Laila, Lukayanh Sudah | Daan Yahya/Republika

Nasional

Laila, Luka yang Sudah

Cerpen Muhammad Subhan

Oleh MUHAMMAD SUBHAN

Kemarin dia melangsungkan pernikahan dengan ritual yang sakral. Malamnya dia sah menjadi seorang istri. Siang keesokan harinya dia telah berstatus janda. Di hari-hari berikutnya, hidupnya dalam bayangan kejaran wartawan infotainment, dan dia semakin populer dengan status barunya itu.

Laila tampak anggun dengan balutan gaun putih yang berkilau bak mutiara di tubuhnya. Dia berdiri di tengah sorotan lampu dan lensa kamera. Tangannya digenggam erat oleh seorang lelaki yang telah dipilihnya menjadi pendamping hidup. Suara sakral lantunan doa dan janji suci mengisi udara, seakan memberi restu pada langkahnya menuju dunia baru: menjadi seorang istri.

“Ini nyatakah?” Laila seperti tidak percaya pada apa yang sedang dia alami.

“Tentu nyata. Kita sudah sepasang suami istri, kan?” jawab lelaki gagah di sampingnya, Sahrul.Lail

a, perempuan itu, tidak pernah membayangkan bisa mencapai titik ini. Sebagai seorang artis papan atas, dia telah melewati banyak hal—mulai dari kesuksesan, pujian, hingga cercaan dari publik. Tapi, untuk pertama kalinya, dia merasa hatinya benar-benar penuh. Di tengah gegap gempita pesta pernikahannya, tidak ada peran yang dia mainkan di situ. Tidak ada naskah yang harus dia hafal. Itu adalah kehidupan nyata, pernikahan nyata, dan kebahagiaan yang nyata.

Malam pertama yang diimpikannya berjalan sempurna, dipenuhi canda tawa, serta bisikan cinta. Dia benar-benar merasakan sebagai perempuan. Lelaki yang kini menjadi suaminya—Sahrul, pengusaha muda sukses—sosok yang selama ini setia menemaninya melalui berbagai cobaan hidup sebagai seorang artis. Bersama Sahrul, Laila merasa aman, terlindungi, dan dicintai dengan tulus. Keduanya pasangan serasi. Di mata publik maupun di dunia mereka pribadi. Sebuah cerita yang sempurna.

"Aku sangat mencintaimu," bisik Sahrul saat mereka berdua menatap langit malam dari jendela kamar yang hening.

"Aku juga, kaulah segala-galanya," jawab Laila sambil merebahkan kepalanya ke dada bidang Sahrul.

Kebahagiaan yang sekejap itu, keesokan harinya, tiba-tiba sirna. Dunia Laila hancur berkeping-keping. Di tengah hiruk-pikuk persiapan makan siang bersama keluarga besar, ia menerima kabar mengejutkan, nyaris membuat jantungnya copot, namun yang pasti seluruh tubuhnya gemetar hebat.

“Ibu harus tenang. Kami sedang berusaha menyelamatkan suami Ibu ….” Suara itu samar terdengar, namun otak Laila seakan menolak memproses informasi yang disampaikan seseorang di seberang telepon.

“Kecelakaan? Di mana? Dia di rumah sakit, kan? Apa dia …, oh, Tuhan!” Laila tercekat, suaranya bergetar.

“Maaf, Bu... Suami Ibu telah meninggal dunia,” suara itu lagi, bagaikan petir menggelar di siang bolong. Merobek jiwa Laila.

Gawai di tangan Laila terhempas ke lantai. Tubuhnya lunglai. Mimpi buruk itu benar-benar terjadi.

Tubuh Laila tak bisa bergerak. Ia pingsan. Seperti sebuah film yang diputar dengan sangat lambat, Laila merasakan setiap detik berjalan penuh kesakitan. Dalam ruang hampa, ia berjalan menuju setitik cahaya. Tapi entah di mana.

“Apa ini mimpi?” Laila histeris. Matanya liar mencari jawaban.

“Laila, sabar, Nak ….” Suara seorang perempuan tua sangat dekat di telinga Laila. Perempuan itu ibunya. Laila segera terjaga.

“Ibu, oh, suamiku, Ibu ….,” isak Laila. Tangisnya pecah. Ibunya juga. Anak-beranak itu bertangis-tangisan sebagaimana orang ditimpa kemalangan.

Di saat yang sama, dunia luar bereaksi dengan cepat. Berita duka itu tersiar dan tersebar. Wartawan infotainment yang dulu selalu menunggu dan mengejar kabar bahagia pernikahannya kini beralih melaporkan tragedi yang menimpa kehidupan pribadinya. Dalam hitungan jam, Laila yang tadinya berstatus istri kini resmi menjadi janda. Dunia serasa runtuh di hadapannya.

 

***

Laila, perempuan itu, masih sulit menerima kenyataan. Setiap kali menutup mata, dia melihat wajah Sahrul. Setiap kali membuka mata, dia dihadapkan pada realitas baru yang lebih menyakitkan. Hidup yang baru saja dimulainya sebagai seorang istri kini berubah drastis. Status barunya sebagai janda seakan menjadi pusat perhatian.

“Mbak Laila, bagaimana perasaan Mbak sekarang? Apa yang akan Mbak lakukan setelah ini?”

Berondongan pertanyaan wartawan yang sangat tidak berbobot! Bagaimana melukiskan perasaan seseorang yang sedang ditimpa kematian orang tersayang? Coba saja pertanyaan itu dibalikkan kepada si wartawan kalau mereka mengalami peristiwa serupa? Bagaimana perasaan mereka?

Laila memilih tak menjawab. Dia mengelak dari kejaran wartawan. Wajahnya menunduk, masih tampak dipenuhi duka. Di balik kacamata hitam yang menutupi sebagian wajahnya, ia menahan air mata yang nyaris tumpah.

Manajer Laila melindungi perempuan itu yang melangkah cepat masuk ke dalam mobilnya di halaman. 

“Mbak Laila belum bisa bicara. Please, beri jalan!” pinta Manajer Laila, seorang perempuan dengan wajah tegas. Namun, seperti tak peduli, para wartawan itu terus mengerumuni mobil Laila. Kamera-kamera mereka tetap merekam setiap gerakan Laila.

Di media sosial, netizen pun bereaksi dengan cara yang berbeda. Ada yang bersimpati, mengirimkan pesan dukungan dan doa, tapi ada pula yang menganggap duka Laila sebagai bagian dari pertunjukan. Drama.

“Janda cantik, pasti banyak yang antre lagi tuh,” sindir seorang pembawa acara infotainment dengan tawa ringan, yang membuat Laila merasa tertampar. Seolah statusnya sebagai janda adalah bahan lelucon di dunia yang tak henti-hentinya menuntutnya untuk tetap tampil sempurna.

 

***

Laila tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh. Di balik semua kelelahan, kebingungan, dan kemarahan yang dirasakannya, ia mendapati dirinya menikmati sorotan media kepadanya. Ia benci mengakuinya, tetapi ada sesuatu yang adiktif dari perhatian yang ia terima.

“Hidupku benar-benar seperti sinetron dari film-film yang pernah aku perankan,” gumamnya sambil menatap bayangannya di cermin. Wajahnya masih cantik, meskipun menyisakan jejak kesedihan di balik senyumnya.

“Laila, kau tidak apa-apa?” tanya Aisya, sahabat sekaligus manajernya, yang baru saja masuk ke kamar hotel tempat mereka menginap.

“Lucu sekali. Wartawan-wartawan itu hanya peduli pada cerita yang bisa dijual. Sekarang aku janda, dan aku lebih populer dari sebelumnya,” bisik Laila.

Aisya memandang perempuan itu dengan cemas. “Mereka cuma cari berita. Tapi kau tidak harus mengikuti permainan mereka, bukan?”

Laila tertawa kecil. 

“Tapi begini hidupku, kan? Publik mau aku jadi cerita. Kalau aku tidak berikan, mereka yang buat cerita. Kan begitu?”

Aisya terdiam, seakan mencoba memahami logika di balik kata-kata Laila. Sahabatnya ini memang selalu kuat, tetapi kali ini, Aisya merasa ada sesuatu yang retak di dalam diri Laila.

 

***

Tahun berlalu begitu cepat. Laila akhirnya memilih move on dan dia mencoba mengambil kendali atas hidupnya. Dia belajar memilih media mana yang ingin diwawancarai, bagaimana menjawab pertanyaan dengan bijaksana, dan bagaimana membatasi bagian-bagian dari hidupnya yang ingin ia simpan sendiri. Setiap gerakannya di depan kamera kini penuh perhitungan.

“Kehidupan tidak akan berhenti walau aku sedih,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan wajah tegar. “Aku kehilangan suami, dan itu berat. Tapi aku juga tahu, hidup harus terus berjalan. Aku harus kuat, bukan cuma untuk diriku sendiri, tapi juga untuk semua orang yang mengalami hal yang sama.”

Wawancara itu menjadi viral, terutama di media sosial, seperti Instagram dan TikTok. Publik memuji ketegaran Laila. Ia tidak lagi hanya dilihat sebagai “janda cantik” yang kehilangan suami secara tragis, tetapi sebagai perempuan kuat yang berhasil bangkit dari kesedihan.

Kini, setiap kali ia berdiri di depan kamera, Laila tahu bahwa ia bukan lagi seorang wanita yang rapuh di balik status janda. Ia adalah wanita yang berjuang, yang mengontrol narasi tentang dirinya, dan yang menggunakan popularitasnya untuk membawa perubahan.

“Mungkin aku kehilangan cinta, tapi aku tidak kehilangan diriku sendiri,” katanya pada Aisya di akhir hari yang panjang. “Dan itu yang paling penting.”

Aisya tersenyum, memegang tangan Laila dengan erat. “Kau benar. Kau adalah Laila. Dan kau akan selalu bersinar, dengan atau tanpa mereka.”

Laila menatap langit yang perlahan meremang, memeluk sunyi yang dulu kerap menggerogoti hatinya. Namun kini, meski masih ada jejak pilu yang tertinggal, ia menemukan kekuatan baru dalam dirinya. Aisya, manajernya yang selalu setia mendampingi, telah menjadi sandaran kala dunia terasa runtuh. Dukungan Aisya bukan hanya hadir dalam kata-kata bijak, tapi dalam kehadiran yang tanpa lelah, membuat Laila menyadari bahwa luka adalah bagian dari perjalanan, dan hidup tak berhenti meski kehilangan menyapanya dengan kejam.

Laila menemukan hatinya yang kembali kokoh. Dia mulai melangkah ke depan panggung hidupnya, meninggalkan bayangan suaminya yang kini bersemayam di lubuk hati, tak lagi menghantuinya. Di sisi Aisya, ia belajar bahwa kekuatan sejati adalah menerima dan melangkah meski dengan langkah terseok. 

"Kita tak pernah benar-benar sendirian," bisik Aisya suatu ketika, dan kata-kata itu kini bersemayam di sanubari Laila, menjadi cahaya kecil yang terus menyala di setiap sudut gelap hidupnya. 

Padang Panjang, September 2024 

Muhammad Subhan, penulis, pegiat literasi, founder Sekolah Menulis elipsis, menetap di pinggir Kota Padang Panjang, Sumatra Barat. Lahir di Medan, 3 Desember. Buku cerpennya Bensin di Kepala Bapak (2020) dan Jalan Sunyi Paling Duri (2022). Buku puisinya Tungku Api Ibu (2023) dan Kesaksian Sepasang Sandal (2020). Novelnya Rumah di Tengah Sawah diterbitkan Balai Pustaka (2022). Ia penulis undangan Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) 2017. Esainya tiga terbaik Festival Sastra Bengkulu (2019) dan puisinya tiga terbaik Banjarbaru Rainy Day Literary Festival (2019). Ia bisa dihubungi di rinaikabutsinggalang@gmail.com.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Kendi dan Guci

Cerpen Khusnul Hotimah

SELENGKAPNYA

Bela Tanah

Cerpen Faldo Mogu

SELENGKAPNYA

Puisi Minoritas

Puisi Heru Patria

SELENGKAPNYA