Jika benar-benar mengancam kerusakan ekosistem laut, sebaiknya segera dihentikan. Wallahu a’alam bishowab.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat