Nasional
Selasar Duka dan Doa dari Marapi
BNPB memastika semua kebutuhan pokok warga terdampak terpenuhi.
Seorang pria datang dari kejauhan, menerobos keramaian dengan mengendarai sepeda motor bersespan kayu. Putaran roda kendaraan yang berpacu meninggalkan hembusan debu bagi setiap orang di belakangnya.
Sespan adalah sepeda motor dengan gandengan samping (beroda satu) untuk penumpang. Setelah sekitar 500 meter melintasi jalan menurun yang berpasir, pria tersebut memarkirkan kendaraan modifikasi seadanya itu tepat di depan onggokan batu-batu besar.
Warga setempat memanggilnya dengan nama sapaan Uda Eko. Sehari-hari bekerja sebagai buruh jasa angkutan barang dan belum lama ini resmi menjadi seorang ayah.
Dengan tangan menenteng karung, pria berkulit sawo matang ini bergegas menapaki batu-batu berdiameter 2-3 meter itu yang ternyata telah menutupi rumahnya.
Tatapan matanya tajam dan tak menghiraukan orang yang sibuk berlalu-lalang seraya tangan menggenggam gawai untuk merekam kondisi rumah yang hancur seolah-olah sebuah latar film perang dunia ke-2.
Di rumah kontrakan yang masih dipenuhi oleh lumpur dan tanah itu pula, Eko memungut sisa-sisa pakaian milik istri dan anaknya yang baru berusia 20 bulan.
Terus saja ia bekerja, memasukkan satu per satu kaos bermotif bunga matahari, kain terusan, daster dan boneka beruang merah muda itu ke dalam karung.
Namun di balik sikap dingin dari pria berusia 27 tahun ini tersimpan suasana sendu. Betapa tidak, bibirnya bergetar saat mengatakan pakaian itu harus segera diantarkan sore itu juga ke posko pengungsian di mana Meli dan Syifa -- nama istri dan anaknya -- berlindung dan tak memiliki pakaian ganti sejak lima hari yang lalu.
Eko MHD Effendi, adalah salah satu warga Desa Bukik Batabuah, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat yang menjadi korban bencana banjir lahar dingin Gunung Marapi, Sabtu, 11 Mei 2024.
Menjaga keselamatan keluarga, tentu menjadi kewajiban bersama. Begitu pula bagi Eko. Malam itu, tepat pukul 22.30 WIB tangisan anak dan rasa curiga dengan hujan yang tak henti mengguyur sedari siang telah meneguhkan hatinya untuk keluar dari rumah.
Hanya bermodal senter tanpa payung dan sandal, ia pun berlari melihat langsung aliran sungai yang berada di seberang depan rumahnya.
Air Sungai Batabuah yang biasanya jernih, hingga terkadang bagian dasar bisa tembus pandang, malam itu berubah menjadi sangat keruh keabu-abuan, tingginya pun hingga nyaris melampaui badan Jembatan Surau Kasiak tempatnya berdiri.
Rasa curiganya pun benar, sesaat berbalik badan, ia melihat gerombolan air datang menghampiri desa dari turunan Jalan Raya Canduang. “Banjiiir...!,” teriaknya dengan kencang sambil kembali ke rumah menjemput istri dan sang buah hati.
Peristiwa tersebut sama persis dengan apa yang terjadi pada pertengahan bulan Februari lalu, namun, banjir kali ini lebih besar karena air datang dari arah jalan tanjakan yang notabene lebih tinggi dari tempat rumahnya berada.
Melihat tanda alam tersebut, Eko berniat mengevakuasi diri dengan motor sespannya yang tersimpan di teras rumah. Namun, belum sempat motor ditarik keluar, air sudah semakin meluap dari segala sisi membawa serta bongkahan kayu.
Kondisi yang tak kalah mengejutkannya lagi ketika tahu cara mereka menyelamatkan diri.
Dalam kondisi yang terdesak, pasangan suami istri ini mampu memanjat dinding beton vertikal nyaris setinggi tiga meter, untuk bisa berlindung dibalik tandon air beton rumah tetangga.
Di atas pijakan beton berdiameter 2x1 meter itu mereka bertiga duduk jongkok sambil berpelukan, melafalkan doa-doa selamat dengan tubuh yang basah kuyub.
Eko mengaku bahwa melihat langsung bagaimana air mengalir deras setinggi atap, membawa serta akar-akar dan batang pohon besar yang tumbang. Bahkan, turut menyaksikan bagaimana rumah pamannya yang berseberangan dengan tempat mereka berlindung itu hanyut.
Tak kurang dari setengah jam deburan air itu menghancurkan nagari -- sebutan desa di Sumatera Barat-- mereka.
Linangan air mata sang istri yang ada dalam rangkulannya kian mengalir deras, kala empat hingga lima buah batu besar kokoh bersandar di teras rumah kontrakan mereka dan meremukkan mobil bak terbuka yang menjadi alat mata pencaharian untuk menghidupi keluarga selama ini.
Sepeda motor yang peot, pakaian berlumuran lumpur, perabotan rumah tangga, kompor gas, dan sebuah kasur pegas dengan kain pembungkus yang kusam adalah harta mereka yang tersisa. Selain itu, semua rusak dan hilang terbawa arus banjir bandang, termasuk surat-surat berharga.
“Tapi saya sangat bersyukur dengan Yang Maha Kuasa, anak dan istri saya selamat. Berarti Allah memang percaya menitipkan mereka kepada saya,” kata dia.
Sejak kejadian itu keluarga kecil ini terpaksa tinggal bersama ratusan warga lain di tenda posko pengungsian yang berjarak 3 kilometer dari desanya karena tidak ada pilihan lain.
Dari selasar berlumpur, tiba-tiba tangannya menunjuk ke belakang yang mengarah pada tumpukan tanah bekas rumah paman dan bibinya.
Rumah tersebut adalah tempatnya dibesarkan hingga dewasa dan memutuskan berkeluarga. Tapi kini telah hilang membawa serta kenangan berikut pemiliknya.
Sungguh hati pria ini penuh ketabahan menghadapi kenyataan. Dalam doanya berharap terus diberikan kesehatan, keselamatan sehingga bisa membesarkan anak-anaknya kelak dan semoga semua insan yang berpulang ke Rahmatullah diampuni dari segala dosanya.
Penanganan darurat
Penderitaan Eko dan keluarganya adalah sepenggal kisah yang juga dirasakan oleh ribuan orang korban banjir lahar dingin Gunung Marapi lainnya. Pemerintah ergegas mengambil langkah cepat untuk meringankan beban para penyintas bencana alam ini.
Data pusat informasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di posko utama tanggap darurat yang menempati gedung Istana Bung Hatta, Kota Bukittinggi, malam itu melaporkan setidaknya ada sebanyak 1.600 keluarga atau 3.650 jiwa yang mengalami dampak bencana.
Para penyintas bencana tersebut berasal dari lima kabupaten/kota yang dilanda banjir lahar dingin Gunung Marapi, yakni Kabupaten Agam, Tanah Datar, Padang Pariaman, Kota Padang, dan Padang Panjang.
Tepat pukul 20.00 WIB atau beberapa saat setelah tim SAR gabungan mengakhiri operasi hari kelima, pusat informasi BNPB mencatat jumlah korban meninggal dunia sudah sebanyak 67 orang, atau bertambah sembilan orang yang sebelumnya dilaporkan hilang tapi berhasil ditemukan.
Korban hilang yang ditemukan dalam keadaan meninggal dunia tersebut salah satunya adalah Halimatu Sa'diyah, warga Bukik Batabuah, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam. Jasadnya ditemukan sekitar 5 kilometer dari tempat dilaporkan hilang, Rabu, 15 Mei 2024 siang pukul 11.00 WIB.
Jumlah total korban hilang tersisa sekitar 20 orang. Keberadaan mereka saat ini masih ditelusuri oleh 300-an orang tim SAR gabungan yang terdiri dari personel Basarnas, TNI, Polri, BNPB, BPBD dan seterusnya.
Demikian pula proses penanganan terhadap sebanyak 44 orang korban yang mengalami luka-luka. Mereka dievakuasi ke sejumlah puskesmas - rumah sakit, di antaranya RSAM Bukittinggi, Yarsi Bukittinggi, RS Batusangkar dan RSUP M. Djamil Padang untuk mendapatkan penanganan medis.
Di tengah proses evakuasi berlangsung, Kepala BNPB Suharyanto memastikan semua kebutuhan pokok korban dan warga yang terdampak bencana di Ranah Minang -- sebutan untuk Sumatera Barat -- akan terpenuhi selama masa tanggap darurat yang diberlakukan hingga 14 hari ke depan terhitung sejak Senin, 13 Mei 2024.
Bahkan sehari setelah bencana terjadi, ratusan paket logistik mulai dari puluhan ton beras, makanan ringan, makanan bayi, pakaian, selimut, tenda, air bersih, hingga obat-obatan termasuk tenaga medisnya sudah dikirimkan ke posko darurat bencana yang ada di setiap kabupaten/kota terdampak.
Selain memastikan kebutuhan pokok masyarakat selama masa tanggap darurat terpenuhi maka pemerintah pusat, kementerian/lembaga dan unsur perangkat pemerintah daerah juga terus berjibaku melakukan normalisasi wilayah terdampak.
Puluhan unit kendaraan alat berat yang di antaranya berasal dari provinsi terdekat telah didatangkan. Masing-masing difungsikan untuk membersihkan sisa-sisa material lumbur, batang kayu, dan bebatuan yang menyumbat aliran sungai, memenuhi pemukiman, dan lahan pertanian warga.
Pendistribusian material-material bangunan seperti semen, pasir dan seterusnya untuk memperbaiki jembatan dan jalan rusak juga sudah dilangsungkan.
Total ada 35 unit jembatan dan lebih dari 150 meter panjang jalan yang rusak dalam peristiwa alam ini. Dampak kerusakan ini bahkan sempat mengakibatkan jalur transportasi darat Padang - Bukittinggi - Padang Panjang - Tanah Datar - Solok - Lima Puluh Kota - dan seterusnya lumpuh total.
Ratusan personel TNI dikerahkan untuk memaksimalkan kerja dari Kementerian PUPR dalam melakukan perbaikan darurat infrastruktur jalan-jembatan ini.
TNI mengambilalih pengerjaan darurat pada delapan bangunan jembatan. Dalam waktu kurang dari sepekan sudah dua di antaranya saat ini terpasang dan bisa dilintasi kendaraan.
Jembatan Tanjung Pitu Rangkuang, dan Jembatan Bawah Kubang, Nagari Koto Laweh, Kabupaten Tanah Datar masing-masing memiliki spesifikasi panjang 15 Meter dan lebar 4,5 Meter, kedalaman 5 Meter, dan beban 5 ton.
Meski masih bersifat darurat namun perbaikan sejumlah infrastruktur umum ini dapat menunjang kelancaran upaya pendistribusian logistik dan segenap aksi tanggap darurat lainnya.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.