Anak yang Memadamkan Langit Kemerahan | Daan Yahya/Republika

Sastra

Bumi Palestina

Puisi-puisi sivitas akademika UII Yogyakarta

Anak yang Memadamkan Langit Kemerahan 

Oleh HIZBI MAULANA, Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional UII 

 

Barangkali masih ada sedikit waktu, pastilah anak itu telah menyelesaikan surat cintanya kepada Tuhan. Surat yang ia arsir di atas tanah berdebu dan berpasir kering. Setiap hari ia menghidu udara yang bercampur mesiu – serbuk jahanam yang membumi hanguskan tanah kelahirannya. Dalam deru bedil dan misil, surat yang tidak rampung itu, selamanya tidak akan pernah rampung. Surat cintanya adalah sekumpulan tanya. Tanya yang tak pernah khatam ia ucapkan, karena lidahnya telah habis diiris oleh kesedihan.

Tuhan, tanahku telah menjadi medan perang. Batu dan kerikil ikut menyerukan takbir atas nama-Mu. Keagungan-Mu di sini bukan mewujud pilar-pilar berkelir emas, atau kubah megah bertahta permata. Karena bahkan masjid paling reyot kami pun telah habis dilalap api. Keagungan-Mu di sini dijalin dari darah dan air mata. Engkau datang kepada kami dengan ketenangan yang merangkul hati, di malam-malam dengan langit yang menyala kemerahan. Sejumput kasih sayang-Mu adalah yang kami kumpulkan hari demi hari. Untuk menambal compang-camping baju kami, dan mengobati koyak tubuh kami.

Tuhan, tanahku kini kutiti dengan tertatih dan terseok-seok. Entah bagaimana caranya hidup dalam kepungan kematian. Di tanah kering dan gurun tandus ini, tiada sesiapapun yang dapat bertahan tanpa iman. Pada iman itu pula aku melewati malam ketika detak jantung ibu menyaru dengan dentuman peluru. Malam yang sama ketika ayah menjemput kasih-Mu seutuhnya, melafalkan asma-Mu hingga napas terakhirnya. Dalam gejolak perang, cinta mereka engkau sejatikan. 

Tuhan, tanahku masih menantikan burung-burung yang hinggap lagi di pepohonan. Rumput hijau yang tumbuh kembali dari tanah yang meranggas. Serta langit yang tak lagi ditutupi debu dan mesiu. Sajadah kami akan digelar di atas lantai yang tak lagi dilumuri darah. Anyir yang mengepung hidung akan berganti wangi kasturi. Dan pada akhirnya, kami berdzikir dalam tenang. Tuhanku, kapankah hari itu?

Dan Tuhan, ketika jasadku nanti telah hangus terpanggang, ruhku akan menggapai singgasana-Mu, memohon setangkup dari mata air-Mu, dan membasuh langit yang kemerahan itu. Memadamkannya. 

***

 

Balon Berhati Ungu 

Oleh MOH. MIZAN HABIBI, Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam UII

 

Hai, cerah sekali auramu

Masihkah bergembira seperti yang lalu?

 

Ini, balon berwarna ungu untukmu

sebagaimana warna hatimu

Warna hati para pemberani

Pemberani, sepertimu

 

Bolehkah sejenak ku bercermin kepadamu?

Karena terkadang aku begitu cemburu

 

Nak,

janji apa yang telah kau susun bersama Allah, Tuhanmu?

Hingga membuatmu teguh tak berpaling

 

Nak,

jawaban apa yang kau dapatkan atas pertanyaan getir dalam hidupmu?

Hingga menjauhkanmu dari sikap ragu

 

Juga,

Nyanyian apa yang setiap saat berdenting?

Hingga senyummu tak pernah pudar

 

Bolehkah kau ceritakan, nak?

Bayangan apa yang melekat dalam memorimu,

Hingga tak pernah membuatmu merasa layu?

 

Nak,

jika hati ungumu beribu-ribu,

bolehkah kupetik satu?

 

apa hobimu, apa makanan dan mainan kesukaanmu?

oh, maaf, tak perlu kau jawab

dirimu tiidak disibukkan dengan pertanyaan yang itu

 

Lalu, lukislah aura cerahmu itu

di hamparan balon-balon berwarna ungu

Terbanglah, dengan sayapmu yang tak pernah patah 

***

photo
Balon Berhati Ungu - (Daan Yahya/Republika)

 

Membela Palestina 

Oleh MASITOH NUR ROHMA, Dosen Program Studi Hubungan Internasional UII 

 

Kalau kamu bertanya, mengapa kita harus membela Palestina

Jujur, semalaman mungkin aku tidak akan tidur

Kemanusiaan? Standar siapa mau kau pakai

Kebangsaan? Kepentingan siapa yang sebenarnya mau kau bela

Agama? Orang gila mana yang bicara agama dalam logika manusia

Perjalanan intelektual dan spiritualku terlampau dangkal

berhadapan dengan para cendekiawan yang budiman

 

Sejenak kuingat berita hari ini

Jenazah seorang bayi ditemukan tanpa kepala

Pengungsi mengantri sepotong roti, ditembaki membabi buta

Tanpa senjata, tanpa dibela

Meski mati, tapi mereka tak takut mati

 

Apakah membela hanya majas untuk para penguasa?

Karena membela tanpa kuasa seperti merengek pada durjana

Jiwa Palestina mungkin saja bebas, meskipun raga mereka pungkas

Tapi, mengapa kita yang tak perlu kehilangan napas, tak bisa bicara lepas?

 

Lalu, apa dan siapa yang tertawan?

Kebebasan mereka atau kebebasan kita?

Mereka melawan, sementara dunia bungkam 

***

 

Menceritakanmu 

Oleh BELILA MEGA UTARI, Tenaga Kependidikan Direktorat Layanan Akademik UII

 

Setiap hari, berita tentangmu memenuhi linimasa sosial media

Peristiwa besar yang kembali terjadi di 7 Oktober 2023

Akhirnya benar-benar membuka mata dunia

Meskipun, tak semuanya berani angkat bicara

 

Setiap hari, topik berita silih berganti bagai tak ada habisnya

Tentang orang tua yang kehilangan anak-anaknya

Anak-anak yang kehilangan orang tua dan saudaranya

Bayi-bayi yang lahir dalam kondisi tak memiliki apa-apa

 

Menceritakanmu selalu membawa air mata

Bagaimana bisa manusia diperlakukan seperti tak ada harganya

Bom dijatuhkan dimana-mana, para tawanan diperlakukan semena-mena

Kendaraan pembawa bantuan dihadang tak boleh lewat, orang-orang tak bersalah asal ditembak

Rumah sakit yang katanya tempat paling aman diserang tanpa sisa

Pengungsian sebagai tempat terakhir untuk berlindung digempur habis-habisan

 

Dunia oh dunia

Omong kosong gencatan senjata

247 hari berlalu hanya ada duka bagi Palestina

 

Tentu masih banyak yang belum kuceritakan dalam puisi ini

Tapi setidaknya, kita tahu bahwa dunia sedang tak baik-baik saja

Kita tahu bahwa:

 

Ini bukanlah perang, ini adalah genosida. 

***

 

Pertanyaan

Oleh KURNIAWAN DWI SAPUTRA, Dosen Program Studi Pendidikan Agama Islam UII

 

Jika mereka berkhutbah kepadamu tentang Palestina

Tolong tanyakan

Apakah hidup masih berharga

Pada saat-saat kematian ditunda?

 

Mungkin esok, nanti malam, sebelum engkau beranjak

atau selepas kejapan mata

Misil-misil setan itu

Dengan coretan pesan kematian

Siap menghujam kapan saja

 

Pada ibumu yang menggendong adik bayi di pasar Nusairat

Kakekmu yang jalan bertongkat karena asam urat

Perempuan dengan mata sipit yang kau nikahi musim semi depan

Hingga engkau

 

Kematian adalah niscaya

Tapi tidak di jam tangan orang-orang

Yang rumahnya berdiri di atas kebun zaitunmu

Di balik tembok apartheid ini

 

Apabila mereka berpuisi tentang Palestina

Tolong tanyakan

Apakah kata-kata masih berguna

Ketika kematian dihitung sebatas angka?

***

Pada Selasa, 11 Juni 2024, Universitas Islam Indonesia (UII) kembali menggelar hajatan "Sore Nyastra" untuk ketiga kalinya. Kali ini yang disoroti adalah penjajahan Israel atas tanah Palestina yang belum juga usai. Sembilan bulan sudah, tentara penjajahan Israel memorak-porandakan Jalur Gaza. Lebih dari 37 ribu warga Gaza syuhada, kebanyakan anak-anak dan perempuan. Sementara ratusan ribu lainnya kelaparan. Puluhan puisi sivitas akademika dengan tema "Bumi Palestina" terkumpul dan dibacakan di Selasar Utara Gedung Mohammad Hatta, Perpustakaan Pusat UII di Sleman, DI Yogyakarta. Puisi-puisi di atas adalah beberapa di antara pilihan panitia.

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Tanah Terjanji

Cerpen Safry Dosom

SELENGKAPNYA

Mata Air

Puisi-puisi Zulhan Nurhatif

SELENGKAPNYA

Bleg-Bleg Thing 

Cerpen Anisa Aprilia

SELENGKAPNYA