ILUSTRASI Sejumlah jamaah usai melaksanakan shalat tarawih pertama di Masjid At Thohir, Depok, Jawa Barat. Bulan suci Ramadhan menjadi momentum untuk membersihkan jiwa. | Republika/Putra M. Akbar

Hikmah

'Imanan wa Ihtisaban', Jiwa yang Selalu Berhitung

Ada kriteria kinerja yang mesti dipenuhi dalam pelaksanaan ibadah Ramadhan agar kita memperoleh ridha Allah.

Oleh Assoc Prof Dr Sonny Zulhuda*)

 

Salah satu hadis sahih yang paling sering dinukil oleh para penceramah pada bulan Ramadhan adalah sabda Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim sebagai berikut.

‏ مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya, "Barangsiapa yang mendirikan (ibadah) malam lailatul qadar dalam keadaan iman dan ihtisab, maka diampunilah baginya dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang menjalankan puasa Ramadhan dalam keadaan iman dan ihtisab, maka diampuni pula dosa-dosanya yang telah lalu."

Hadis ini menggambarkan betapa luasnya kasih sayang Allah. Bayangkan saja, jika sempurna kinerja Ramadhan kita saat ini, ganjarannya begitu luar biasa. Semua dosa kita di masa lalu akan diampuni.

Tentunya, nanti ada pengecualian (proviso) bagi dosa-dosa besar, yang harus dinetralisasi melalui tobat. Meski begitu, hal ini tidak menafikan betapa pemurahnya Allah kepada kita semua, hamba-hamba-Nya. Tak kira apakah hamba itu orang alim ataupun pendosa. Proses pemutihan ini telah dijanjikan Allah, sebagaimana disampaikan melalui Rasul-Nya.

Namun, tentu janji Allah ini bukan hal sepele yang dapat dicapai oleh semua orang. Ada kriteria kinerja yang harus dipenuhi dalam pelaksanaan qiyam dan shiyam yang efisien sehingga mendapat ganjaran yang dijanjikan. Kriteria tersebut dapat dijelaskan dari makna hadis di atas.

Dari hadis ini, teranglah bahwa kedua ibadah yang dimaksud, yakni shalat malam dan puasa, tidak akan mencapai sasaran efisiensinya jika tidak memenuhi dua komponen kinerja: amali (practical) dan ruhi (mental). Meminjam terminologi hukum, ada dua komponen yang harus dipenuhi bagi terhasilnya sebuah tindakan hukum. Keduanya adalah Actus Reus (elemen fisik/lahiriah) dan Mens Rea (elemen nonfisik/batin). Adagiumnya dalam bahasa Latin berbunyi "Actus non facit reum nisi mens rea."

Maka dalam memenuhi kinerja puasa, kita tidak bisa terlepas dari dua yang serupa.

photo
ILUSTRASI Tadarus Alqura. Dalam sebuah hadis, Nabi SAW menyebut bahwa mendirikan ibadah pada malam Ramadhan dengan iman dan ihtisab dapat diganjar dengan ampunan dari Allah. Foto: Raisan Al Farisi/Republika - (Republika/Raisan Al Farisi)

Komponen lahiriah (Actus Reus)

Komponen yang tampak mata atau zahir dalam berpuasa berarti hal-hal yang menjadi rukun ibadah tersebut yang harus dikerjakan oleh tubuh fisik kita. Rukun berarti tiang. Layaknya sebuah bangunan yang memerlukan tiang untuk berdiri, rukun berpuasa menjadi elemen pembeda antara orang yang berpuasa dan yang tidak berpuasa.

Sebagaimana telah banyak kita pelajari, puasa tidak akan sempurna jika tidak cukup rukunnya. Rukun-rukunnya ialah niat berpuasa Ramadhan dan juga menahan diri dari makan, minum serta semua yang membatalkan puasa. Itu dimulai sejak terbitnya waktu fajar hingga waktu terbenamnya matahari.

Kita semua sudah hafal ini. Intinya, komponen actus reus ini mudah diukur dan diuji secara empirik karena faktor niat dan menahan diri (imsak) ada tatacara dan ketentuannya masing-masing.

Mengukur actus reus ini cukup mudah karena dalam mengerjakan rukun tersebut, kita dituntut menyertakan tubuh fisik kita. Niat harus disempurnakan oleh otak. Ungkapan "niat dalam hati" itu hanya ungkapan linguistik belaka karena sebenarnya niat itu ada dalam pikiran yang diatur oleh otak. Bahkan, mazhab Syafii, misalnya, mensyaratkan penyertaan lisan untuk melafalkan niat tersebut. Intinya, otak bersama lidah akan berperan mengusung komponen niat.

