Internasional
Kemerdekaan Palestina tak Bisa Ditunda Lagi
Menlu RI menekankan bahwa Palestina harus memeroleh kemerdekaannya segera.
Oleh FITRIYAN ZAMZAMI
GAZA – Sepanjang setahun belakangan, di tengah genosida Israel di Gaza, dukungan terhadap kemerdekaan Palestina terus menguat. Selain itu, penjajahan Israel di Palestina juga mendapat pukulan bertubi-tubi.
Menyusul serangan brutal Israel ke Gaza, sejumlah negara mengakui Palestina tahun ini. Diantaranya Armenia, Spanyol, Irlandia, dan Norwegia adalah Bahama, Trinidad dan Tobago, Jamaika, dan Barbados. Hal itu mendorong Israel menarik duta besarnya dari Madrid, Dublin dan Oslo bulan lalu.
Sebelum gelombang pengakuan negara Palestina itu, 143 dari 193 anggota Majelis Umum PBB memberikan suara mendukung Palestina untuk bergabung dengan PBB. Sebagian besar negara-negara Timur Tengah, Afrika dan Asia mengakui negara Palestina. Namun, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Jepang, Korea Selatan, dan banyak negara Eropa Barat tak punya kebijakan serupa.
Pada 2011, meskipun Palestina gagal bergabung dengan PBB setelah berkampanye untuk mendapatkan keanggotaan penuh, UNESCO memberikan Palestina keanggotaan penuh di badan kebudayaan PBB, sehingga Amerika Serikat membatalkan pendanaan badan tersebut.
Pada 2012, Majelis Umum menyetujui perubahan status Palestina menjadi “negara pengamat non-anggota”, dan pada tahun 2015, Pengadilan Kriminal Internasional mengakui Palestina sebagai negara pihak. Pada tahun 2014, Swedia menjadi negara pertama di Eropa Barat yang mengakui Palestina. Berdasarkan Perjanjian Oslo, pada tanggal 4 Mei 1999, Palestina diharapkan merdeka. Namun, milenium baru menandai dimulainya Intifada kedua.
Sementara pada 29 Desember 2023, Afrika Selatan mengajukan permohonan yang memulai proses hukum terhadap Israel mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan Israel atas kewajibannya berdasarkan Konvensi Genosida sehubungan dengan warga Palestina di Jalur Gaza.
Permohonan tersebut juga memuat permintaan untuk menunjukkan tindakan sementara, sesuai dengan Pasal 41 Statuta Mahkamah dan Pasal 73, 74, dan 75 Peraturan Pengadilan. Pemohon meminta Pengadilan untuk menunjukkan langkah-langkah sementara untuk “melindungi dari kerugian lebih lanjut, parah dan tidak dapat diperbaiki terhadap hak-hak rakyat Palestina berdasarkan Konvensi Genosida” dan “untuk memastikan kepatuhan Israel terhadap kewajibannya berdasarkan Konvensi Genosida untuk tidak terlibat dalam tindakan-tindakan yang melanggar hukum.”
Pada 26 Januari 2024, Mahkamah menyampaikan putusan atas permintaan Afrika Selatan. Mahkamah mengiyakan bahwa ada potensi genosida dalam agresi Israel di Gaza meski tak memerintahkan penghentian serangan.
Pada 23 Januari 2024, Nikaragua, mengacu pada Pasal 62 Statuta Pengadilan, mengajukan permohonan izin untuk campur tangan “sebagai pihak” dalam kasus tersebut di Panitera Pengadilan.
Pada 5 April 2024, Kolombia, berdasarkan Pasal 63 Statuta Pengadilan, mengajukan pernyataan intervensi dalam kasus tersebut ke dalam Daftar Pengadilan. Pada 10 Mei 2024, Libya, berdasarkan Pasal 63 Statuta Pengadilan, mengajukan pernyataan intervensi dalam kasus tersebut ke dalam Daftar Pengadilan. Mesir dan Meksiko juga menyusul melakukan gugatan.
