Suasana kampanye calon presiden AS dari Partai Republik Donald Trump, Sabtu, 13 Juli 2024. | AP Photo/Evan Vucci

Ekonomi

Menakar Dampak Pemilu AS Bagi Ekonomi Indonesia

Setidaknya terdapat tiga mplikasi perekonomian AS terhadap Indonesia.

JAKARTA -- Dinamika pemilu Amerika Serikat (AS) terus menjadi perhatian lantaran erat kaitannya dengan arah kebijakan Negeri Paman Sam yang akan berdampak ke ekonomi dan politik internasional, termasuk Indonesia. Ada beberapa hal yang perlu dicermati terkait dampak dari pemilu AS nantinya.

Ekonom Senior INDEF Iman Sugema mengatakan, setelah pengumuman hasil Pemilu sebenarnya tidak ada yang berubah secara fundamental. "Ini akan lebih kepada psikologi atau ekspektasi dari para pelaku pasar tentang hasil yang akan diperoleh. Jadi siapapun yang menang, apakah Donald Trump atau bukan reaksinya biasanya merupakan efek selebrasi, merayakan kemenangan. Kemenangan pun sebenarnya sudah bisa diprediksi secara akurat kira-kira seminggu sebelum kampanye usai," ujar Iman dalam Diskusi Publik yang Bertajuk "Donald Trump vs Kamala Harris: Dampaknya Bagi Ekonomi Indonesia yang diikuti secara daring, Senin (29/7/2024).

Setelah perayaan kemenangan, barulah dihitung efek dari tekanan ekonomi AS dan bagaimana cara presiden baru mengatasi tekanan ekonomi AS, sehingga efek fundamental baru bisa dirasakan bagi para pelaku pasar internasional termasuk Indonesia. Oleh karena itu, sudah menjadi ritual setiap pemenang Pemilu AS akan merumuskan secara detil bagaimana mereka merespon masalah internal di AS dan yang akhirnya kebijakan tersebut akan berdampak terhadap ekonomi global.

Peneliti Center of Digital Economy and SMEs INDEF Izzudin Al Farras mengungkapkan, paradigma kebijakan ekonomi yang berbeda di antara calon presiden AS membuat Indonesia harus mengantisipasi berbagai kemungkinan efeknya terhadap ekonomi Indonesia.

Secara historis, dampak kebijakan di masa kepemimpinan Trump, kurs cukup fluktuatif terutama pada pertengahan 2018 hingga awal 2020. Khususnya karena perang dagang antara Amerika dan China.

"Karena ketika itu Trump dengan karakter proteksionismenya akhirnya melarang banyak sekali produk China berusaha menekan neraca perdagangan antara Amerika dan China yang mana Amerika mengalami defisit terhadap China nah itu semua berdampak pada ketidakpastian global sehingga mengibatkan inflasi domestik serta capital outflow ke AS," terangnya.

Ketika masuk kepemimpinan Joe Biden, kurs justru mengalami tren depresiasi yang lebih jelas. Artinya tidak sefluktuatif seperti masa sebelumnya di masa pemerintahan Donald Trump. Hal ini diakibatkan ketidakpastian global yang mengakibatkan capital outflow ke AS ditambah dengan ekspansi pasca pandemi serta gejolak harganya di akibat konfigurasi politik.

"Akibatnya biaya impor menjadi lebih tinggi berpeluang untuk meningkatkan inflasi domestik dengan pembayaran hutang yang lebih mahal," tuturnya.

Dari pengalaman historis masa Trump dan Joe Biden, lanjut Farras, setidaknya terdapat tiga mplikasi perekonomian AS terhadap Indonesia. Pertama terkait dengan tingkat suku bunga di Indonesia. Pasalanya, tingkat suku bunga acuan BI masih akan  mengikuti tingkat suku bunga acuan dari The Fed.

"Karena suku bunga acuan The Fed saat ini masih relatif tinggi di atas 3 persen dimana target The Fed itu sebenarnya di angka 2 persen dalam upayanya untuk mengurangi tingkat inflasi yang masih dianggap tinggi di sana dan kita lihat juga kecenderungan 70 persen rate dari Bank Indonesia itu cenderung mengikuti tren atau dinamika tingkat suku bunga The Fed," jelasnya.

Sehingga, siapapun pemenangnya kurs rupiah terhadap dolar AS masih akan berada di kisaran Rp 16 ribu karena seperti itu trennya. Kemudian tingkat suku bunga acuan BI pun masih akan tinggi, dengan kecenderungan turun secara perlahan setidaknya hingga tahun 2026.

"Karena tadi ada tren bahwa tingkat suku bunga acuan BI mengikuti tingkat suku bunga acuan The Fed di US dan proyeksi atau analis dari pasar menyebutkan bahwa setidaknya akhir tahun ini baru sekali The Fed menurunkan tingkat suku bunga acuan dan kemudian akan turun secara bertahap di tahun 2025 hingga tahun 2026 supaya inflasi tadi bisa ditekan dan angka tingkat suku bunga acuan nanti mencapai 2 persen, jadi itu masih relatif tinggi di Indonesia implikasinya," terangnya.

Selain itu, kondisi ketidakpastian pasar finansial masih akan sangat bergantung pada dinamika geopolitik yang berkembang. Artinya, ketidakpastian pasar finansial ini sangat bergantung bagaimana dinamika di Israel-Palestina serta dinamika di Ukraina-Rusia.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat