Sejumlah wisatawan mengunjungi bangunan bersejarah di Benteng Durstede, Pulau Saparua, Maluku, Rabu (30/10/2019). | ATIKA FAUZIYYAH/ANTARA FOTO

Kronik

Benteng Duurstede dan Kisah Heroik Pattimura

Berbagai tindakan yang sewenang-wenang telah dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap penduduk setempat.

Pattimura dan kawan-kawan pernah merebut Benteng Duurstude dalam suatu peperangan pada 16 Mei 1817 dan mendudukinya selama tiga bulan.

Kami meluncur ke  Benteng Duurstede. Benteng yang berdiri persis di pinggir pantai ini, berada di pinggir Kota Saparua. Benteng yang dibangun pada 1676 ini justru masih jelas bentuk fisik sebuah benteng.

Benteng ini berada di bukit setinggi 20 kaki dari permukaan laut. Dari atas benteng, pengunjung dapat melihat hampir seluruh Pulau Saparua hingga Pulau Nusa Laut yang berada di sebelah timur Saparua.

Di Benteng Duurstede, masih tampak beberapa pos jaga prajurit di ujung benteng. Sementara di dalam benteng, masih terdapat sisa reruntuhan bangunan, yang diperkirakan bekas ruang kamar, termasuk kamar mandi. Bangunan yang juga masih utuh adalah tempat pertemuan dan penjara.

Begitu menginjakkan kaki di benteng ini, kisah heroik Thomas Matulessy atau dikenal dengan nama Kapitan Pattimura kembali muncul. Bahwa dikisahkan pascaberakhirnya pemerintahan kolonial Inggris pada 1816, Maluku kembali dikuasai Hindia Belanda. Tak terkecuali Pulau Saparua. Salah satu tujuan dibangun Benteng Duurstede yang berada di pinggir pantai adalah agar VOC dapat mengawasi jalur perdagangan di laut.

photo
Sejumlah warga Pulau Saparua beraktivitas di Pelataran Benteng Durstede, Pulau Saparua, Maluku, Rabu (30/10/2019). - (ATIKA FAUZIYYAH/ANTARA FOTO)

Berbagai tindakan yang sewenang-wenang telah dilakukan pemerintah kolonial Belanda terhadap penduduk setempat. Situasi ini menyebabkan aksi perlawan yang dilakukan oleh rakyat Maluku. Puncaknya, pada 1817, rakyat Saparua menunjuk Kapitan Pattimura untuk memimpin perlawan. Walhasil, Benteng Duurstede berhasil direbut dalam sebuah peperangan pada 16 Mei 1817. Peperangan  ini menewaskan Jenderal Van den Berg. Selain Pattimura, tokoh lain yang turut merebut benteng adalah Paulus Tiahahu dan putrinya Christina Martha Tiahahu, Anthoni Reoak, Phillip Lattumahina, Said Perintah, dan beberapa tokoh lain.

Pemerintah Belanda tidak terima kekalahan. Tak heran Belanda mendatangkan pasukan dari Ambon di bawah pimpinan Mayor Beetjes. Sayang, pendaratannya digagalkan oleh penduduk. Dalam aksi tembak-tembakan, Mayor Beetjes tewas. Namun akhirnya, berkat bantuan dari pasukan Inggris dan serangan pasukan Belanda besar-besaran pada malam di paruh November 1817, Pattimura dan tokoh-tokoh lain terdesak masuk hutan dan Benteng Duurstede dikuasai kembali Belanda.

Tepat pada 12 November 1817, Kapitan Pattimura ditangkap. Bersama tiga tokoh lain, ia menjalani hukuman mati di Nieuw Victoria, Ambon. Kini tempat tersebut dikenal dengan nama Benteng Victoria. Tak berapa lama, pada Desember 1817, Paulus Tiahahu juga ditangkap dan menjalani hukuman gantung di Nusalaut. Sementara anaknya, Christina, dibuang ke Pulau Jawa. Selama perjalanan dari Pulau Saparua ke Pulau Jawa, ia melakukan aksi tutup mulut dan mogok makan. Hal tersebut menyebabkan ia sakit dan meninggal dunia dalam pelayaran pada awal Januari 1818.

 

Rumah Pattimura

Setelah melihat Benteng Duurstede, kami menuju sebuah prasasti Pattimura. Prasasti yang berada di pinggir Pantai Waisisi ini  diresmikan pada 14 Mei 1997 oleh Panglima Kodam VIII/Trikora, Mayjen TNI Johny J Lumintang. Di prasasti ini terdapat peta strategi Pattimura.

photo
Seorang penari cakalele, berpose ala pahlawan nasional Kapitan Pattimura di atas Benteng Duurstede, saat peringatan hari Pattimura yang ke-196 di Lapangan Merdeka, Kota Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. - (FOTO ANTARA/Embong Salampessy)

Dari monumen ini, kami beranjak ke rumah asli Pattimura di Desa Haria. Rumah bercat warna pink ini berada di tengah-tengah perumahan penduduk. Di teras rumah terdapat tiga bingkai kaca yang berpigura kayu. Bingkai pertama adalah sketsa Pattimura dengan tanda tangan asli.  Lalu bingkai kedua, yakni denah Benteng Duurstede, benteng yang sempat diduduki Pattimura selama tiga bulan. Bingkai terakhir adalah foto patung Pattimura.

Di rumah yang pernah ditempati Pattimura dan kini dirawat oleh keturunan ke-7, di Negeri Haria, kami melihat-lihat sejumlah peninggalan sang kapitan. Di bangunan yang masih didiami Keluarga Matulessy ini, terpajang sejumlah dokumen pemerintah, peta perjuangan Pattimura, dan silsilah keluarga.

Pattimura adalah putra daerah atau anak Negeri Leawaka Amapatti (Haria). Tak banyak yang tahu, Pattimura adalah seorang Muslim. Itu terungkap dalam literatur dan silsilah keluarga. Ketika pemerintahan Inggris berkuasa di Maluku, Thomas Matulessy sempat masuk dinas militer Inggris dan terakhir berpangkat Sersan.  Namun, setelah 18 tahun berkuasa sejak pada 1798. Belanda kembali merebut wilayah Maluku.

Rakyat Maluku mengalami penderitaan sejak Belanda menduduki Maluku. Berbagai bentuk tekanan kerap terjadi. Mulai dari kerja rodi, pemaksaan penyerahan hasil pertanian, dan aneka bentuk tekanan lain. Tak tahan menerima tekanan-tekanan tersebut, akhirnya rakyat Maluku sepakat  memilih Pattimura untuk memimpin perlawanan.  Dan pada 16 Mei 1817, suatu pertempuran yang luar biasa terjadi. Di bawah kepemimpinan Kapitan Pattimura, rakyat Saparua merebut Benteng Duurstede. Tentara Belanda yang ada dalam benteng itu semuanya tewas, termasuk Residen Van den Berg.

photo
Warga membawa lari obor Pattimura yang diambil dari Gunung Saniri Pulau Saparua, saat peringatan Hari Pattimura ke-195, di Kota Ambon, Ambon, Maluku. - (FOTO ANTARA/Jimmy Ayal)

 

Memilih tiang gantung

Di rumah inilah Pattimura akhirnya ditangkap pasukan Belanda. Bersama beberapa anggota pasukannya, ia dibawa ke kota Ambon. Perlawanan sejati ditunjukan padanya. Terbukti, beberapa kali ia dibujuk agar bersedia bekerja sama dengan pemerintah Belanda, tetap selalu ditolaknya. Ia tetap teguh tidak mau berkompromi dengan Belanda. Padahal, jika ia bersedia, pemerintah Belanda bersedia membebaskannya dari hukuman gantung.

Pattimura ternyata lebih memilih gugur di tiang gantungan dibanding hidup bebas sebagai pengkhianat. Setelah diadili di pengadilan kolonial Belanda, Pattimura dijatuhi hukuman gantung. Sehari sebelum eksekusi hukuman gantung dilaksanakan, Belanda masih sempat membujuk Pattimura. Namun, lagi-lagi Pattimura tetap menolak bujukan tersebut. Di depan Benteng Victoria, Ambon pada tanggal 16 Desember 1817, eksekusi pun dilakukan.

Kapitan Pattimura gugur sebagai pahlawan nasional. Keteguhan hatinya yang tidak mau berkompromi terhadap Belanda memberikan pesan pada kita, bahwa jangan sekali-kali pernah menjual kehormatan diri, keluarga, terutama bangsa dan negara ini. Pesan ini seharusnya juga diamalkan oleh para pengelola negara, yakni pemerintah maupun para wakil rakyat.

"Ruangan apa itu, Pak?" tanya saya pada penjaga rumah Pattimura, menunjuk sebuah ruangan di pojok yang tertutup gorden.

"Itu ruang penyimpanan pakaian dan senjata Pattimura," ujar penunggu rumah Pattimura.

photo
Para pemuda Negeri Porto dan Negeri Tuhaha mengarak obor Kapitan Pattimura melewati beberapa negeri di Pulau Saparua, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. - (ANTARA FOTO/Embong Salampessy)

Bapak itu membuka gorden. Di ruang berukuran dua meter persegi tersebut terdapat celana tenun, selempang tenun, dan ikat kepala yang semuanya berwarna merah, yang pernah dikenakan Pattimura saat berjuang melawan Belanda. Semua tersimpan di dalam sebuah lemari kaca berbingkai kayu. Di samping lemari terdapat sejumlah dokumen bercerita tentang perjuangan Pattimura. Menurut pihak keluarga, semua itu diperoleh dari Belanda. 

 

 Perayaan Obor Pattimura

Tiap tahun ada perayaan obor Pattimura. Perayaan ini adalah salah satu tradisi tahunan yang selalu digelar di Saparua dan menjadi daya tarik wisatawan untuk berkunjung ke pulau ini. Perayaan Obor dilaksanakan setiap 15 Mei. Tepat pada tanggal tersebut pada 1817, merupakan hari terakhir perjuangan Pattimura, sebelum dieksekusi pemerintah Belanda di tiang gantungan.

Prosesi perayaan obor itu sendiri kabarnya sangat 'heboh'. Dimulai dari Gunung Saniri-Baileo (rumah adat) Saparua di belakang SD Negeri -lapangan Pattimura dekat Benteng Duurstede -Pantai Waisisil - Pelabuhan Haria - menyeberang ke Pulau Ambon dengan menggunakan kapal Pattimura. Gunung Saniri dan Pantai Waisisil yang dilewati obor adalah tempat pertempuran Pattimura dengan pasukan Belanda.

Di Pulau Ambon, ada sekitar 10 desa yang dilewati oleh obor. Prosesi berlanjut sampai Benteng Victoria di Kota Ambon, yaitu lokasi eksekusi Pattimura. Prosesi berakhir di Pattimura Park di lapangan Mardika.

Disadur dari Harian Republika edisi 6 April 2014 dengan reportase Brillianto K Jaya

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Juwana yang Terlupakan

Meski banyak perubahan, denyut ekonomi masih dapat terlacak di pelabuhan kuno ini.

SELENGKAPNYA

Menelusuri Jejak Si Poci Tanah

Uniknya, poci bekas pakai malah lebih mahal ketimbang yang baru.

SELENGKAPNYA

Perajin Gerabah dari Klampok

Klampok dikenal sebagai sentra industri keramik dan gerabah di Jawa Tengah.

SELENGKAPNYA