Sementara, pengukuran komponen "menahan diri dari yang membatalkan puasa" jauh lebih zahir sifatnya. Para ulama telah membantu menjabarkan insiden apa saja yang bisa dianggap membatalkan puasa, seperti makan, minum, berhubungan suami-istri, dan lain-lain. Komponen Actus Reus ini nyata mudah dikontrol, baik oleh diri sendiri maupun dengan bantuan orang lain dan alat bantu pencapaian prestasi puasa--seperti buku laporan puasa yang sering ditugaskan oleh guru-guru agama kepada murid-murid sekolah untuk mencatat kegiatan selama Ramadhan.

Maka, ada satu lagi komponen non-fisik yang harus dipenuhi jika kita ingin puasa secara efektif dan efisien serta mencapai sasaran yang diinginkan. Komponen itu adalah Mens Rea-nya.

photo
INFOGRAFIS Hal-hal yang membatalkan puasa Ramadhan - (dok republika)

Komponen batin/spiritual (Mens Rea)

Sebuah tindakan hukum tidak akan lengkap jika tidak disertakan dengan mens rea yang tepat. Misalnya, jika seseorang memutuskan untuk menjual sebuah barang kepada orang lain, maka transaksi ini hanya akan efektif dan sah jika transaksi itu dilakukan secara sadar oleh kedua belah pihak yang juga tahu akan konsekuensi transaksi tersebut.

Bagi pihak penjual, misalnya, ia harus sadar bahwa ia melakukan alih kepemilikan terhadap barang itu kepada orang lain. Dengan demikian, ia tidak akan dapat menguasai barang itu setelah transaksi. Selain itu, perbuatan haruslah dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan atau tekanan orang lain.

Dengan begitu, transaksi yang telah berjalan actus reus-nya (akad, pemindahan barang, pemindahan harga, penandatanganan dokumen, dan lain lain) baru akan sempurna jika terpenuhi mens rea tadi, yakni kesadaran dan sukarela.

Begitu juga dalam berpuasa Ramadhan. Untuk mendapatkan puasa yang sempurna dan diganjar oleh ampunan atas dosa-dosa yang berlalu, maka aspek mens rea harus terpenuhi. Tidak sekadar aspek actus reus berpuasa (komponen niat dan menahan diri dari hal-hal yang membatalkan puasa).

Lantas, apakah aspek mens rea dari berpuasa? Merujuk kembali pada hadis di atas, ada dua komponen yang disampaikan Rasulullah SAW: imanan dan ihtisaban.

مَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، وَمَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ‏"‏‏.

"Barangsiapa yang mendirikan (ibadah) malam lailatul qadar dalam keadaan iman dan ihtisab, maka diampunilah baginya dosa-dosanya yang telah berlalu. Dan barangsiapa yang menjalankan puasa Ramadhan dalam keadaan iman dan ihtisab, maka diampuni pulalah dosa-dosanya yang telah berlalu."

Puasa kita yang direpresentasikan dengan tidak makan, tidak minum, dan tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa dalam waktu tertentu itu hanya akan diganjar Allah jika dikerjakan dalam keadaan iman dan ihtisab. Jika tidak ada kedua komponen itu, maka tiada yang didapat kecuali rasa haus dan dahaga saja. Bila demikian, jadilah kita pada apa yang diperingatkan oleh Rasulullah SAW dalam hadis lainnya.

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَش

“Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga” (HR ath-Thobroniy).

photo
ILUSTRASI Jamaah saat beritikaf pada 10 malam terakhir Ramadhan 1444 H di Masjid Habiburrahman, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (12/4/2023). - (ABDAN SYAKURA/REPUBLIKA)

Mens Rea pertama: iman

Maka, apakah itu iman dan ihtisab serta konteksnya bagi orang yang berpuasa? Iman berarti 'percaya.' Kata amin berarti 'orang yang dipercaya.' Maka beriman dalam berpuasa artinya kita melakukan shaum dalam keadaan yakin bahwa ini adalah perintah Allah. Meyakini nilai ibadahnya. Meyakini bahwa puasa ini akan mengantarkan kita kepada ridha Allah.

Seiring dengan itu, beriman juga berarti kita melepaskan diri dari perkara yang membatalkan keimanan kita, baik syirik besar maupun syirik kecil (riya'). Maka sebuah anomali jika seorang Mukmin masih bergenit-genit dengan perilaku riya'. Jauh-jauh hari kita harus berusaha menjauhi riya' karena ia bisa berpotensi syirik dan selanjutnya membatalkan keimanan kita. Na'udzu billah.

Selain itu, iman kepada Allah juga menuntut kita untuk menjalani ibadah dengan manhaj yang ditetapkan Rasulullah SAW. Maka puasanya orang yang beriman tidak akan lari dari apa yang telah dipraktikkan oleh Nabi SAW. Itulah makna beriman dalam konteks orang berpuasa.

Mens Rea kedua: ihtisab

Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim di atas, syarat ihtisaban menjadi bagian dari dwi-tunggal mens rea orang berpuasa yang harus mendampingi kondisi iman. Sebab, dalam teks hadis, ada huruf sambung wa ('dan') antara keduanya.

