Kronik
Sejarah Konfrontasi: Kala Bung Karno Sebut Malaysia 'Antek Imperialis'
Pada 1963, bergemuruh teriakan 'ganyang Malaysia.'
Hubungan Indonesia dan Malaysia memiliki banyak persamaan. Keduanya tidak hanya dekat secara geografis, melainkan juga budaya. Bahkan, negeri jiran sering disebut sebagai saudara serumpun karena mayoritasnya dihuni suku bangsa Melayu. Antara bahasa Indonesia dan bahasa resmi kerajaan tersebut juga tidak begitu jauh berbeda.
Namun, sejarah hubungan antarnegara sempat memunculkan "riak-riak." Salah satunya adalah berlangsungnya masa konfrontasi RI-Malaysia pada 1963-1965.
Ketika itu, Malaysia menyatakan proklamasi kemerdekaan pada 16 September 1963. RI yang saat itu dipimpin presiden Sukarno memandang, pembentukan Malaysia adalah hasil dari operasi kekuatan kolonial Barat, utamanya Inggris, di Asia tenggara.
Sebagai tokoh yang masyhur antikolonialisme dan anti-imperialisme, Bung Karno meradang. Dan, dengan cepat banyak rakyat mendukung sang pemimpin.
Di Jakarta dan di tempat lain di Tanah Air, bergelora teriakan-teriakan "Ganyang Malaysia." Istilah ganyang berarti 'memakan mentah-mentah'. Demikian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia. Maknanya, RI (baca: Bung Karno) sudah sangat marah dengan keberadaan negeri jiran itu.
Presiden Sukarno pada tanggal 3 Mei 1964 di Jakarta mengumpulkan para sukarelawan. Di hadapan ratusan ribu rakyat, Bung Karno mencanangkan Dwi Komando Rakyat (Dwikora). Isinya adalah instruksi: perhebat ketahanan revolusi Indonesia serta bantu perjuangan revolusioner rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Serawak, dan Brunei.
Bung Karno memang dikenal sebagai orang yang dapat menggelorakan semangat rakyat. Dalam waktu singkat, terhimpun jutaan sukarelawan dan sukarelawati.
Setelah diseleksi, mereka di kirim ke daerah-daerah perbatasan, seperti Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat. Di antara para sukarelawan ini, terdapat dokter, mahasiswa, pemuda, dan wartawan.
Sementara itu, satuan-satuan ABRI (kini TNI) yang juga mengeklaim diri sebagai sebagai sukarelawan mulai merembes masuk ke wilayah Singapura dan Kalimantan Utara. Di sana, mereka melancarkan operasi militer terhadap pasukan Inggris dengan satuan Gurkha-nya dari Tibet.
Karena itu, tidak heran kalau Kedubes Inggris di Jakarta juga menjadi sasaran demo. Pada 18 September 1963, hanya dua hari setelah Federasi Malaysia resmi berdiri, Kedubes Inggris dibakar dan lambang negara itu dicopot para demonstran.
Pembalasan akibat pembakaran ini terjadi di Kuala Lumpur. Para diplomat Indonesia ditangkapi dan kedubes RI diserang. Pada Agustus 1964, 16 prajurit Indonesia ditangkap di Johor dan keesokan harinya 17 prajurit RI mendarat di selatan Johor.
Konfrontasi RI-Malaysia yang dibantu negara-negara Barat, sudah di ambang perang terbuka. Armada VII Amerika Serikat (AS) sudah memasuki perairan di Selat Lombok.
KSAD saat itu, Jenderal Ahmad Yani, mengeluarkan ultimatun agar Armada VII AS segera meninggalkan perairan Indonesia. Hubungan dengan Negeri Paman Sam semakin tegang ketika presiden Jhonson dan perdana menteri Malaysia Tunku Abdul Rahman menandatangi pernyataan bersama.
Bung Karno yang marah besar memperingatkan AS bahwa hubungannya dengan Indonesia akan tambah runyam, dan bila terjadi apa-apa jangan salahkan Indonesia. Sementara demo-demo anti AS meluas diberbagai daerah.
"Go home Yankee," demikian seruan di antara spanduk yang para demonstran bawa. Sementara, kelompok kiri atau komunis di Tanah Air memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan mereka.
Memang, ketika itu terjadi dua blok dalam konteks geopolitik global: AS dan Uni Soviet. Kedua kekuatan ini saling bersaing agar negara-negara lain memihak kepada salah satu blok.
Dalam konfrontasi dengan Malaysia, Moskow berpihak pada RI. Waktu itu persenjataan ABRI banyak dari Uni Soviet.
Sementara, Bung Karno dalam upaya melawan kekuatan Barat berhasil membentuk front internasional yang luas anti-Malaysia. Meskipun banyak yang meragukan kredibilitas para peserta yang hadir. Dalam pidatonya Bung Karno kerap menyerang PM Malaysia, Tunku Abdul Rahman.
"Tunku Abdul Rahman adalah tulen antek imperialis AS," katanya.
Bung Karno menyebutnya angkuh ketika Tunku mengatakan, "Malaysia sudah ada, orang senang atau tidak senang. Kalau senang terimalah. Kalau tidak senang biarkanlah."
Dalam pernyataannya yang ditujukan kepada AS, Bung Karno menyatakan bahwa sebetulnya ia melakukan hal itu di luar kemauannya. Seandainya tidak ada Komunike Bersama Johnson-Tunku, aku Sukarno, maka kata-katanya takkan pernah diucapkan.
Hasrat bersahabat dari pihak Indonesia terhadap AS sudah jelas sekali. Bahkan sesudah percobaan pendaratan Armada VII ke Pekanbaru. Bahkan, sesudah pemboman-pemboman oleh Alan Pope.
"Dengan perasaan berat, saya katakan bahwa komunike bersama Johnson-Tunku benar-benar keterlaluan. Benar-benar di luar batas," kata Bung Karno.
Memasuki tahun 1965, kondisi dalam negeri kian mengurangi fokus Sukarno pada Konfrontasi. Akhirnya, pecahlah Gerakan 30 September (G30S) yang di dalamnya PKI mencoba merebut kekuasaan.
Kegagalan G30S/PKI juga turut menurunkan popularitas Bung Karno. Sesudah terbitnya Supersemar (Surat Perintah 11 Maret), kekuasaan "sang penyambung lidah rakyat" kian tergerus. Sebaliknya, ABRI yakni Angkatan Darat semakin solid mengukuhkan pengaruh.
Menjelang akhir 1965, jenderal Soeharto memegang kekuasaan di Indonesia. Pada 28 Mei 1966, sebuah konferensi digelar Bangkok, Thailand.
Meski diwarnai keberatan Sukarno--yang tidak lagi memegang kendali pemerintahan secara efektif--Kerajaan Malaysia dan pemerintah RI mengumumkan normalisasi hubungan antarkedua negara. Kekerasan berakhir bulan Juni, dan perjanjian perdamaian ditandatangani pada 11 Agustus dan diresmikan dua hari kemudian.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Kepala Ular di Pucuk Hamas
Sinwar digambarkan sebagai kepala ular yang siap mematuk Israel kapan saja.
SELENGKAPNYAAirlangga Mundur di Tengah Situasi Genting
Alasan mundurnya Airlangga dinilai terasa tidak logis, jelas, dan konstitusional.
SELENGKAPNYA