Iqtishodia
Menyinergikan Keramba Jaring Apung dengan Pariwisata Internasional di Danau Toba
Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan keberadaan perikanan KJA untuk memperkuat daya tarik wisata Danau Toba.
OLEH Manuntun Parulian Hutagaol (Guru Besar Departemen Ilmu Ekonomi dan Kepala Divisi Kebijakan Publik dan Lingkungan Hidup CARE IPB University)
Saat ini ada dua kegiatan ekonomi yang sangat menonjol di perairan Danau Toba (DT), yaitu peternakan ikan tilafia dalam keramba jaring apung (KJA) dan industri wisata internasional (IWI). Jauh sebelum Danau Toba dinyatakan pemerintah Indonesia sebagai kawasan industri wisata superpriotas pada tahun 2016, KJA sudah ada di danau terluas di Asia Tenggara ini.
KJA diperkenalkan pemerintah Orde Baru sekitar pertengahan tahun 1980-an pada masyarakat lokal dalam rangka program pengentasan kemiskinan. Kawasan Danau Toba (KDT) sudah lama terkenal sebagai sarang kemiskinan. Bahkan saat ini pun angka kemiskinan masih tinggi di sini.
Awalnya masyarakat lokal tidak begitu tertarik usaha KJA. Tapi, setelah masuknya dua perusahaan besar yang menernakkan ikan tilafia dalam skala besar, masyarakat seolah berlomba mengembangkan KJA skala kecil. Sebagai hasilnya total produksi ikan KJA sekitar 70 ribu ton per tahun pada periode tahun 2000-an.
Diperkarikan total penerimaan (revenue) yang dihasilkan oleh bisnis KJA berikut kegiatan pendukung langsungnya seperti industri pakan dan bibit ikan bernilai sekitar Rp 5 trilun per tahun. Selain itu, bisnis KJA menyerap belasan ribu pekerja lokal. Perkiraan ini belum termasuk nilai penjualan dan penyerapan tenaga kerja dari berbagai kegiatan lainnya yang secara tidak langsung berkaitan dengan bisnis KJA. Singkatnya, usaha KJA telah menjadi penggerak utama perekonomian kawasan.
Isu pencemaran
Sesungguhnya masalah pencemaran bukanlah isu baru terkait kualitas air Danau Toba. Namun kehadiran industri wisata internasional di kawasan ini telah membuat gaungnya menggema ke dunia. Soalnya danau ini akan dijadikan Pemerintah Indonesia tempat favorit bagi wisatawan yang datang dari berbagai pelosok dunia. Bahkan Bank Dunia menyempatkan memberikan kritik tajam soal buruknya kualitas airnya dengan menyatakan bahwa kualitas air Danau Toba menjadikannya tidak layak untuk destinasi wisata.
Terlalu fatal bila pemerintah mengabaikan kritik Bank Dunia tersebut. Pada tahun 2017 lalu, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut) meresponnya dengan menerbitkan suatu surat keputusan gubernur yang menetapkan bahwa daya dukung perairan Danau Toba untuk produksi ikan KJA hanya sampai 10 ribu ton per tahun dan target penurunan ini akan dicapai pada tahun 2022.
Tujuannya adalah memulihkan kualitas airnya pada kondisi yang layak untuk wisata internasional.
Surat keputusan ini jelas-jelas mengganggap pencemarnya yang paling utama adalah usaha KJA yang setiap harinya mencurahkan puluhan ton pakan ikan ke dalam keramba untuk dimakan ternak ikannya. Anggapan ini sangat diragukan kebenarannya. Soalnya ada ratusan entitas ekonomi dan rumah tangga yang setiap harinya membuang limbah ke dalam danau baik secara langsung maupun tidak langsung. Yang lebih parah lagi danau ini mendapatkan pasokan airnya dari seratusan sungai kecil yang mengalir melalui kawasan pertanian dan perumahan yang membuang limbahnya ke sungai-sungai tersebut.
Keraguan ini dikonfirmasi oleh penelitan Tim Pusat Penelitian CARE IPB University yang melaksanakan penilitian kualitas air Danau Toba pada tahun 2020-2021. Tim menyimpulkan bahwa KJA bukanlah satu-satunya pencemar berat dan bukan pula pencemar terburuk, sehingga pembatasan dramatis atas produksi ikan KJA tidak akan berdampak signifikan pada perbaikan kualitas air Danau Toba.
Untuk memperbaiki kualitas airnya hanya dilakukan dengan suatu pendekatan holistik yang melibatkan semua pemangku kepentingan dengan dukungan regulasi dan teknologi konservasi yang tepat. Dengan berpedoman pada temuan-temuan tersebut, tim merekomendasikan agar batas produksi ikan 10 ribu ton per tahun dibatalkan dan dinaikkan menjadi 67 ribu ton per tahun.
Membangun sinergi
Dengan terbitnya keputusan Gubernur Provinsi Sumut yang baru pada tahun 2022 di mana diputuskan daya dukung Danau Toba untuk perikanan KJA sebesar 60 ribu per tahun, pemerintah mengakui perlunya mempertahankan keberadaan model budi daya perikanan KJA di perairan danau wisata internasional ini. Keputusan ini sangat tepat dan layak dapat apresiasi. Sebab, Danau Toba bukanlah satu-satunya danau wisata internasional yang juga digunakan untuk budi daya perikanan KJA.
Danau Batur di Bali yang sangat populer sebagai destinasi wisata internasional menyediakan sebagian permukaan airnya untuk budi daya ikan KJA. Bahkan, satu persen dari luas permukaannya disediakan untuk bisnis perikanan ini.
Luasan ini jauh lebih besar dari luasan permukaan Danau Toba yang saat ini digunakan untuk budidaya perikanan KJA. Saat ini, penggunaannya hanya sekitar 0.05 persen dari
seluruh permukaan airnya untuk perikanan KJA.
Tantangannya adalah bagaimana memanfaatkan keberadaan perikanan KJA untuk memperkuat daya tarik wisata Danau Toba. Berbagai model sinerjitas antara industri wisata dan perikanan KJA dapat dikembangkan. Salah satunya adalah membangun kompleks perikanan KJA sebagai spot wisata yang punya daya tarik secara umum.
Alternatifnya, di pinggiran Danau Toba dibangun kawasan wisata tematik seperti kawasan wisata pertanian hidroponik dan kawasan wisata pendidikan lingkungan. Juga, akan menarik bila budidaya ikan KJA dipadukan dengan restoran yang mengolah ikan tilapia menjadi berbagai makanan.
Lebih menarik lagi bila dibangun di pinggiran danau perkampungan tilapia di mana berbagai produk yang berbahan ikan tilapia dipamerkan dan dijual. Di perkampungan ini semestinya ada restoran tempat menikmati masakan ikan tilafia.
Perlu diingatkan tidak mungkin semua perikanan KJA yang ada di Danau Toba dijadikan objek wisata. Hanya sebagian kecil saja dapat dijadikan objek wisata. Sebab tujuan utama perikanan KJA bukanlah menjadi objek turisme, melainkan produksi ikan tilapia yang akan dipasarkan di dalam negeri dan di ekspor ke pasar dunia.
Saat ini, ikan tilapia produksi Danau Toba adalah yang terbaik di dunia. Mestinya “image” ini dimanfaatkan untuk menjadikan ekspor filet tilapia sumber pemasokan devisa bagi negara.
Kembali ke masalah kemiskinan yang masih mendera banyak masyarakat lokal di kawasan wisata internasional ini. Perlu disadari bahwa kemiskinan adalah salah satu faktor penting dibalik kerusakan sumberdaya alam di berbagai negara berkembang, termasuk di Indonesia. Karena keterbatasan daya beli dan ancaman kelaparan sering membuat keluarga miskin harus melakukan ekploitasi yang berlebihan atas sumber daya alam yang ada di sekitar.
Mereka bukan tidak sadar akan dampak negatifnya pada kelestarian lingkungan. Tetapi karena tuntutan untuk bertahan hidup, maka mereka terpaksa melakukan perbuatan buruk tersebut.
Dalam pandangan Simon Kuznets, perbuatan buruk ini hanya dapat dicegah keberlanjutannya dengan melepaskan mereka dari belenggu kemiskinan yang mereka sedang hadapi. Caranya adalah melaksanakan pembangunan ekonomi yang berpihak pada mereka.
Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan dan pengembangan wisata interasional dan budi daya perikanan di Danau Toba perlu diarahkan agar terus menerus dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal, utamanya kaum miskin. Dengan bebasnya masyarakat lokal dari kemiskinan, masalah pencemaran kualitas air Danau Toba kelak akan semakin terkendali sehingga danau besar yang sangat indah ini akan menjadi destinasi wisata sangat populer di dunia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.