Siswa mengikuti aksi cap tangan saat deklarasi antiperundungan di Solo, Jawa Tengah, Selasa (2/1/2024). (ilustrasi) | ANTARAFOTO/Maulana Surya.

Opini

Telepontren dan Kemunduran Cita-cita Madrasah Aman dari Kekerasan  

Kerancuan sistem pelaporan bisa berujung viktimisasi berganda.

Oleh KHAERUL UMAM NOER, Dosen Magister Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Jakarta

 

Pada Kamis (18/7), guna menyambut Hari Anak Nasional yang dirayakan setiap 23 Juli, Penasihat Dharma Wanita Persatuan Kementerian Agama RI didampingi plt dirjen Pendidikan Islam meluncurkan aplikasi pelaporan tindak kekerasan di madrasah melalui aplikasi Telepontren, sekaligus pembukaan Peranesia (Pesantren Ramah Anak untuk Indonesia) di Jakarta.

Dalam rilis media, aplikasi pelaporan berbasis Whatsapp, diharapkan menjadi legacy bagi menteri Agama dan jajaran dirjen Pendis Kementerian Agama. Persoalannya adalah, hadirnya model pelaporan kekerasan berbasis WA, alih-alih menjadi legacy yang baik, justru menjadi kemunduran serius dalam upaya mendorong hadirnya pesantren dan madrasah merdeka dari kekerasan.

Aplikasi Telepontren bukan aplikasi baru. Telepontren adalah layanan chat dan call center inovatif berbasis platform Whatsapp, dengan menghubungi nomor 082226661854, maka akan langsung dijawab oleh sistem yang langsung merujuk pada lima menu: informasi umum, pengaduan, bantuan, perizinan, dan permintaan data.

Ketika dipilih pengaduan, maka akan muncul opsi kekerasan, kekerasan seksual, perundungan, umum, live agent, dan menu utama. Ketika memilih opsi kekerasan atau kekerasan seksual atau perundungan, maka akan segera muncul tautan eksternal ke google form. Dan disini titik masalah utamanya. Isian dalam formulir elektronik, ketika diakses pada Ahad (21/7/2024), sangat problematik.

 

Kepentingan utama korban

Isian formulir yang ada berpotensi melanggar prinsip dasar upaya penanganan kekerasan, termasuk kekerasan seksual, bahwa seluruh upaya penanganan kekerasan harus menjadikan kepentingan terbaik, termasuk kerahasiaan, baik korban maupun saksi, sebagai landasan utama.

Dalam formulir, pertanyaan pertama yang muncul adalah nama dan status pengadu. Terma ini aneh, sebab yang biasa digunakan adalah Pelapor. Bahkan formulir mengharuskan pengadu untuk menuliskan NIK dan hasil pindai KTP/Kartu pelajar/KK. Yang lebih aneh, formulir bertanya usia dan agama pengadu. Bahkan pengadu harus juga mengisi sumber media sosial yang dimiliki.

Beranjak ke korban, formulir juga bermasalah. Tidak hanya bertanya tentang nama, namun juga agama, pekerjaan, pendidikan, nomor WA, bahkan harus pula melampirkan KTP korban. Meski di bagian awal formulir disebutkan jika identitas korban tidak diketahui dapat dituliskan TIDAK DIKETAHUI, namun unggah file korban bersifat mandatori.

Isian selanjutnya adalah kronologis. Pengadu harus melaporkan kronologis kejadian, yang meliputi tempat, waktu, pihak yang terlibat, latar belakang masalah, bentuk, dan dampak kekerasan. Isian ini sepenuhnya menjadi domain Pengadu. Tidak ada penjelasan tentang bentuk-bentuk apa saja, atau ukuran dari dampak.

Khusus untuk pelaporan kekerasan seksual, ada tambahan isian tentang lembaga yang pernah mendampingi dan upaya yang sudah dilakukan. Sedangkan untuk pelaporan kekerasan, ada isian tambahan pertanyaan berapa jumlah korban.

Membaca berbagai pertanyaan yang diajukan, jelas bahwa tim developer Dirjen Pendis Kemenag tidak serius memahami tentang penanganan kekerasan, terutama kekerasan seksual. Abaikan soal pertanyaan absurd soal agama dan pekerjaan, mari fokus pada satu aspek fundamental: kerahasiaan. Jika kita membaca UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Permendikbudristek 46/2023, penanganan kekerasan dilakukan dengan sangat hati-hati.

Di Permendikbud misalnya, urusan penanganan dilakukan oleh Tim Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan (PPKSP). Tahun lalu ketika Tim UMJ dan Perguruan Attaqwa menyusun SOP penerimaan laporan, setelah berdiskusi panjang dengan ahli hukum dan psikolog, kami sepakat bahwa untuk persoalan kerahasiaan, maka meminta data kependudukan Pelapor dan Korban tidak boleh dilakukan, dan ini di level madrasah dan sekolah. Maka menjadi aneh jika selevel kementerian harus meminta data kependudukan pengadu dan korban.

Di sisi lain, pengisian formulir ini jelas mengabaikan kepentingan terbaik korban. Bagaimana jika korban tidak mau melaporkan kasusnya, namun misalnya ada yang mengetahui dan kebetulan memiliki kontak dan identitas korban (KTP/KK/Kartu Pelajar) dan tetap melaporkan tindak kekerasan. Bukankah tindakan pelaporan yang dilakukan justru menambah beban dan bahaya bagi korban?

Salah satu prinsip utama penanganan adalah persetujuan atau consent. Persetujuan bukan hanya soal persetujuan ketika tindak kekerasan terjadi. Misalnya ada pihak yang ingin mencium saya, lalu saya setuju, maka hal itu dianggap bukan kekerasan seksual. Namun juga persetujuan pasca tindak kekerasan, dalam hal ini saya sebagai korban, bahwa tindak kekerasan yang saya alami akan dilaporkan, dan saya memberikan persetujuan atas pelaporan tersebut.

Pengisian formulir ini diasumsikan dilakukan dalam dua kondisi: Pertama, pelapor adalah juga korban yang dengan sukarela melaporkan terjadinya kekerasan. Kedua, saksi atau pihak yang mengetahui terjadinya kekerasan sudah memperoleh persetujuan dari korban untuk melaporkan kasus. Dalam pengalaman kami mendampingi korban kekerasan, kedua asumsi ini seringkali tidak pernah terjadi. Asumsi bahwa ketika formulir ini diisi dan di-submit, maka dipastikan korban sudah mengetahui dan menyetujui, adalah asumsi yang fatal dan berbahaya.

 
Di sisi lain, pengisian formulir ini jelas mengabaikan kepentingan terbaik korban.
   

 

Potensi viktimisasi berganda

Potensi lainnya terletak pada viktimisasi sekunder bahkan viktimisasi berganda. Titik persoalannya adalah, siapa yang sesungguhnya memegang laporan ini? Kita andaikan bahwa semua laporan via Telepontren dikumpulkan di Dirjen Pendis. Lalu apa? Apakah Dirjen Pendis akan langsung menanggapi laporan atau menyerahkan laporan ke pihak Kementerian Agama di level Kabupaten/Kota atau menyerahkan langsung ke lembaga tempat korban berada?

Apapun pilihannya, potensi yang akan terjadi adalah viktimisasi sekunder. Secara sederhana, viktimisasi sekunder dapat terjadi ketika korban menderita kerugian lebih lanjut bukan sebagai akibat langsung dari tindak kekerasan namun karena cara institusi dan individu lain menangani korban. Tidak ada jaminan sama sekali bahwa pihak yang menindaklanjuti laporan akan melakukan penanganan yang sesuai dengan apa yang dibutuhkan korban.

Siapa yang dapat menjamin, misalnya, korban tiba-tiba dipanggil oleh Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota atau mungkin oleh Kepala Madrasah, dan tiba-tiba, dan dapat dipastikan terjadi, akan langsung dicecar tentang tindak kekerasan yang dialaminya. Bayangkan jika korban kekerasan seksual, sama sekali tidak mengetahui jika kasusnya dilaporkan, tiba-tiba dipanggil ke ruangan lalu diinterogasi tentang kekerasan seksual yang terjadi. Bayangkan jika korban dan terlapor sama-sama dikonfrontasi di tempat dan waktu yang sama.

Sebagian orang mungkin membayangkan saya terlalu imajinatif, namun yakinlah, dari pengalaman, hal tersebut adalah sangat mungkin terjadi di lapangan. Tidak semua orang memahami bagaimana memberikan dukungan psikologis awal bagi korban, bahwa kekerasan menghasilkan trauma berkepanjangan.

Dalam pengalaman pendampingan, pihak pesantren dan madrasah, dengan alasan keterbatasan personalia dan keterdesakan waktu, seringkali memilih jalan pintas dan tanpa tedeng aling-aling bertanya kepada korban. Apakah betul ustaz A mencium kamu, apakah betul santri B memukul kamu, apakah kamu tahu siapa saja korban santri C, dan lain sebagainya. Skenarionya nyaris tanpa batas. Bahkan untuk isian kekerasan, si pengisi formulir dapat menuliskan berapa jumlah korban, yang artinya membuka lebih luas pintu interogasi yang acapkali melupakan fakta bahwa yang ditanya adalah korban.

Dalam hal korban betul secara sadar mengisi formulir atau mengizinkan pihak lain melaporkan atas namanya, maka ada kemungkinan korban telah bersiap untuk menghadapi hal terburuk yang akan terjadi di depan. Namun seringkali faktanya tidak demikian. Jika korban mendadak dipanggil, diminta untuk menceritakan detail, bahkan hingga dikonfrontir, maka yang terjadi adalah viktimisasi berganda. Korban menjadi korban untuk kedua kalinya.

Potensi lain yang terabaikan justru terletak pada level pesantren dan madrasah. Bayangkan jika Kepala Kantor Kemenag Kabupaten/Kota ditegur karena ada laporan di daerahnya. Yang biasanya terjadi, teguran akan langsung diteruskan ke pihak pesantren dan madrasah.

Sekarang bayangkan jika seorang Pimpinan Pondok atau Kepala Madrasah tiba-tiba mendapat teguran bahwa pesantren atau madrasah yang dipimpinnya mendapat laporan langsung di sistem Telepontren, bahwa ada yang melaporkan lembaganya, pengadunya si A, korbannya si B, pelakunya si C. Kita semua bisa membayangkan kepanikan dan kemarahan yang terjadi.

Apa yang berikutnya terjadi seringkali bergantung pada posisi masing-masing. Bayangkan jika korbannya adalah santri. Tiba-tiba dipanggil, lalu muncul rumor, lalu tiba-tiba anak tersebut berhenti atau diberhentikan. Padahal dia sama sekali tidak melapor atau tidak mengetahui bahwa kasusnya dilaporkan. Tidakkah negara punya campur tangan atas putusnya pendidikan santri tersebut? Atau bayangkan jika korbannya adalah guru. Ketika guru tersebut diberhentikan, bagaimana dengan keluarganya?

 
Siapa yang dapat menjamin bahwa laporan yang disampaikan itu benar adanya.
   

 

Laporan Palsu

Muara dari segala keruwetan ini ada pada satu pertanyaan: siapa yang dapat menjamin bahwa laporan yang disampaikan itu benar adanya. Memang ada pernyataan bahwa laporan ini dibuat dengan benar dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun perlu diingat, pelapor dan pihak kementerian sama sekali tidak pernah bertemu langsung. Komunikasi hanya bersifat satu arah. Sepanjang saya memiliki nomor kontak dan KTP siapapun, saya dapat melaporkan orang tersebut sebagai pengadu atau korban.

Di sini titik nadir dari sistem pengadua berbasis WA. Satu-satunya perlindungan absolut adalah ketika pihak ketiga, yang bukan pengadu dan bukan korban, melaporkan, memberikan data, mungkin saja mengarang cerita, lalu bisa dengan duduk manis melihat drama yang akan terjadi kemudian. Saya tidak pernah memberikan nomor WA saya. Saya mengisi nomor WA si A sebagai pengadu, nomor WA si B sebagai korban, dan penyebut si C sebagai pelaku. Saya aman, sedangkan si A, si B, dan si C yang mungkin saja tidak tahu apa-apa tiba-tiba dipanggil untuk ditanya lebih lanjut.

Belum diketahui dengan pasti, bagaimana pihak Telepontren melakukan verifikasi laporan. Hingga saat ini belum ada petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknisnya. Belum jelas juga siapa pihak yang paling bertanggung jawab atas sistem ini, dalam hal terjadi kebocoran data. Yang juga belum jelas adalah bagaimana tindak lanjutnya. Apakah akan diteruskan ke level Kantor Kemenag, ke sekolah, atau mungkin ke kepolisian.

Dalam konteks ini, saya lebih mendukung sistem yang dibangun oleh Kemendikbudristek, bukan dengan potong kompas, langsung lapor ke Kementerian, namun membangun sistem di level satuan pendidikan. Sistem ini krusial, sebab tidak hanya merupakan saringan awal bagi pencegahan dan penanganan kekerasan, sebab pelapor apakah itu korban atau saksi, dapat melaporkan langsung peristiwa kekerasan.

Pihak yang menerima laporan juga dapat secara langsung melakukan asesmen kebutuhan pelapor. Apakah laporan dilakukan satu kali, atau lebih, sangat bergantung pada kebutuhan dan situasi yang muncul. Laporan juga dapat diberikan dengan lebih detail dan cermat. Dengan perekaman misalnya, mencegah korban untuk bercerita lagi dan lagi, yang akan semakin menambah trauma psikologisnya.

Sistem pelaporan berbasis WA sebagaimana digadang oleh Kementerian Agama mungkin dilandasi sebuah niat baik untuk membuat sistem jalan pintas pelaporan. Namun jalan pintas tidak selalu merupakan jawabannya. Kekerasan, termasuk kekerasan seksual, adalah persoalan serius di seluruh lembaga pendidikan. Dibutuhkan pendekatan yang lebih humanis dan memiliki perspektif korban, dan sayangnya pendekatan dan perspektif ini gagal muncul dalam isian formulirnya.

Padahal, mengutip sambutan Dirjen Pendis, bahwa “aplikasi ini diharapkan dapat menjadi wahana yang cepat tanggap dalam merespon kasus perundungan, sekaligus media berbagi praktik baik di lingkungan pesantren dalam mencegah perundungan anak,” sayangnya masih jauh panggang dari api. Alih-alih mendekat, sistem pelaporan Telepontren adalah kemunduran dari upaya bersama membangun madrasah bebas dari kekerasan.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat