Pekerja mengangkut tandan buah segar (TBS) kelapa sawit di Muara Sabak Barat, Tajungjabung Timur, Jambi, Jumat (10/7/2020). | Wahdi Septiawan/ANTARA FOTO

Ekonomi

Greenpeace Soroti Pelanggaran Industri Sawit 

Sertifikasi berkelanjuan tak menjawab masalah tata kelola sawit.

JAKARTA -- Greenpeace Indonesia menyebut sertifikasi berkelanjutan seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO) tidak mampu mencegah pelanggaran dalam tata kelola perkebunan sawit. Ada sekitar 283 ribu hektare perkebunan sawit bersertifikat RSPO dan 252 ribu hektare bersertifikat ISPO yang beroperasi secara ilegal di kawasan hutan.

"Ini menunjukkan bahwa sertifikasi berkelanjutan tidak menjawab masalah tata kelola sawit yang buruk di Indonesia," kata Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas, Rabu (9/10/2024).

Rompas menyebut 25 grup perusahaan besar yang bersertifikat RSPO masih melakukan pembukaan lahan ilegal di kawasan hutan, termasuk di wilayah konservasi.

Lebih lanjut, Rompas mengungkapkan adanya jaringan oligarki yang masif di balik praktik pembukaan lahan sawit dalam kawasan hutan. Berdasarkan social network analysis, Greenpeace menemukan bahwa 77 aktor politik terhubung dengan 2.470 relasi di sektor perkebunan sawit.

Meskipun jaringan oligarki ini tidak terkonsolidasi dengan baik, keterlibatan elite politik dengan kepentingan bisnis di sektor sumber daya alam sangat signifikan.

Rompas juga menyoroti kebijakan pemutihan lahan sawit yang menurutnya membuka peluang korupsi. Sejak pemberlakuan Omnibus Law, perusahaan-perusahaan yang menanam sawit di dalam kawasan hutan ilegal diberikan kesempatan untuk mengurus izin dan membayar denda. Hal ini, menurutnya, memperkuat praktik korupsi di sektor ini.

"Kami berharap Kejaksaan Agung dapat bersikap profesional dan transparan dalam mengusut kasus-kasus sawit dalam kawasan hutan. Jika tidak, ini akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum dan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia," tegas Rompas.

Temuan ini merupakan salah satu hasil investigasi yang dilakukan Greenpeace.

Greenpeace berharap investigasi ini dapat memicu langkah nyata dari pemerintah untuk menghentikan praktik-praktik ilegal dalam pengelolaan hutan, yang tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga masyarakat luas.

Dari hasil analisis yang dilakukan, Greenpeace menemukan terdapat sekitar 3,12 juta hektare sawit yang berada di dalam kawasan hutan. Sebanyak 600 perusahaan dengan lahan di atas 10 hektare beroperasi dalam kawasan hutan, dengan 15 juta hektare di antaranya diidentifikasi sebagai perusahaan kecil. Namun, Rompas menegaskan smallholders ini kerap kali memiliki keterkaitan dengan perusahaan besar.

Rompas menyebut bahwa wilayah dengan angka pembukaan lahan sawit ilegal tertinggi adalah Riau dan Kalimantan. Sebagian besar aktivitas ini terjadi di kawasan hutan produksi tetap dan terbatas, bahkan di kawasan konservasi dan hutan lindung.

"Setelah Undang-Undang Cipta Kerja disahkan, lahan yang sebelumnya dilindungi kini bisa dilegalkan melalui mekanisme denda," kata Rompas.

Rompas menegaskan bahwa kerugian akibat pembukaan sawit dalam kawasan hutan tidak hanya sebatas pada denda yang dibayarkan oleh perusahaan. Greenpeace menghitung kerugian negara dari konversi hutan primer seluas 870.000 hektare antara 2001 dan 2019, yang setara dengan hilangnya cadangan karbon sebesar 14 juta ton atau 382 juta ton emisi CO2.

Kerugian lain yang tak kalah penting adalah hilangnya habitat satwa dilindungi. Sekitar 183.000 hektar habitat orangutan di Sumatra dan Kalimantan serta 5.989 hektar habitat gajah di Sumatra telah berubah menjadi perkebunan sawit. Hal ini memicu konflik antara satwa dan manusia di daerah tersebut.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat