Iqtishodia
Ekstensifikasi Hilirisasi Mineral Logam dan Implikasinya Bagi Perekonomian
Implementasi praktik hilirisasi agar diarahkan untuk selalu memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan
OLEH Gilang Dwi Laksana (Mahasiswa Departemen Agribisnis FEM IPB), M. Zidhan (Mahasiswa Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB), Reza Legina Putri (Mahasiswa Departemen Ilmu FEM IPB), Syarifah Amaliah (Staf Pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi dan Peneliti ITAPS IPB), Wildan Nur Arrasyiid Sane Pratinda (Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi dan Peneliti ITAPS IPB)
Indonesia telah memiliki kemajuan signifikan di berbagai bidang pembangunan dalam rangka mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 menjadi negara yang memiliki pendapatan perkapita setara dengan negara maju. Strategi hilirisasi dipromosikan sebagai strategi untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi sekaligus memberikan potensi terhadap kontribusi sektor mineral terhadap penerimaan negara, baik melalui pajak maupun penerimaan negara bukan pajak.
Setelah fase implementasi, outcome dari kebijakan ini direpresentasikan dengan tren realisasi investasi Indonesia terutama di sektor produk pertambangan sejak tahun 2019 yang terus menerus meningkat. Realisasi investasi di sektor mineral logam menunjukkan kontributor terbesar dari total investasi Indonesia. Berdasarkan laporan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Pengelolaan Modal (BPKM) ditinjau dari sektornya, investasi logam dasar, barang logam, bukan mesin dan peralatannya mencapai Rp 200,3 triliun diikuti sektor transportasi, telekomunikasi, dan pergudangan sebesar Rp 259,8 triliun dari total realisasi Indonesia 2023 sebesar Rp 1.418,9 triliun.
Tren meningkatnya investasi di sektor hilirisasi juga menunjukan korelasi positif dengan peningkatan pajak di sektor mineral logam. Terdapat indikasi peningkatan penerimaan pajak dari sektor hilirisasi nikel tahun 2022 sebesar Rp 17,96 triliun. Jumlah ini naik 11 kali lipat dari tahun 2016 yang hanya sebesar Rp 1,66 triliun.
Kisah sukses peningkatan investasi dan penerimaan negara akibat hilirisasi mineral non logam di periode 2014-2019 masih diwarnai oleh perkembangan hilirisasi komoditas nikel. Salah satu kebijakan yang dicoba untuk direplikasi adalah ekstensifikasi strategi hilirisasi pada komoditas mineral logam lainnya diharapkan dapat mengakselerasi manfaat ekonomi baik dalam lingkup makro, sektoral, maupun penerimaan negara. Beberapa komoditas yang dianggap potensial adalah bijih bauksit, tembaga, dan timah.
Sebagai salah satu contoh, bijih bauksit jika diolah menjadi alumina, kenaikan nilai tambahnya 12 kali atau mencapai 25 persen hingga 35 persen daripada sebelumnya (Ika dan Syahrir, 2017). Besarnya potensi nilai tambah tersebut tentunya diharapkan dapat memberi efek berganda yang besar bagi perekonomian.
Mengikuti kisah sukses hilirisasi nikel, pemerintah juga berambisi untuk memperluas program hilirisasi ke jenis komoditas logam lainnya. Salah satu logam yang akan segera dihiliriasi oleh pemerintah adalah tembaga, timah dan bauksit. Ambisi hilirisasi tembaga dan timah dilatar belakangi karena potensi bijih mentah tembaga dan timah Indonesia belum termanfaatkan secara optimal.
Hal ini bisa dilihat dari Ekspor bijih tembaga Indonesia yang mencapai volume ekspor 3,13 juta ton dengan nilai 9,24 miliar dolar AS pada tahun 2022. Selain tembaga, Berdasarkan data fintech solution, Indonesia adalah produsen timah terbesar kedua di dunia. Pada tahun 2021, produksi timah Indonesia mencapai 83.000 ton atau sekitar 26 persen dari total produksi timah dunia. Cadangan timah Indonesia sendiri merupakan yang terbesar kedua di dunia yaitu sebesar 800 ribu ton atau sekitar 17 persen dari total cadangan dunia, yakni 4,74 juta ton.
Permintaan kabel tembaga (katoda) di masa depan diproyeksikan mencapai 263 miliar dolar AS pada tahun 2028. Selain kabel katoda, permintaan produk olahan dari tembaga yang tercatat akan naik adalah pipa dan tubing tembaga yang diproyeksikan meningkat hingga 38 miliar dolar AS pada 2028.
Demikian halnya dengan bauksit yang berdasarkan data Kementerian ESDM potensi cadangan bauksit mencapai 3,2 miliar ton dengan produksi dalam negeri mencapai 21 juta ton pada tahun 2022 sehingga menempati peringkat 6 dunia. Dari hal tersebut bisa disimpulkan bahwa tembaga, timah, dan bauksit adalah logam yang sangat potensial untuk dilakukan hilirisasi.
Untuk mengidentifikasi potensi manfaat ekonomi strategi ekstensifikasi mineral non logam, dilakukan exercise menggunakan model CGE Comparative Static yang disimplifikasi untuk tujuan pengajaran dan pelatihan atau INDOMINI (Oktaviani, 2011) yang merujuk pada model MINIMAL (Horridge, 1993). Skenario kebijakan hilirisasi didekati dengan peningkatan investasi pada sektor industri turunan logam berdasarkan skenario business as usual.
Berdasarkan data BKPM (2024), pertumbuhan nilai investasi PMA dan PMDN Indonesia meningkat sebesar 221 persen post implementasi kebijakan hilirisasi mineral logam terutama pada komoditas nikel. Oleh karena itu, dengan asumsi peningkatan investasi per tahun sebesar 55 persen, kajian ini akan menganalisis potensi dampak ekstensifikasi hilirisasi mineral logam pada sektor timah, tembaga, dan bauksit terhadap kinerja makroekonomi dan pendapatan pemerintah.
Berdasarkan hasil simulasi, kebijakan hilirisasi mineral logam yang diprolsi dengan peningkatan investasi berpotensi meningkatkan produksi turunan logam timah dan bauksit dan tembaga sebesar 168,89 persen. Sementara itu, produksi mineral logam juga menunjukkan peningkatan berturut-turut bijih bauksit (20,14 persen), bijih timah (63,31 persen), dan bijih tembaga (11,43 persen). Sektor jasa terkait seperti Pengadaan Air (21,67 persen), serta Jasa pertambangan dan penggalian lainnya (5,16 persen) juga turut meningkat akibat adanya hilirisasi. Peningkatan aktivitas produktif dan efisiensi alokatif sebagai dampak dari hilirisasi akan meningkatkan pendapatan pemerintah atas output.
Peningkatan output di level domestik merefleksikan supply response dan kapasitas produksi yang mencukupi dan penerimaan pemerintah. Pada studi ini, ruang lingkup yang menjadi fokus adalah produksi hulu dan hilir sektor mineral logam timah, bauksit, dan tembaga di tahun 2024. Hasil estimasi menunjukkan bahwa potensi penerimaan negara terkait pajak untuk produk hilir bauksit, timah, dan tembaga mencapai Rp 8,71 triliun, bijih bauksit (Rp 9,61 triliun), bijih timah (Rp 0,39 triliun) dan bijih tembaga (Rp 1,40 triliun).
Sementara itu, royalti bijih bauksit diprediksi mencapai Rp 30,36 triliun, royalti bijih timah Rp 0,17 triliun, dan royalti bijih tembaga sebesar Rp 4,28 triliun. Potensi ini akan semakin meningkat apabila kapasitas smelter dan industri produk hilir bauksit, timah, dan tembaga mencapai optimal ketika investasi semakin meningkat.
Lebih lanjut, potensi peningkatan penerimaan pajak juga dikontribusikan oleh insentif penyesuaian output di sektor riil dan peningkatan terhadap derived demand faktor produksi (Tenaga Kerja, Kapital dan Lahan). Adapun besaran peningkatan penerimaan yang bersumber dari tax on primary factor belum dapat diidentifikasi secara spesifik melalui pemodelan. Meskipun demikian, argumen ini dapat divalidasi dengan indikasi efek peningkatan pendapatan yang lebih tinggi yang berimplikasi pada meningkatnya upah riil tenaga kerja secara dengan adanya penyerapan tenaga kerja.
Hal tersebut memberikan efek positif berupa peningkatan subjek pajak penghasilan dan nilai pajak yang diterima dari pajak penghasilan sebagai direct tax. Secara akumulatif, kebijakan ini diprediksi akan meningkatkan upah riil sebesar 0,308 persen dan memiliki potensi untuk berkontribusi pada peningkatan PDB Indonesia sebesar 0,89 persen.
Rekomendasi kebijakan
Terlepas dari potensi manfaat ekonomi yang besar bagi perekonomian Indonesia, berbagai regulasi dan insentif kebijakan diperlukan dalam mendorong investasi kemajuan pembangunan smelter di dalam negeri. Strategi melalui Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dengan insentif yang dapat diberikan adalah tax holiday, tax allowance, impor barang modal serta dukungan infrastruktur dan fasilitas kemudahan lainnya. Percepatan pembangunan smelter perlu berjalan sesuai dengan rencana dengan menyusun program quickwins agar dapat memberikan multiplier effect yang lebih besar bagi perekonomian.
Koordinasi antar institusi dalam optimalisasi integrasi operasi hulu hilir untuk menyusun teknis regulasi pengelolaan pertambangan hulu dan prioritas kebijakan hilirisasi di hilir perlu terus dikonsolidasikan. Diperlukan roadmap pembangunan industri hilir tematik untuk produk turunan komoditas mineral logam lainnyaseperti timah, tembaga, dan bauksit dalam meningkatkan ketahanan industri nasional.
Pentingnya digitalisasi seluruh sektor hilirisasi akan dapat meningkatkan kualitas tata kelola dan transparansi implementasi kebijakan. Penyempurnaan platform SIMBARA dan integrasi seluruh sektor mineral logam ke dalamnya perlu diselesaikan dengan cepat agar dapat mengintegrasikan seluruh data pertambangan di Indonesia, sehingga dapat mencegah indikasi praktik korupsi yang merugikan negara.
Selain itu, implementasi praktik hilirisasi agar diarahkan untuk selalu memenuhi prinsip-prinsip keberlanjutan terkait enviroment, social, and governance (ESG) agar mendukung daya saing dan resiliensi perekonomian dalam jangka panjang.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.