Mahkamah Internasional PBB (ICJ) telah mengeluarkan pandangan yang mendesak Israel untuk mengakhiri pendudukannya di wilayah Palestina “secepat mungkin” dan melakukan reparasi penuh atas pengusiran warga Palestina serta pencurian tanah mereka. Hal itu tertuang dalam opini legal bersejarah yang dibacakan ICJ pada Jumat (19/7/3024).
Dalam putusannya, ICJ menyatakan menemukan banyak pelanggaran hukum internasional yang dilakukan Israel termasuk aktivitas yang merupakan bentuk apartheid. Hal ini akan menjadi peringatan serius bagi para sekutu Israel, karena pengadilan tersebut menyarankan bahwa negara-negara lain berkewajiban untuk tidak mengakui pendudukan tersebut sebagai hal yang sah dan tidak memberikan bantuan atau membantu pendudukan tersebut.
“Pengadilan menganggap bahwa pelanggaran yang dilakukan Israel terhadap larangan akuisisi wilayah dengan kekerasan dan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri mempunyai dampak langsung pada legalitas berlanjutnya kehadiran Israel, sebagai kekuatan pendudukan, di wilayah pendudukan Palestina,” ujar presiden ICJ, Nawaf Salam, membaca putusan itu, seperti dikutip the Guardian.
ICJ menilai bahwa Israel melakukan penyalahgunaan yang terus-menerus atas posisinya sebagai kekuatan pendudukan melalui aneksasi dan penegasan kendali permanen atas wilayah Palestina yang diduduki. Israel juga dinilai terus-menerus menghalangi hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri. “Kehadiran Israel di wilayah pendudukan Palestina melanggar hukum,” Salam menambahkan.
Pendapat tersebut diberikan sebagai tanggapan atas permintaan Majelis Umum PBB pada 2022. Hal ini mendahului serangan ke Gaza belakangan dan tidak terkait langsung dengan konflik tersebut tetapi akan menambah tekanan pada Israel – dan sekutunya – untuk mengakhiri serangan militernya. Serangan itu sejauh ini telah menewaskan lebih dari 38.000 warga Palestina, menurut Kementerian Kesehatan Gaza.
Menurut ICJ, ada sejumlah pelanggaran hukum internasional yang diidentifikasi oleh pengadilan. Diantaranya penggusuran paksa, pembongkaran rumah secara besar-besaran dan pembatasan tempat tinggal dan pergerakan. Selain itu, penempatan pemukim ilegal Israel ke Tepi Barat dan Yerusalem Timur serta pemeliharaan kehadiran mereka.
Israel juga dinilai gagal mencegah atau menghukum serangan yang dilakukan oleh pemukim ilegal. Israel juga membatasi akses penduduk Palestina terhadap air. Hakim ICJ juga menilai penggunaan sumber daya alam oleh Israel di wilayah pendudukan Palestina dan perluasan hukum Israel ke Tepi Barat dan Yerusalem Timur sebagai tindakan melanggar hukum.
Pengadilan Den Haag memutuskan bahwa Israel melanggar pasal tiga konvensi internasional tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial (CERD), yang berbunyi: “Para pihak secara khusus mengutuk segregasi rasial dan apartheid dan berupaya mencegah, melarang, dan memberantas semua praktik diskriminasi rasial dan apartheid di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksi mereka.”
“Pengadilan mengamati bahwa undang-undang dan tindakan Israel memaksakan dan berfungsi untuk mempertahankan pemisahan yang hampir menyeluruh di Tepi Barat dan Yerusalem Timur antara pemukim dan komunitas Palestina. Karena alasan ini, pengadilan menganggap bahwa undang-undang dan tindakan Israel merupakan pelanggaran terhadap pasal 3 CERD,” Salam mengatakan.
Selain memerintahkan diakhirinya pendudukan sesegera mungkin, pengadilan yang terdiri dari 15 hakim tersebut mengatakan Israel harus mengakhiri semua tindakan yang melanggar hukum, termasuk menghentikan semua aktivitas pemukiman baru dan mencabut undang-undang yang mempertahankan pendudukan, termasuk tindakan yang melanggar hukum yang mendiskriminasi warga Palestina atau berupaya mengubah komposisi demografi wilayah pendudukan.
Salam mengatakan reparasi mencakup kewajiban Israel untuk mengembalikan tanah dan harta tak bergerak lainnya, serta semua aset yang disita dari perorangan atau badan hukum sejak pendudukan dimulai pada 1967, dan semua aset budaya yang disita dari orang perseorangan atau badan hukum sejak pendudukan dimulai pada tahun 1967, termasuk arsip dan dokumen.
“Hal ini juga memerlukan evakuasi seluruh pemukim dari permukiman yang ada dan pembongkaran bagian tembok yang dibangun oleh Israel yang terletak di wilayah Palestina yang diduduki, serta memungkinkan semua warga Palestina yang mengungsi selama pendudukan untuk kembali ke tempat asal mereka tinggal." ICJ mengatakan jika perbaikan secara material memungkinkan, maka kompensasilah yang harus dibayarkan.
Israel tidak berpartisipasi dalam persidangan tersebut, yang menampilkan argumen dari 52 negara, hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Namun Israel mengajukan argumen tertulis pada bulan Juli tahun lalu, mendesak ICJ untuk menolak permintaan pendapat tersebut.
Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) telah memberikan suara terbanyak untuk mendukung resolusi yang menuntut diakhirinya penjajahan Israel di “Wilayah Palestina yang diduduki” dalam waktu satu tahun. Duta besar Palestina untuk PBB menyebut pemungutan suara tersebut sebagai titik balik dalam perjuangan untuk kebebasan dan keadilan.
Keputusan tidak mengikat tersebut menghasilkan suara 124-14 pada Rabu, dengan 43 negara abstain. Tidak ada negara besar di Barat, kecuali sekutu terdekat Israel, Amerika Serikat, yang memberikan suara menentang resolusi yang mengisolasi Israel beberapa hari sebelum para pemimpin dunia berkumpul untuk pertemuan tahunan PBB di New York.
Di antara yang menolak resolusi tersebut adalah AS, Argentina, Republik Ceko, Fiji, Hongaria, Israel, Malawi, Mikronesia, Nauru, Palau, Papua Nugini, Paraguay, Tonga, dan Tuvalu. Kebanyakan negara-negara itu adalah negara kepulauan kecil di Samudera Pasifik.
Sedangkan yang abstain adalah Albania, Australia, Austria, Bulgaria, Kamerun, Kanada, Kosta Rika, Kroasia, Republik Demokratik Kongo, Denmark, dan Republik Dominika. Kemudian Ekuador, Ethiopia, Georgia, Jerman, Guatemala, Haiti, India, Italia, Kenya, Kiribati, Liberia, Liechtenstein, Lithuania, Nepal, Belanda, Makedonia Utara, Panama, Polandia, Republik Korea, Republik Moldova, Romania, Rwanda, Samoa, Serbia, Slovakia, Sudan Selatan, Swedia, Swiss, Ukraina, Inggris Raya, Uruguay, dan Vanuatu.
Artinya, Majelis Umum PBB memberikan suara terbanyak untuk rancangan resolusi tersebut, yang secara resmi menuntut diakhirinya pendudukan Israel di wilayah Palestina dalam waktu 12 bulan. Hal ini didasarkan pada pendapat penasihat Mahkamah Internasional (ICJ) , yang menemukan bahwa pendudukan Israel selama puluhan tahun di wilayah Palestina adalah “melanggar hukum”, dan bahwa “pemisahan yang hampir menyeluruh” terhadap orang-orang di Tepi Barat yang diduduki melanggar hukum internasional mengenai “segregasi rasial” dan "apartheid" merujuk hukum internasional.
Pada Selasa, Negara Palestina menyerahkan rancangan resolusi tersebut kepada Majelis Umum PBB sebagai tindak lanjut pendapat penasihat ICJ mengenai pendudukan Israel di wilayah Palestina pada sesi darurat khusus Majelis Umum PBB ke-10 di New York.
Menurut PBB, berdasarkan ketentuan teks (dokumen A/ES-10/L.31/Rev.1), Majelis menuntut agar Israel mengakhiri kehadirannya yang melanggar hukum di Wilayah Pendudukan Palestina selambat-lambatnya 12 bulan sejak tanggal perjanjian.
Selain itu, Majelis Umum PBB menuntut diadopsinya resolusi tersebut dan segera menghentikan semua aktivitas penjajah-pemukim baru dan mengevakuasi semua penjajah dari Wilayah Pendudukan Palestina. Lebih lanjut, Majelis Umum PBB menuntut Israel mengembalikan tanah yang dirampas sejak pendudukannya dimulai pada tahun 1967 dan mengizinkan warga Palestina yang kehilangan tempat tinggal untuk kembali ke rumah mereka.
Majelis Umum PBB juga menuntut agar Israel segera mematuhi seluruh kewajiban hukumnya berdasarkan hukum internasional, termasuk sebagaimana ditetapkan oleh Mahkamah Internasional. Resolusi ini menyerukan kepada negara-negara untuk tidak mengakui kehadiran Israel yang melanggar hukum di Wilayah Pendudukan Palestina dan mencegah hubungan perdagangan atau investasi yang membantu mempertahankan situasi ilegal yang diciptakan oleh Israel.
“Meminta Sekretaris Jenderal untuk menyerahkan laporan kepada Majelis Umum dalam waktu tiga bulan mengenai implementasi resolusi ini, termasuk tindakan apa pun yang diambil oleh Israel, negara-negara lain dan organisasi internasional, termasuk PBB.”
Resolusi ini menyerukan “diselenggarakannya Konferensi Para Pihak pada Konvensi Jenewa Keempat mengenai perlindungan warga sipil di masa perang mengenai langkah-langkah untuk menegakkan Konvensi tersebut di Wilayah Pendudukan Palestina, termasuk Yerusalem Timur.”
Menjelang setahun genosida, Majelis Umum PBB yang digelar sepanjang pekan lalu diwarnai seruan untuk kemerdekaan Palestina. Indonesia bergabung dengan negara-negara lain menekankan hal tersebut.
Indonesia mendorong negara-negara anggota PBB untuk segera mengakui negara Palestina, sebagai investasi untuk dunia yang lebih damai dan adil. Hal ini disampaikan Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi pada Debat Umum High-Level Week Sidang Majelis Umum PBB ke-79.
Dalam pertemuan yang digelar pada hari Sabtu (28/9/2024) Retno juga mendorong negara-negara Anggota Tetap Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan konkret menghentikan pelanggaran hukum internasional oleh Israel dan kekebalan Israel dari hukum tersebut.
al ini sebeumnya juga sudah ditekankan oleh Menlu Retno dalam Pertemuan Tingkat Menteri tentang Situasi di Gaza dan Penerapan Solusi Dua Negara pada Sidang ke-79 Majelis Umum PBB di New York, Amerika Serikat, Kamis (26/9).
“Pengakuan terhadap Negara Palestina sangatlah penting. Mengapa? Karena hal ini memberikan harapan kepada Bangsa Palestina. … Dan yang terpenting, inilah satu-satunya cara untuk memberikan tekanan politik kepada Israel untuk menghentikan kekejamannya,” katanya.
Namun, menurut Retno, beberapa negara yang dia ajak justru menyatakan baru akan mengakui Palestina pada saat yang tepat. “Kapan saat yang tepat itu? Bagi saya, waktu yang tepat adalah saat ini juga. Waktu yang tepat adalah sekarang. Kita tidak usah menunggu sampai semua orang Palestina mengungsi dan seratus ribu orang terbunuh untuk menyebut bahwa inilah saat yang tepat itu,” kata Menlu menegaskan.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Jelang Setahun Genosida di Gaza, Pejuang Palestina Tolak Menyerah
Pejuang di Tepi Barat juga terus melakukan perlawanan.
SELENGKAPNYAPejuang Palestina Pukul Mundur IDF di Nablus
Serangan Israel memporak-porandakan Tepi Barat.
SELENGKAPNYA625 Ribu Anak Palestina Alami Trauma Parah
Genosida Israel membuat murid-murid di Gaza terlambat lima tahun.
SELENGKAPNYAKemenangan Palestina di PBB Gagalkan Rencana Zionis
Kemenangan di PBB September ini tentu saja merupakan kemajuan besar bagi Palestina.
SELENGKAPNYA