Ekonomi
OJK Proyeksikan Ekonomi Indonesia Tetap Tumbuh Solid
OJK juga melihat adanya indikasi awal pemulihan konsumsi domestik.
JAKARTA -- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tetap bisa tumbuh solid dengan inflasi inti yang terjaga stabil. Pertumbuhan ekonomi didukung permintaan domestik yang meningkat.
"Ekonomi Indonesia akan tetap dapat tumbuh solid dengan inflasi inti yang terjaga stabil dan bahkan menghentikan tren penurunan sejak akhir 2022," kata Ketua Dewan Komisioner (DK) OJK Mahendra Siregar dalam konferensi pers Hasil Rapat DK OJK Bulan Maret 2024 di Jakarta, Selasa.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat inflasi tahunan (year on year/yoy) pada Maret 2024 sebesar 3,05 persen atau terjadi peningkatan Indeks Harga Konsumen (IHK) dari 102,99 pada Maret 2023 menjadi 106,13 pada Maret 2024.
Mahendra menuturkan ada indikasi pemulihan dari sisi permintaan ke depan. Sedangkan dari sisi kinerja manufaktur, Purchasing Managers' Index (PMI) terus terjaga dalam zona ekspansi, didorong oleh meningkatnya permintaan dan lapangan pekerjaan.
Industri jasa keuangan saat ini dinilai stabil, didukung oleh permodalan yang kuat, likuiditas yang stabil, dan profil risiko yang baik yang menjadi modalitas utama bagi industri jasa keuangan untuk dapat menjadi katalis pertumbuhan ekonomi nasional, baik sekarang maupun ke depan.
"Dan terlebih lagi, situasi saat ini yang memberikan optimisme bagi dunia usaha, yang tadi juga ditunjukkan oleh indikator PMI," ujarnya.
Selanjutnya, dunia usaha akan memperluas kapasitasnya sehingga terdapat peluang yang lebih besar lagi untuk perekonomian Indonesia mencapai target pertumbuhannya.
Namun demikian, ia menuturkan tetap perlu mewaspadai berbagai ketidakpastian yang muncul dalam konteks global untuk mengantisipasi potensi dan dampak risikonya kepada perekonomian Indonesia.
Di sisi lain, Mahendra mengatakan kondisi perekonomian dan pasar keuangan global saat ini cukup kondusif bahkan di beberapa sisi tampak lebih baik daripada ekspektasi semula sehingga itu membawa suatu perubahan yang positif.
Namun, di lain sisi, perlu terus mencermati potensi-potensi risiko yang dapat menghambat pertumbuhan yang terjadi di global utamanya maupun di domestik.
Pertumbuhan perekonomian Amerika Serikat diperkirakan berada pada kisaran yang lebih tinggi daripada ekspektasi semula karena kondisi pasar tenaga kerja yang relatif baik dan inflasi yang masih berada di atas target bank sentral AS.
Oleh karena itu, OJK memperkirakan suku bunga kebijakan Amerika Serikat (AS) atau Fed Funds Rate (FFR) akan turun sebanyak tiga kali pada 2024. Penurunan FFR kemungkinan terjadi pada semester II-2024.
Mahendra menambahkan, OJK juga melihat adanya indikasi awal pemulihan konsumsi domestik. Hal tersebut terlihat dari peningkatan impor barang konsumsi yang cukup signifikan pada Februari 2024.
Kinerja sektor manufaktur juga tercatat terus membaik. Meskipun begitu, Mahendra mengatakan hal tersebut perlu terus dicermati karena peningkatan permintaan terhadap barang konsumsi tidak terus berujung kepada penurunan surplus neraca perdagangan.
"Hal itu seiring berlanjutnya kontraksi ekspor dan apabila peningkatan peningkatan kebutuhan impor berlanjut terus," ucap Mahendra.
Terkait pertumbuhan ekonomi, Bank Indonesia (BI) sebelumnya menyatakan juga terus memperkuat bauran kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran untuk menjaga stabilitas dan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Penguatan bauran kebijakan tersebut dilakukan melalui stabilisasi nilai tukar rupiah, penguatan strategi operasi moneter yang pro-market, perluasan pendalaman pasar uang dan pasar valas, penguatan kebijakan transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), serta penguatan aspek pelindungan konsumen dalam inovasi produk.
"Stabilisasi nilai tukar rupiah melalui intervensi di pasar valas pada transaksi spot, Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF), dan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder," kata Gubernur BI Perry Warjiyo.
Penguatan strategi operasi moneter yang pro-market untuk efektivitas kebijakan moneter, termasuk optimalisasi sekuritas rupiah Bank Indonesia (SRBI), sekuritas valas Bank Indonesia (SVBI), dan sukuk valas Bank Indonesia (SUVBI). Sementara, perluasan pendalaman pasar uang dan pasar valas dilakukan melalui peningkatan volume dan jumlah pelaku transaksi repurchase agreement (repo).
Penguatan kebijakan transparansi suku bunga dasar kredit (SBDK) dilaksanakan dengan pendalaman suku bunga kredit berdasarkan sektor ekonomi. Sedangkan penguatan aspek pelindungan konsumen dalam inovasi produk dilakukan melalui kampanye literasi digital, termasuk melalui QRIS Jelajah Indonesia dan perluasan QRIS antarnegara.
Selain itu, kebijakan sistem pembayaran diarahkan untuk tetap memperkuat keandalan infrastruktur dan struktur industri sistem pembayaran, serta memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.
Lebih lanjut Perry menuturkan, untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan mendukung pertumbuhan ekonomi, koordinasi kebijakan Bank Indonesia dan kebijakan pemerintah terus ditingkatkan. BI memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan mitra strategis, termasuk program Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan (GNPIP) di berbagai daerah dalam Tim Pengendalian Inflasi Pusat dan daerah (TPIP dan TPID), serta Percepatan dan Perluasan Digitalisasi Transaksi Pemerintah Pusat dan Daerah (P2DD).
Bank Indonesia memperkuat sinergi kebijakan dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendorong kredit/pembiayaan kepada dunia usaha, khususnya pada sektor-sektor prioritas.
BI juga terus memperkuat dan memperluas kerja sama internasional, termasuk mempercepat konektivitas sistem pembayaran dan transaksi menggunakan mata uang lokal.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.