Sejumlah Bhikkhu Thudong mengikuti doa bersama di serambi Masjid Baiturrohmah Bengkal, Kranggan, Temanggung, Jawa Tengah, Ahad (19/5/2024). | ANTARA FOTO/Anis Efizudin

Opini

Memperkuat Akar Struktural Moderasi Beragama

Moderasi beragama sebagai realitas ide secara nyata dihidupkan dan bertahan selama berabad-abad.

Oleh HASAN SADELI, pegiat moderasi beragama, lulusan Magister Ilmu Sejarah Universitas Indonesia

Grand Syekh Universitas Al-Azhar Prof Dr Ahmed Al Tayeb melakukan kunjungan ke Indonesia pada Senin (8/7/2024). Kedatangan Grand Syekh ke Tanah Air disambut langsung oleh Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas (Gusmen). Selama kurang lebih empat hari, Grand Syekh Al-Azhar akan berada di Indonesia untuk menjalankan beberapa agenda penting. Selain berjumpa Presiden Joko Widodo dan melakukan dialog dengan tokoh lintas agama, Grand Syekh juga mengisi kuliah umum tentang moderasi beragama di UIN Syarif Hidayatullah.

Prinsip moderasi beragama (wasathiyah) memang senantiasa diketengahkan oleh Grand Syekh dalam setiap kunjungannya ke Indonesia, setidaknya dalam satu dekade terakhir. Mengingat fokus Al-Azhar dalam memperluas pemahaman tentang moderasi beragama juga sejalan dengan fokus Kemenag sebagai salah satu mandatori diseminasi moderasi beragama di Indonesia. Karena itulah Gusmen menyebutkan ini sebagai kunjungan penuh makna dan menginspirasi terhadap pemahaman, pengamalan dan pengalaman moderasi beragama.  

Moderasi beragama sebagai suatu cara pandang, menjadi nilai dasar yang memungkinkan terkoneksinya berbagai unsur yang berkepentingan dalam mewujudkan harmoni sosial, sekaligus mengembangkan model pendekatan di tengah heterogenitas dan perubahan zaman. Meskipun dalam sudut pandang istilah, moderasi beragama dianggap baru oleh sebagian pihak terutama sejarawan, namun dalam tataran substansi nilai, moderasi beragama adjektif dengan tradisi lama nusantara.

 

Moderasi Sebagai Identitas

Mengutip pendapat Dr Wawan Djunaedi, MA (kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama 2021-2024) yang menjelaskan pemaknaan moderasi beragama sebagai integrasi cara pandang tentang realitas serta idealitas karakter nenek moyang di nusantara sejak lama. Sehingga tidak sulit bagi siapapun untuk mengidentifikasi konsep moderasi sebagai suatu sistem nilai yang menjadi warisan melekat leluhur bangsa.

Lebih lanjut, Wawan Djunaedi menjelaskan bahwa terdapat setidaknya empat ciri identik yang menjadi manifestasi konsep moderasi beragama, baik dalam tataran ide maupun dalam praktek. Keempat ciri itu antara lain, pertama umat beragama yang memiliki komitmen kebangsaan (cinta tanah air), kemudian umat beragama yang memiliki keberpihakan terhadap nilai toleransi, lalu anti terhadap segala bentuk praktek kekerasan dan memiliki kesediaan untuk menjaga serta menghargai tradisi-budayanya.

Ihwal moderasi sebagai identitas beserta keempat ciri identik sebagaimana diuraikan tadi, keduanya sama-sama menunjukan kohesi sebagai indikator stabilitas sosial di tengah keragaman suku, bahasa, budaya serta agama di Indonesia. Dengan lain perkataan bahwa moderasi seperti yang dijelaskan oleh Wawan Djunaedi bisa sangat penting difahami sebagai warisan personalitas paling genial yang telah diajarkan secara turun temurun.

 
Kita dapat mengasumsikan bagaimana moderasi beragama sebagai realitas ide secara nyata dihidupkan dan bertahan selama berabad-abad lamanya.
   

Kita dapat mengasumsikan bagaimana moderasi beragama sebagai realitas ide secara nyata dihidupkan dan bertahan selama berabad-abad lamanya. Kita juga bisa melihat moderasi beragama terbukti bisa dipertahankan setelah melalui perjalanan panjang yang merentang sejak masa peralihan Hindu-Budha ke Islam, masa kolonial, hingga lahirnya negara Indonesia. Bentuk paling nyata dari terwariskannya nilai moderasi ini ialah bahwa tidak ada sepenggal pun bahasa daerah dan tradisi budaya leluhur di Nusantara yang mungkin diantaranya tidak memiliki hubungan langsung dengan agama kemudian hilang atau dihilangkan.  

Hal ini juga berlaku terhadap terlestarikannya dimensi budaya material (material culture). Tidak ada pengrusakan (bermotif sentimen agama) terhadap tempat keagamaan, baik yang masih berfungsi sebagai tempat ibadah maupun yang telah beralih status menjadi warisan cagar budaya. Candi Borobudur, Prambanan, Gedong Songo, Gereja Sion, Gereja Katedral, Gereja Tugu, Kepanjen dan situs keagamaan lainnya, hingga kini tetap megah berdiri.

Di antara budaya material tersebut, ada yang usianya melampaui angka 500 atau bahkan 1000 tahun. Artinya selama lebih dari satu milenium lamanya, manusia Indonesia berkawan karib dengan perbedaan dan menerima berbagai kebudayaan yang ada sebagai bagian penting identitas bangsa tanpa melahirkan sedikitpun perasaan risau.  

Satu hal yang lumayan penting dijelaskan bahwa keberadaan benda atau bangunan bercorak agama yang telah ada selama ribuan tahun itu tidak mungkin bertahan tanpa penjagaan yang lahir dari kesadaran toleransi. Bayangkan misalnya jika pemahaman agama antara kelompok masyarakat kita mengalami penyempitan. Maka kasus pengrusakan terhadap situs budaya bercorak keagamaan bisa saja terjadi seperti yang menimpa patung Budha di Lembah Bamiyan (Afghanistan) yang dibombardir granat karena dianggap patung berhala, atau penghancuran situs arkeologi Hatra (Suriah), dan berbagai situs keagamaan lain di dunia yang rata dengan tanah.

 

Ancaman

Kendati dalam beberapa contoh historis tadi kita dapat  berbangga atas pencapaian toleransi sebagai bagian penting nilai moderasi beragama, namun dalam beberapa kasus terkini kita diingatkan agar tidak terlena, dan bangun untuk menggandakan kewaspadaan terhadap berbagai ancaman dari perilaku intoleran dengan ragam bentuknya.

Dalam catatan Direktorat Sosbud Baintelkam Polri menyebutkan bahwa dalam kurun waktu antara tahun 2019-2023 telah terjadi aksi intoleran sebanyak 65 kasus dengan rincian 7 kasus di 2019, 14 kasus di 2020, 11 kasus di 2021, 3 kasus di 2022, dan melonjak menjadi 30 kasus di 2023. Sementara dalam tiga bulan terakhir saja di tahun 2024,  terdapat 6 praktek persekusi terhadap kegiatan peribadatan, salah satunya kejadian kegiatan peribadatan Rosario di Tangerang Selatan.  Total selama lima tahun terakhir telah terjadi lebih dari 70 kasus intoleran di berbagai daerah di Indonesia.

Angka tersebut tentu terlalu besar untuk ukuran Indonesia yang dikenal sebagai bangsa toleran dan religius. Akan menjadi aib bagi keberagamaan kita bila praktik-praktek intoleran hanya dipandang sebagai bilangan statistik. Terlebih Indonesia baru saja menyabet predikat sebagai salah satu negara paling religius dunia di tahun 2024 versi CEO Magazine. Apalagi aspek religiusitas sebagaimana riset terbaru itu juga mencakup kesadaran penghargaan terhadap aspirasi berbagai keagamaan.  

 

Memperkuat Relasi Struktural

Mungkin tidak sedikit diantara pengamat yang melihat praktik intoleran sebagai peristiwa bersifat kasuistik. Namun lewat kacamata strukturalis, kita segera melihat bahwa unsur-unsur budaya yang mencakup persepsi serta perilaku masyarakat haruslah dipahami hubungannya dengan sistem sosial yang lebih luas. Pendekatan ini menekankan pengungkapan tentang dasar dari semua hal yang dilakukan serta dipikirkan individu maupun kelompok.  

Hal ini serupa dengan pandangan Simon Blackburn tentang strukturalisme sebagai suatu keyakinan bahwa fenomena atau peristiwa yang melingkupi kehidupan manusia tidak akan dimengerti sepenuhnya tanpa memahami konsep keterkaitan (hubungan struktur). Atau lebih jauh sebagaimana diterangkan sosiolog terkemuka Talcott Parsons lewat pendekatan struktural fungsional.

Konsep integration sebagaimana dijelaskan Parsons menuntut adanya budaya saling mengerti, menghormati serta mengakui apirasi/hak orang lain dan menggaristebalkan perilaku intoleran sebagai ancaman yang harus dijauhkan dari sistem sosial. Parsons tidak menjelaskan secara rinci tentang sistem nilai semacam apa yang diperlukan dalam mengharmoniskan struktur sosial pada hierarkis tertinggi.   

Sebaliknya, kita dapat meletakan moderasi beragama sebagai kaidah abstrak yang mempengaruhi cara pandang serta memiliki koherensi dalam relasi struktural yang mengakar di masyarakat kita. Dalam ranah aktualisasi, kaidah abstrak itu perlu berdiaspora dalam sistem sosial maupun pemerintahan lewat peran seluruh unsur tanpa terkecuali. Karena moderasi beragama sebagai suatu konsep tidak  bekerja untuk membuat penunggalan dalam kemajemukan (craving for unity). Melainkan mempromosikan nilai kesatuan di tengah keragaman dengan tujuan maslahat.

Pemerintah dalam hal ini perlu memberi paket khusus terhadap moderasi beragama sebagai peta jalan jangka panjang. Selain bertujuan merawat kesatuan nasional, moderasi beragama dalam telaah struktural fungsional juga dapat dipergunakan sebagai instrumen evaluatif untuk mengarsir titik-titik yang dianggap memerlukan perbaikan dan sekaligus memantau keseluruhan aktivitas sosial.

Kita tentu tidak menginginkan kasus persekusi bernuansa agama tumbuh subur di negeri yang meletakan toleransi sebagai trademarknya leluhur nusantara. Karena itu, pendekatan struktural dalam diseminasi moderasi beragama pada dasarnya bukanlah pendekatan satu arah yang hanya digawangi pemerintah, melainkan pendekatan yang melibatkan akar identitas sebagai warisan leluhur bangsa serta unsur-unsur penting di masyarakat lewat peran kolaboratif.  

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Praktik Toleransi pada Masa Rasulullah

Rasulullah SAW menunjukkan contoh tentang sikap dan prinsip-prinsip toleransi.

SELENGKAPNYA

Hijrah yang Mengajarkan Toleransi

Kita harus bisa saling menyayangi dan mengasihi karena itu adalah bentuk risalah kenabian.

SELENGKAPNYA

Keteladanan Toleransi dari Dinasti-Dinasti Islam

Toleransi sudah menjadi budaya daulah-daulah Islam di sepanjang sejarah.

SELENGKAPNYA

Memahami Toleransi Sebagai Sunatullah

Nabi Muhammad SAW adalah teladan paripurna dalam segala hal, termasuk bertoleransi.

SELENGKAPNYA