Guci dan Kendi | Daan Yahya/Republika

Sastra

Kendi dan Guci

Cerpen Khusnul Hotimah

Oleh KHUSNUL HOTIMAH

Di rumah ini ada satu kendi yang dibuat dari tanah liat. Cokelat alami tanpa dicat. Hanya ditekan, dibentuk, diputar, lalu dijemur di bawah sinar matahari.

Lalu, ada satu guci putih. Mulus. Bercak cat terciprat di sana dan justru menambah nilai estetikanya. Tidak ada goresan sedikit pun.

Pemilik kendi dan guci ini adalah sepasang suami istri yang sudah terikat janji akad selama 26 tahun. Gugun dan Laksmi, mereka sedang duduk dengan wajah serius di meja makan.

Makanan masih mengepul panas 10 menit yang lalu, tapi mereka justru mengambil topik yang mendinginkan makanan. Gugun bersedekap, alisnya hampir tersambung kuat, matanya lurus menatap Laksmi. Laksmi juga tak kalah dengan kelopak mata yang menutup sebagian irirsnya, sorot matanya tajam, jari telunjuk kanannya mengetuk-ngetuk meja kayu.

"Kebiasaanmu itu benar-benar," ucap Gugun ketus menusuk jari-jari istrinya melalui mata.
"Benar-benar apa?!" Nada Laksmi meninggi.

"Benar-benar kuno, sama seperti kendi kesayanganmu itu. Mana ada orang mengetuk-ngetuk meja dengan jari telunjuk seperti itu sekarang?" Gugun memutar bola matanya.

Laksmi menyipit tak terima. "Kuno? Gak usah bawa-bawa hal aneh gak berdasar seperti itu sekarang! Kita gak butuh guci lain! Dan kendi itu sudah bersama kita selama puluhan tahun. Kalau mau membuangnya karena rusak aku gak masalah, tapi kamu mau membuangnya karena ingin digantikan dengan guci?"

Gugun berdecih, lalu menimpalinya dengan ketukan keempat jari tangan yang bergantian membuat bunyi—tanpa ibu jari. Matanya melihat Laksmi seakan berkata begini seharusnya kau mengetuk meja.
"Ini tren yang terbaru, orang kuno gak akan bisa melakukannya sebaik ini, tentu saja."

Laksmi menarik napas panjang dan membuangnya lelah. "Kita balik ke topik awal, gak usah buang waktu. Ini makanan juga sudah dingin."

"Kalau gitu mari kita makan dulu, gak baik mengabaikan rejeki di depan mata kan?" Gugun mengambil sebukit nasi. Laksmi ikut mengisi piringnya.

Suasana menjadi sunyi. Hanya diisi suara dentingan sendok dan piring yang bertemu, detikan jam bertempo sama, kipas angin yang mulai berisik karena sudah tua, dan suara jangkrik.

"Tadi Pak Joko pamer guci barunya. Dia impor langsung dari Cina. Bagus, cantik, mulus, elegan. Cocok buat jadi teman dewi keberuntungan kita," ujar Gugun di sela-sela ia makan.
Laksmi hanya mendengarkan. Sama sekali tak berniat memberi respons berarti, karena ia tahu kemana arah topik ini berhenti.

Suasana kembali hening, pasangan suamu istri ini hampir selesai dengan makan malam mereka. Gugun yang lebih dulu selesai, melabuhkan tubuhnya pada sandaran kursi. Perut buncitnya ia elus-elus seperti ibu hamil.

Laksmi yang juga selesai tak lama setelahnya, segera membereskan meja makan. Ia menutup kembali makanan yang tersisa dan membawa piring-piring kotor ke dapur. Laksmi meletakkannya begitu saja, lalu kembali duduk di kuris meja makan.

Laksmi menegak segelas air lalu terdiam beberapa saat. "Jangan lupa cuci piring," ujar Laksmi.
"Ha? Cuci piring? Kamu bercanda? Tugas dapur itu tugas istri, kenapa suami jadi disuruh-suruh cuci piring? Gimana kalau orang lain dengar? Gak pantas!"

"Kamu kenapa sih? Biasanya juga begitu, aku sudah beberes rumah, masak, ngurus baju, jadi cuci piring kamu yang handle, seperti biasanya."

"Itu! Itu! Yang harus kita ubah. Katanya kalau suami masuk dapur, itu menyempitkan rejeki, jadi mulai sekarang semua tugas dapur kamu yang kerjakan." Gugun langsung pergi ke luar—ke warung kopi.

Laksmi tertegun melihat sikap suaminya. Sejak kapan suaminya itu percaya dan mengikuti ucapan orang lain. Padahal alasan ia memilih Gugun sebagai teman hidupnya karena sikap acuh tak acuhnya pada omongan orang lain.

Dulu, saat Gugun berusia 20 tahun dan Laksmi 19 tahun, meskipun mendengar banyak omongan aneh-aneh karena tiba-tiba memutuskah menikah, mereka tetap bisa melewatinya. Terutama karena Gugun selalu ada untuk bilang gak usah peduli omongan orang lain, mereka ORANG LAIN, jadi anggap aja gak penting.

Di lima tahun awal pernikahan pun, Gugun dan Laksmi baik-baik saja. Namun, justru di usia pernikahan yang memasuki 20 tahun, Gugun tiba-tiba terobsesi dengan kehidupan mapan. Guci adalah lambang kemapanan, begitu katanya dengan bangga.

Keluarga yang Gugun dan Laksmi bangun bersama, secara ekonomi tergolong menengah. Jadi, guci sebagai dekorasi rumah sama sekali tak dibutuhkan—seharusnya. Sedangkan kendi tempat menyimpan air itu sudah ada sejak awal pernikahan mereka. Saat itu mereka membelinya untuk menyimpan air yang mereka timba dari sumur. Dan kendi itu masih baik-baik saja.

Awalnya, Laksmi tak setuju dengan keinginan Gugun membeli guci putih itu. Ditambah guci itu sangat mahal. Namun, setelah merengek selama dua hari, Laksmi pun luluh dan mengizinkan, dengan syarat tak ada guci selain guci putih itu di rumah ini. Gugun menyetujuinya dengan mantap kala itu.

"Tidak perlu yang lain, satu sudah cukup menunjukkan kita keluarga mapan," jelasnya.

Tiga tahun berlalu, dan tiba-tiba Gugun datang dengan pernyataan kita akan beli guci baru! Tentu saja Laksmi tak setuju. Laksmi juga tak tertarik menanyakan alasannya. Mereka berdebat setelahnya selama hampir setengah jam. Hanya untuk sebuah guci baru.

Hari-hari berikutnya pun sama. Percakapan keduanya hanya tentang guci. Tak hanya itu, Gugun juga mulai mengungkit banyak hal dan menyalahkan Laksmi. Kondisi keuangan yang tak ada kemajuan, listrik yang tiba-tiba berbunyi, dapur yang bocor, dan banyak lagi. Ucapan Gugun semakin tak berdasar.

"Semua itu bukan salahku, toh memang seperti itu. Rumah ini usianya gak muda lagi, ada bocor satu titik wajar saja, berarti minta diperbaiki. Listrik bunyi juga biasa, artinya pulsa listrik sudah mau habis, terus keuangan? Sejak kapan kita bahas masalah keuangan? Kita makan tiga hari sekali, anak-anak juga kuliah baik-baik saja, urusan rumah semua beres, dapur juga gak pernah kosong bahan makanan, apa?"

"Itulah kenapa kita gak maju-maju, Pikiranmu kolot. Di usia yang seperti kita ini, harusnya gak lagi mikirin masalah uang karena sudah mapan. Tapi kita masih mikir biaya ini itu."

"Sejak kapan itu? Kita dulu gak ada mikir biaya ini itu yang sampai buat stres, bersyukur kita diberi hidup cukup. Kalau ada keperluan mendadak pun kita ada tabungan. Kamu yang kolot! Kenapa bahas semua ini hanya untuk beli guci baru?"

Beberapa bulan pun berlalu sejak pertengkaran besar itu. Gugun masih berkelit tentang hidup mapan, dan semakin tak terkendali.

"Ini benar gara-gara kendi itu! Barang kuno seperti itu mengurangi energi positif di sekitarnya. Barang-barang lama akan menyimpan banyak energi negatif, kita harus membuangnya dan menggantinya dengan yang baru, kendi itu mendatangkan sial!"

"Pak?!"

"Iya Nak, kita akan menggantinya dengan guci baru berwarna biru, lambang kedamaian, warna kesukaan ibumu."

"Guci untuk menyimpan air?" Ita—putri Gugun dan Laksmi—membuang napas panjang. "Berhenti Pak! karena guci itu ibu jadi tertusuk pisau."

Gugun terdiam. Ia teringat kembali dengan kejadian hari itu. Laksmi pergi selamanya, setelah tak sengaja memergoki seorang maling yang berusaha mengangkut guci putih di rumahnya.

Khusnul Hotimah. Tinggal di Bangkalan. Kesehariannya diisi dengan mengajar sebagai tutor dan bertemu anak-anak, Mulai dari yang lucu hingga menyebalkan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Bela Tanah

Cerpen Faldo Mogu

SELENGKAPNYA

Kampung

Cerpen Beatrix Polen Aran

SELENGKAPNYA

Puisi Minoritas

Puisi Heru Patria

SELENGKAPNYA