Seorang turis berjalan di Tembok Besar Badaling, di Beijing, Tiongkok, 26 Maret 2020, | EPA-EFE/ROMAN PILIPEY

Kronik

Sambil Berpuasa Mendaki Tembok Besar Cina

Oleh KAMRAN DIKARMA, dari Beijing

Wartawan Republika Kamran Dikarma diundang dalam program  mengikuti program China International Press Center (CIPC) 2024, untuk menghabiskan waktu di sejumlah tempat di Negeri Tirai Bambu. Ia juga menuliskan hubungan peradaban Islam dengan negeri tersebut. Berikut liputannya.

Akhirnya saya menginjakkan kaki di Tembok Besar Cina, salah satu mahakarya arsitektur yang sudah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia oleh UNESCO. Pengalaman perdana ke situs bersejarah itu menarik karena berlangsung ketika Ramadhan. 

Bagian dari Tembok Besar Cina yang saya kunjungi adalah Juyongguan, yakni yang paling terdekat dari Lapangan Tiananmen, Beijing. Jaraknya dari pusat kota Beijing sekitar 60 kilometer. Pada 22 Maret 2024, saya bersama para peserta program China International Press Center (CIPC) diajak berkunjung ke Juyongguan. Program CIPC diikuti 100-an jurnalis dari lebih 90 negara. 

Saya dan para jurnalis peserta CIPC tinggal di Jianguomen Diplomatic Residence Compound (DRC) di Distrik Chaoyang. Pada hari ketika kunjungan ke Juyongguan dilakukan, kami berkumpul sejak pukul 07.30 pagi. Sebelum berangkat, tim panitia program CIPC membagikan sarapan berupa roti dan air mineral yang sudah dikemas kepada para peserta. Saya turut ditawari. Tapi saya bilang kepada mereka sedang berpuasa. 

Di sela-sela momen tersebut, jurnalis asal Pakistan, Salam Khan Jogezai, tiba dan bergabung dengan para jurnalis dari grup Asia Pasifik yang sudah datang terlebih dulu. Salam berusia 44 tahun, salah satu peserta CIPC paling senior. Saya pun menyapa Salam begitu dia tiba. “Apa Anda berpuasa hari ini?” tanya saya sambil tertawa kepada Salam. 

Salam dengan ramah menjawab, “Tentu. Tidak perlu khawatir, kita pasti bisa (berpuasa)”. Pertanyaan soal puasa kepada Salam memang sengaja saya lontarkan. Sebab sehari sebelumnya, pihak panitia CIPC mengimbau para peserta untuk membawa makanan ringan dan minuman saat berkunjung ke Juyongguan. Perbekalan itu disebut akan sangat berguna bagi para jurnalis yang berminat mendaki sisi  pegunungan barat Juyongguan.   

photo
Tembok Besar bagian Juyongguan terlihat di lereng bukit menjelang Olimpiade Musim Dingin 2022, Senin, 31 Januari 2022, di pinggiran kota Beijing. - (AP/Mark Schiefelbein)

Saat tengah berbincang dengan Salam, jurnalis Muslim lainnya asal Afghanistan, Hasib Noor Mal, menghampiri kami dan melontarkan pertanyaan yang sama seperti saya. Saya dan Salam kompak menjawab berpuasa. Hasib, yang usianya tampaknya 30-an akhir, tertawa seraya menyatakan bahwa dirinya juga berpuasa. 

Begitu tiba di Juyongguan, sebelum mendaki Tembok Besar, para jurnalis peserta CIPC diajak berkeliling ke Museum Hu Chao Xing Shu yang berada di area bawah. Tur museum bertujuan memberi informasi ringkas tentang Juyongguan Pass. Juyongguan adalah benteng terbesar di sepanjang Tembok Besar Cina. Ia dijuluki "The First Strong Pass Under Heaven”. 

Juyongguan terletak di lembah yang dikelilingi pegunungan di kedua sisinya. Ia pertama kali dibangun pada Periode Musim Semi dan Musim Gugur (770-476 SM) serta Periode Negara-Negara Berperang (476-221 SM) dengan Negara Bagian Yan sebagai benteng. Juyongguan dihubungkan dengan Tembok Besar Cina pada Dinasti Selatan dan Utara (386-589 Masehi). 

Zhu Yuanzhang, kaisar pertama Dinasti Ming (1368-1644), memerintahkan pembangunan kembali jalur tersebut untuk melindungi perbatasan utara dari invasi Mongol. Jalur yang masih ada dibangun kemudian.

Jarak antara puncak gunung sebelah timur dan barat Juyongguan adalah 1.150 meter, membentuk lingkaran tertutup. Gunung Layar Cui setinggi 150 meter berada di sisi timur dan memiliki panjang tembok 1.500 meter. Di bagian barat terdapat Gunung Kabinet Emas dengan tinggi 351 meter dan panjang tembok 2.100 meter. Kelokan sungai yang menghubungkan kedua gunung tersebut memiliki tambahan tembok sepanjang 57 meter. Pembangunan tembok dua lapis di pegunungan terjal tersebut menggambarkan betapa penting dan strategisnya benteng Juyongguan.

photo
Pemandangan Tembok Besar Tiongkok di Beijing, Tiongkok, 25 Januari 2023. - (EPA-EFE/MARK R. CRISTINO)

Juyongguan memiliki dua gerbang di sisi selatan dan utara. Gerbang selatan bernama Nan Guan. Sementara gerbang utara bernama Juyongguan. Dua menara pengawas tinggi dibangun di setiap gerbang. Lebar dan tinggi Tembok Besar Juyongguan bervariasi tergantung medan. Titik terlebar  tembok mencapai 16,7 meter dan tersempit sekitar 1,2 meter. 

Tembok bagian pegunungan barat sekitar 370 meter lebih tinggi dari bagian sungai dan memiliki tujuh menara pengawas (menara dihitung dari angka 7 hingga 14).  Sedangkan gunung timur memiliki 1-6 menara pengawas. Menara 12 menjadi titik tertinggi Juyongguan sekaligus merupakan menara yang hendak saya dan para jurnalis peserta CIPC kunjungi. 

Setelah memperoleh informasi ringkas tentang Juyongguan, tim panitia mengajak para jurnalis peserta CIPC mendaki sisi barat Juyongguan. Pada momen itu, saya sempat bertanya kepada jurnalis Muslim perempuan asal Malaysia, Radziah, apakah dia akan ikut naik. Radziah, yang juga sedang berpuasa, memilih menunggu di bawah bersama beberapa jurnalis dan tim panitia CIPC. Hanya ada satu perwakilan panitia CIPC yang akan mendampingi para jurnalis mendaki pegunungan barat Juyongguan.  

Seperti saya sebutkan sebelumnya, target pendakian kami di sisi barat Juyongguan adalah Menara 12 yang terletak paling tinggi. Di titik awal perjalanan, medan belum berupa anak tangga, tapi masih hamparan jalan batu biasa dan cukup landai. Rentang antara sisi kiri dan kanan tembok juga cukup lebar. Namun kurang dari lima menit setelah berjalan, medan langsung berubah menjadi pendakian anak tangga. 

Anak tangga di sisi bawah masih belum begitu curam. Namun semakin didaki, ia semakin terjal. Rentang tembok pun kian sempit. Beruntung terdapat railing besi di hampir sepanjang jalur pendakian. Hal itu cukup membantu para pengunjung Juyongguan yang hendak mendaki ke Menara 12. 

Setelah beberapa waktu berselang, kelompok jurnalis CIPC yang mendaki mulai terpencar. Hal itu karena terdapat sebagian yang memutuskan berhenti sejenak untuk beristirahat. Sementara yang lainnya tetap melanjutkan pendakian secara perlahan-lahan. 

Saya juga sesekali berhenti karena terengah-engah. Tapi karena ini merupakan pengalaman perdana ke Tembok Besar Cina, ada dorongan untuk tetap melanjutkan pendakian hingga ke puncak. Meski matahari pagi menjelang siang cukup terik, beruntung suhu Beijing masih cukup sejuk, yakni sekitar 18-19 derajat Celcius.

Saya akhirnya memutuskan beristirahat sejenak di sebuah area yang cukup lebar sebelum Menara 11. Di area tersebut terdapat bangunan tradisional Cina yang dialihfungsikan sebagai toilet umum. Hanya ada empat jurnalis CIPC yang tiba paling pertama di area tersebut. Selain saya, terdapat jurnalis asal Bolivia, Hongaria, dan Mongolia. 

Pada momen itu, jurnalis asal Hongaria sempat menawarkan saya air mineral miliknya. Namun saya dengan sopan menolaknya dan menyampaikan padanya bahwa saya sedang berpuasa Ramadhan. “Oh, maafkan saya. Saya tidak tahu kalau Anda seorang Muslim,” katanya. "Tidak apa-apa," jawab saya sambil tersenyum.  Kami pun akhirnya berbincang-bincang. 

Karena sudah lebih dari setengah jam beristirahat, saya pikir tidak akan ada lagi jurnalis peserta CIPC yang bakal tiba di area sebelum Menara 11 tersebut. Namun dugaan saya keliru. Tak lama berselang, satu per satu jurnalis, dengan napas terengah-engah, tiba dan ikut beristirahat di sana. 

Wajah saya juga semringah ketika melihat Salam Khan Jogezai, Hasib Noor Mal, dan jurnalis Muslim lainnya asal Pakistan, yakni Umair, tiba di area tersebut. Entah kenapa, saya tiba-tiba bertepuk tangan saat menyambut kedatangan mereka. “Apa saya bilang Kamran, kita bisa mendaki sambil berpuasa,” ujar Salam Khan kepada saya sambil tertawa diiringi napas yang terengah. 

Kami berempat akhirnya berbincang sejenak dan menanyakan kondisi masing-masing. Pada momen itu juga saya tahu bahwa kami berempat akan melanjutkan pendakian sampai ke Menara 12 sambil tetap berpuasa. Sungguh pengalaman menarik. 

Jarak dari area tempat kami beristirahat ke Menara 12 mungkin antara 70 atau 80 meter. Namun seperti sepanjang perjalanan dari awal, trek anak tangganya berliku dan cukup terjal. 

Setelah 15 atau 20 menit pendakian, saya akhirnya tiba di Menara 12. Meski kaki terasa pegal dan paha berdenyut-denyut, tapi pemandangan dari atas sangat menawan. Bukit-bukit dan pegunungan berbatu terhampar sejauh mata memandang. Dari Menara 12, kita juga bisa melihat bentangan Tembok Besar Cina Juyongguan sisi timur. Semuanya terasa megah. 

Terdapat hampir 30 jurnalis peserta CIPC yang akhirnya bisa mencapai Menara 12. Setelah mengambil video dan foto untuk dokumentasi pribadi, kami pun mengabadikan momen dengan berfoto bersama-sama. Kami meminta tolong seorang pengunjung untuk memfoto kami. Semua sangat ceria. Karena sama seperti saya, ini menjadi pengalaman perdana mereka berkunjung ke Tembok Besar Cina. 

Waktu menunjukkan pukul sekitar setengah satu siang saat kami hendak turun dari Menara 12. Perjalanan turun juga cukup memakan tenaga karena kita harus ekstra hati-hati. Jika salah melangkah di medan anak tangga yang curam tersebut, insiden fatal sangat bisa terjadi. 

Singkat cerita, ketika sudah berada di bus dalam perjalanan pulang, tim panitia CIPC mengajak para jurnalis makan siang bersama di sebuah restoran yang berada persis di sebelah kompleks apartemen tempat kami tinggal. Tentu semua peserta sangat menyambut hal itu. Kami semua memang kelelahan. 

Kepada salah seorang panitia CIPC saya meminta agar makanan saya dibungkus untuk dibawa pulang. Salam Khan, Hasib Noor, Umair, termasuk Radziah juga menginginkan makanan mereka dibungkus untuk disantap setelah berbuka. Panitia CIPC tentu menyanggupi permintaan kami.

Ketika berada restoran, saya duduk sendiri di meja. Saat sedang menunggu makanan kami disiapkan, saya sempat berpapasan pandangan dengan Salam Khan yang duduk di meja seberang. Semacam kebetulan, kami tersenyum dan saling memberikan gestur jempol. Mungkin kami berdua sama-sama langsung mengingat pengalaman mendaki Tembok Besar Cina yang baru saja berlalu.

Perjalanan dan pendakian ke Menara 12 Juyongguan sudah tentu akan terpatri dalam ingatan. Sebuah pengalaman luar biasa bisa mendaki Tembok Besar Cina sambil berpuasa.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat