Sejumlah orang mendinginkan diri di air mancur Piazza Castello di tengah suhu tinggi di Turin, Italia, Selasa (11/7/2023). | EPA-EFE/Tino Romano

Internasional

Panas Ekstrem Mengancam Nyawa, PBB Desak Negara-Negara Bertindak

Semua pihak harus bisa mengurangi ketergantungam pada bahan bakar fosil.

WASHINGTON -- Fenomena panas ekstrem telah menyebabkan bencana hingga merenggut korban jiwa di banyak negara. Menurut Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres, panas ekstrem diperkirakan membunuh hampir setengah juta orang per tahun.

"(Jumlah korban jiwa akibat panas ekstrem) Sekitar 30 kali lebih banyak dari pada siklon tropis. Kita tahu apa yang mendorongnya, yaitu perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia dan bahan bakar fosil. Dan kita tahu itu akan menjadi lebih buruk," katanya, Kamis (25/7/2024).

Guterres mengatakan panas ekstrem adalah ketidaknormalan baru. Oleh karena itu, ia mendorong semua negara untuk meminimalkan dampak dari panas akstrem yang disebabkan perubahan iklim.

Guterres menekankan bahwa panas ekstrem semakin menghancurkan ekonomi, memperlebar kesenjangan, melemahkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) PBB dan merenggut korban jiwa. Karena itu, Sekjen PBB tersebut mengatakan bahwa dia meluncurkan tuntutan global yang difokuskan pada beberapa hal, yaitu melindungi kelompok yang paling rentan, meningkatkan perlindungan bagi pekerja, meningkatkan ketahanan ekonomi dan masyarakat dengan menggunakan data dan sains.

Guterres menegaskan bahwa hal utama yang harus diperhatikan adalah komunitas internasional mesti berfokus pada dampak panas ekstrem. "Namun, jangan lupa bahwa masih banyak lagi gejala krisis iklim yang menghancurkan: Badai yang semakin dahsyat, banjir, kekeringan, kebakaran hutan, naiknya permukaan air laut dan masih banyak lagi," kata Guterres.

Untuk mengatasi permasalahan itu, semua pihak harus bisa mengurangi ketergantungam pada bahan bakar fosil. "Penyakit itu adalah kecanduan bahan bakar fosil. Penyakit itu adalah tidak adanya tindakan untuk mengatasi perubahan iklim."

Dia mengatakan G20 harus mengalihkan subsidi bahan bakar fosil ke energi terbarukan dan mendukung negara-negara dan masyarakat yang rentan. "Pesannya jelas. Panas ekstrem berdampak ekstrem pada manusia dan planet ini. Dunia harus bangkit menghadapi tantangan kenaikan suhu," tambahnya.

Guterres pun mendesaknegara-negara untuk mengatasi epidemi panas ekstrem yang dipicu perubahan iklim.
"Dunia harus bangkit untuk menghadapi tantangan kenaikan suhu," kata Guterres.

Perubahan iklim memicu gelombang panas menjadi semakin sering, semakin intensif dan lama di seluruh dunia. Pada tahun ini panas ekstrem diduga penyebab kematian lebih dari 1.300 jamaah haji, menutup sekolah sekitar 80 juta anak di Afrika dan Asia, dan memicu lonjakan kematian dan sakit di kawasan Sahel.

Menurut Copernicus, setiap bulan sejak Juni 2023 merupakan bulan-bulan terpanas dibandingkan tahun-tahun sebelumnya sejak pencatatan suhu dilakukan tahun 1940.

PBB meminta pemerintah-pemerintah tidak hanya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil yang memicu perubahan iklim. Tapi juga meningkatkan perlindungan pada kelompok paling rentan terhadap suhu ekstrem seperti orang lanjut usia, perempuan hamil dan anak serta pekerja luar ruangan.

Dalam laporannya yang dirilis Kamis (25/7/2024) Organisasi Buruh Internasional (ILO) mengatakan lebih dari 70 persen buruh di seluruh dunia sekitar 2,4 miliar orang menghadapi resiko tinggi panas ekstrem. ILO mengatakan hampir 93 persen tenaga kerja di Afrika dan 84 persen tenaga kerja negara-negara Arab terpapar panas ekstrem.

Panas ekstrem menyebabkan cedera di 23 juta tempat kerja di seluruh dunia. "Kami harus memastikan perlindungan pada pekerja, yang didasari hak-hak asasi manusia," kata Guterres.

Ia juga mendesak negara-negara menerapkan "heatproof" atau anti-panas pada perekonomian dan sektor penting mereka seperti layanan kesehatan dan membangun lingkungan teduh. Rata-rata suhu di kota-kota di seluruh dunia naik dua kali lipat karena urbanisasi dan urban heat island (UHI), fenomena kota jauh lebih panas daripada daerah pedesaan di sekitarnya. Perbedaan suhu ini biasanya lebih terasa pada malam hari daripada siang hari.

Sejumlah peneliti memperkirakan pada tahun 2050 jumlah warga miskin kota yang hidup dalam kondisi panas ekstrem naik 700 persen. Ini pertama kalinya PBB menyerukan aksi untuk mengatasi panas ekstrem.

"Kita memerlukan sinyal kebijakan dan inilah sinyalnya," kata CEO Climate Resilience for All, lembaga nirlaba yang berfokus pada panas ekstrem, Kathy Baughman Mcleod.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat