Opini
Pemuka Agama, Perubahan Iklim, dan Tantangan Lingkungan
Kesejahteraan, keadilan, kebijakan yang berpihak pada rakyat menjadi kata kunci untuk menyelamatkan sumber daya lingkungan.
Oleh Bustar Maitar
Pendiri dan CEO Yayasan EcoNusa
Perubahan iklim bukanlah sesuatu yang patut diperdebatkan lagi, apakah itu benar adanya atau mitos. Faktanya, krisis iklim terjadi. Isu ini bukan ancaman lagi, melainkan sudah menjadi kenyataan yang sangat berdampak pada seluruh sendi kehidupan yang menghuni bumi.
Berbagai pihak sigap bergerak dengan aksi nyata. Namun, masih ada pula pemimpin dunia dan negara yang masih tenggelam dalam skeptisisme untuk menyangkal isu perubahan iklim sebagai hal substansial yang harus segera ditanggulangi.
Tulisan ini dibuat untuk menyambut positif dideklarasikannya Interfaith Rainforests Initiative (IRI) Indonesia oleh lebih dari 250 pemuka agama dan pemuka adat pada 31 Januari 2020 yang lalu di Jakarta.
Selain itu, mengajak pembaca, pegiat lingkungan, pemerintah, masyarakat umum, bahkan para pemuka agama untuk berefleksi terkait isu lingkungan, perubahan iklim, dan kehutanan.
Ada beberapa momen penting yang menunjukkan persatuan sikap pemuka lintas agama untuk bergerak menyelamatkan lingkungan. Indonesia sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, telah mengeluarkan fatwa penting terkait lingkungan.
Fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Mei 2011, mengharamkan pertambangan yang destruktif.
Artinya, pertambangan yang merusak ekosistem darat dan laut, menyebabkan polusi udara dan air, merusak kesehatan, menghancurkan keragaman hayati, dan semua hal yang mengakibatkan kemiskinan masyarakat sekitar dilarang dan dianggap haram dalam ajaran Islam.
Di Istanbul, Turki, para pemimpin dan pakar Islam dari 20 negara berkumpul untuk mengajak 1,6 miliar Muslim di seluruh dunia meninggalkan bahan bakar fosil yang menyebabkan emisi gas rumah kaca dan menggunakan energi terbarukan pada 2050.
Oleh harian Inggris, The Guardian, seruan yang dibuat pada Agustus 2005 ini, dijuluki sebagai perjuangan spiritual melawan perubahan iklim (Neslen, 2015).
Deklarasi Istanbul tentang perubahan iklim ini berangkat dari ancaman bahwa perubahan iklim akan menyebabkan bumi menemukan titik keseimbangannya sendiri sehingga kehidupan akan terancam.
Deklarasi ini juga sebagai tindak lanjut dari keluarnya surat Ensiklik Paus Fransiskus. Sebelumnya, pemimpin tertinggi umat Katolik sedunia, Paus Fransiskus, mengeluarkan Ensiklik Laudato Si (Pujian Bagi-Mu) soal seruan untuk merawat rumah kita bersama, bumi.
Ensiklik ini dikeluarkan pada Mei 2005. Menurut Fransiskus, kehancuran lingkungan dipicu kemiskinan global, ketidakadilan, dan pemujaan konsumerisme. Kehancuran lingkungan menyebabkan perubahan iklim, ancaman terbesar bagi kehidupan di bumi.
Dalam Laudato Si, dengan tegas Paus Fransiskus menegaskan, "Dalam ajaran kitab suci tidak ada tempat bagi paham antroposentrisme dengan tiraninya". Alam telah dieksploitasi tanpa memperhatikan hak hidup.
Alam hanya dianggap sebagai pemuas konsumsi dan kenikmatan sesaat. Bisnis yang dijiwai budaya konsumerisme dan hedonisme hanya dipenuhi keserakahan untuk mengambil keuntungan tanpa mempertimbangkan sumber daya untuk masa depan.
Pada Juni 2017, para pemuka agama Kristen, Katolik, Islam, Yahudi, Budhha, Hindu, dan Tao bersama masyarakat adat dari lima negara tropis berkumpul di Oslo, Norwegia.
Mereka mengangkat hak masyarakat adat sebagai penjaga hutan sekaligus mencetuskan gagasan untuk membangun prakarsa para pemuka lintas agama untuk menyelamatkan hutan dan ekosistemnya.
Maka terbentuklah IRI atau Prakarsa Lintas Agama untuk Hutan Tropis. Di Indonesia, prakarsa ini dikuatkan lagi dengan pembentukan Dewan Penasihat IRI, yang beranggotakan organisasi keagamaan, LSM, donor, badan dunia, dan akademisi.
Momentum untuk beraksi
Momen-momen itu menegaskan perjuangan spiritual dan seruan moral para pemuka agama di dunia sejak 14 tahun silam. Inilah momentum untuk mengingat dan mencerna kembali seruan kaum religius tersebut sehingga menjadi muruah penggerak aksi penyelamatan lingkungan dan sumber daya alam yang tersisa.
Paus Fransiskus mengajak semua orang melakukan hal kecil dalam hidup sehari-hari agar orang punya kepedulian terhadap semua makluk hidup. Gerakan kecil itu akan membangun strategi yang lebih besar untuk menghentikan degradasi lingkungan.
Membangun budaya peduli, mendidik orang bertanggung jawab terhadap lingkungan akan memengaruhi dunia. Dalam Laudato Si, Paus mengajak semua orang menyadari tentang ekologi dan keadilan sosial dengan mendengarkan suara tangisan bumi dan jeritan orang miskin karena ketidakadilan.
Ekologi yang terjaga dan sumber daya yang terdistribusi dengan baik akan menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua umat.
Kesejahteraan, keadilan, kebijakan yang berpihak pada rakyat menjadi kata kunci untuk menyelamatkan sumber daya.
Dalam konteks Indonesia, negeri ini memiliki sumber daya alam yang tak ternilai harganya, yaitu hutan lebat, kekayaan tambang, dan kekayaan laut yang banyak dicuri.
Wahid (2006: 176-8) mengatakan, kesejahteraan dan keadilan rakyat Indonesia dapat ditelisik dari kebijakan ekonomi, peraturan yang dibuat pemerintah.
Jika keadilan dan kesejahteraan belum dirasakan rakyat banyak, berarti kebijakan dan peraturan hanya berpihak pada kepentingan orang kaya, bukan untuk kepentingan rakyat.
Mantan presiden Abdurrachman Wahid mengatakan, dalam ajaran Islam pencapaian kesejahteraan demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur menjadi hal esensial. Menurut fikih, kesejahteraan rakyat ada di tangan pemimpin sebagai pembuat kebijakan dan peraturan.
Diperlukan solidaritas universal yang melibatkan talenta dan keterlibatan banyak orang untuk menanggulangi kerusakan alam. Dengan adanya motivasi dan proses edukasi, perubahan akan menjadi keniscayaan.
Dan, dengan dalil dan keyakinan keagamaan, kita akan tercerahkan untuk melakukan aksi sebagaimana konsep Islam, rahmatan lil-alamin, cinta kasih untuk seluruh alam.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.