Arsitektur
Pesona Arsitektur dan Sejarah Masjid Sultan
Tempat ibadah ini disebut-sebut sebagai salah satu masjid tertua di Singapura.
Seperti negeri jirannya, Singapura juga memiliki sejarah terkait syiar Islam. Perkembangan agama tauhid di sana mulai berlangsung pesat, setidak-tidaknya sejak Kesultanan Melaka berhasil merebut daerah yang dahulu dikenal sebagai Temasek ini dari Majapahit pada awal abad ke-15. Hingga kini, cukup banyak peninggalan historis Islam di Negeri Singa.
Salah satunya ialah Masjid Sultan. Bangunan yang bertajuk dua kubah emas ini disebut-sebut sebagai masjid tertua di Singapura. Meskipun mungkin namanya kurang populer, Anda tidak akan kesulitan untuk menemukannya. Tempat ibadah ini bisa dijumpai di kawasan Melayu, Kampung Glam. Hanya beberapa meter jaraknya dari Victoria Street dan Ophir Road serta stasiun MRT Bugis.
Berdiri di atas lahan seluas 4.109 meter persegi, kompleks ibadah umat Islam ini bisa menampung lima ribu orang jamaah. Bahkan, kapasitasnya bisa melampaui itu ketika sekat-sekat ruangannya dilipat serta bagian aula dilibatkan. Biasanya, daya tampung itu ditambah pihak pengelola menjelang penyelenggaraan, semisal, shalat Jumat atau shalat hari raya.
Pembangunan masjid ini berlangsung antara tahun 1824 dan 1826. Pihak inisiatornya ialah para pedagang di kawasan Glam, khususnya kaum saudagar asal Jawa. Semula, bentuk tempat ini menyerupai masjid-masjid Nusantara pada umumnya. Atapnya berbentuk limas dan bersusun tiga.
Memasuki abad ke-20, masjid yang didirikan tak jauh dari Istana Sultan Hussain Shah ini mulai terasa sempit. Sebab, kian banyak jamaah yang mendirikan shalat di sana. Pada 1924 atau tepat satu abad usianya, masjid tersebut mulai direnovasi. Tokoh-tokoh masyarakat Muslim setempat sepakat untuk mendirikan masjid baru yang lebih besar. Itu akan menggantikan bangunan masjid sebelumnya di lokasi yang sama.
Untuk merancang masjid baru itu, pihak pengelola mendatangkan arsitek Denis Santry dari Swan and Maclaren. Pembangunan tempat ibadah ini tuntas dikerjakan pada 1928. Sejak saat itu, jamaah terus memakmurkan Masjid Sultan. Renovasi berikutnya dilakukan pada 1960 untuk memperluas ruangan utama. Selanjutnya, pada 1993 pemugaran untuk bagian auditorium dan ruang serbaguna.
Apa yang menarik dari bangunan baru ini? Santry mengadopsi gaya arsitektur Gotik, Indo-Sarasen, dan Neo-Mughal. Semuanya berpadu untuk menampilkan kesan klasik di sana. Kalau desain Masjid Sultan dahulu yang khas Nusantara, tanpa disertai menara. Kini, ada penambahan menara pada sisi bangunan utama.
Ketiga corak arsitektur yang diadopsi Santry itu sampai di Singapura melalui Inggris. Bangsa kolonial itu sebelumnya menguasai India. Mereka menyaksikan keindahan rupa-rupa bangunan peradaban Islam di sana. Maka begitu Sir Thomas Stamford Raffles mendirikan Singapura modern di Tumasik, gaya rancang bangun itu turut terbawa.
Inggris mulai menancapkan kuku kekuasaannya di pulau ini pada 1819. Penguasa Tumasik kala itu, Temenggung Abdul Rahman, mendapatkan sedikit keistimewaan dari Britania Raya. Begitu pula dengan Sultan Hussain Shah dari Johor yang dianggap sebagai “pemilik” Tumasik. Sebagai imbalan atas penyerahan hak kuasa mereka atas Singapura ke Inggris, bangsa Eropa ini memberikan beberapa pengecualian untuk keduanya. Misalnya, diberikan wilayah Kampung Glam sebagai tempat tinggalnya. Selain itu, para tokoh ini akan memperoleh dana tunjangan hidup.
Sejak saat itu, Kampung Glam menjadi kawasan tempat tinggal orang-orang Melayu-Muslim. Di sana, Sultan Hussain lantas membangun rumah besar—menyerupai istana pribadi—tempat diri, keluarga, serta para pengikutnya tinggal. Tokoh berdarah Riau tersebut tidak lupa mendirikan masjid, tak jauh dari istananya itu.
Inilah cikal-bakal Masjid Sultan Singapura. Dana pembangunan masjid dikucurkan dari sumbangan East India Company (EIC), kongsi dagang Inggris. Tentunya, sumbangsih dari para pedagang Nusantara, khususnya Jawa, tak sedikit jumlahnya. Pengerjaan proyek ini dipimpin cucu sang sultan, Alauddin Shah.
Masjid Sultan dihiasi dengan motif-motif hasil buatan tangan. Pola-pola floral itu berwarna keemasan sehingga menambah keindahannya. Ada pula lukisan kaligrafi dengan desain yang rumit. Struktur masjid dari zaman Alauddin Shah ini bertahan hingga 100 tahun kemudian.
Barulah pada 1900-an, jumlah kaum Muslimin—baik penduduk Glam maupun kaum musafir yang menyambangi kota ini—kian bertambah. Masjid Sultan sudah tak mampu lagi menampung mereka. Pada 1924, memperingati seratus tahun berdirinya masjid tersebut. Pengurus masjid menyetujui sebuah rencana untuk mendirikan masjid baru yang lebih besar menggantikan bangunan masjid lama di lokasi yang sama.
Kini, Masjid Sultan hasil renovasi terus menjadi kebanggan umat Islam negara ini. Tidak hanya berstatus paling tua, ia juga menyimpan nilai historis. Alhasil, para turis yang menyambangi Singapura semestinya tidak melewatkan kesempatan jalan-jalan untuk melihat bangunan ini. Statusnya pun kini dimiliki dan dikelola oleh Majelis Ulama Islam Singapura (MUIS).
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Keindahan Masjid di 'Atap Dunia'
Masjid Agung Lhasa di Tibet, China, disebut-sebut sebagai masjid tertinggi di dunia.
SELENGKAPNYAKala Sahabat Nabi 'Lalai' dari Misi Jihad
Ka'ab bin Malik sangat menyesali perbuatannya, yang membuatnya mesti dikucilkan selama puluhan hari.
SELENGKAPNYATeladan Keikhlasan Seorang Syaikhul Islam
Hammad bin Salamah merupakan seorang ulama besar dari masa abad kedua Hijriyah.
SELENGKAPNYA