Ihtisab berarti 'berkira' atau 'berhitung.' Ia memiliki akar kata yang sama dengan beberapa perkataan, seperti hisab (hitungan, perkiraan, andaian); hisbah (ganjaran); muhasib (akuntan); atau hasub (komputer). Semuanya berputar pada narasi hitung-hitungan.

Dalam menjelaskan makna ihtisaban dalam hadis riwayat Bukhari-Muslim (muttafaq alaihi) itu, para ulama menjelaskan bahwa orang berpuasa mesti melakukannya dalam keadaan senantiasa berharap akan ganjaran dari Allah. Dengan kata lain, sambil ia berpuasa, akan selalu berhitung: "apakah ini yang disukai Allah dan diganjar oleh-Nya? Atau jangan-jangan, Allah malah tidak suka dengan apa yang aku lakukan ini?"

Jiwanya akan yang selalu awas agar semua pekerjaannya saat sedang berpuasa diridhai Allah. Itulah kondisi ihtisaban. Ia akan selalu kalkulatif untung-rugi atas segala sesuatunya saat berpuasa. Sebab, ia takut bila tidak mendapat ganjaran Allah atau malah akan merasakan murka Allah. Ia akan berhitung jika amalnya masih belum maksimal. Berhitung jika zikir dan infaknya masih minimal. Dan sangat gusar jika masih ada waktu kosong yang terlewat dengan sia-sia!

Jiwa orang yang berpuasa akan selalu diisi dengan harapan (raja') dan ketakutan (khauf): berharap pahala, takut akan dosa. Maka jiwa orang berpuasa menjadi sensitif terhadap persekitarannya, di rumah, tempat kerja atau kuliah, kendaraan umum, ruang publik ataupun ruang privatnya. Ia ingin selalu menjaga integritas puasanya agar tidak menjadi sia-sia. Sebisa mungkin dipegangnya kuat-kuat agar tidak jatuh, rusak atau hilang di perjalanan! Itulah jiwa yang ber-ihtisab. Jiwa yang selalu hitung-hitungan untung-ruginya yang akan dibawa mati kelak.

photo
ILUSTRASI Jamaah melaksanakan shalat tarawih pada malam hari pertama bulan suci Ramadhan di Masjid Hagia Sophia, Istanbul, Turki. - (AP Photo/Emrah Gurel)

Maka eloklah saya mengutip pertuturan Raja Ali Haji, seorang pujangga dan pahlawan nasional abad ke-19 M yang mengingatkan kita melalui gurindamnya pada pasal kedua:

Barang siapa meninggalkan sembahyang, seperti rumah tiada bertiang.
Barang siapa meninggalkan puasa, tidaklah mendapat dua termasa.
Barang siapa meninggalkan zakat, tiadalah hartanya beroleh berkat.
Barang siapa meninggalkan haji, tiadalah ia menyempurnakan janji.

(Raja Ali Haji, Gurindam Dua Belas)

Imanan wa ihtisaban: proses berkelanjutan

Dalam catatan ini, hendak saya tambahkan, bahwa perkataan "imanan wa ihtisaban" dalam hadis di atas ditulis dengan baris fathah tanwin yang dalam bahasa Arab membawa makna 'keadaan berterusan.' Artinya, "berpuasa sambil beriman dan ber-ihtisab."

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sambil bermakna kata penghubung untuk menandai peristiwa atau perbuatan bersamaan. Maka, sepanjang kita berpuasa, awal sampai akhirnya, kita dituntut untuk terus terusan dalam keadaan iman dan ihtisab.

Maka, beriman dan ber-ihtisab ini tidak boleh hanya dijalani secara parsial, misalnya pada pagi hari saja, lalu siangnya tidak. Atau, kita beriman dan ber-ihtisab hanya pada hari-hari pertama Ramadhan, semisal bersemangat memenuhi saf masjid dan tilawah di 10 hari pertama tetapi kian longgar pada hari-hari selanjutnya.

Untuk mendapatkan ganjaran dari Allah, maka indeks prestasi iman dan ihtisab kita harus berterusan. Tidak seperti istilah pepatah “hangat-hangat tahi ayam.”

Keyakinan yang kuat diikuti dengan keteguhan berkesinambungan (istiqomah) (QS Fushilat: 30). Tidak mudah tergoda pada bisikan setan (QS Fathir: 5). Dan tidak berputus asa akan pertolongan Allah (QS az-Zumar: 53). Maka, jiwa yang penuh keyakinan dan hitung-hitungan akan ganjaran Allah itulah yang ingin kita ciptakan sepanjang kita menjalankan ibadah puasa ini.

Semoga kita diberi kekuatan agar dapat mencapai kinerja puasa dan juga qiyamullail pada bulan suci Ramadhan yang menghasilkan jiwa yang selalu awas; jiwa yang selalu berhitung; jiwa yang selalu kalkulatif mencari ridha Allah; hingga pasca-Ramadhan yakni Idul Fitri, ketika kita akan kembali bersih seperti orang yang tanpa dosa, tanpa angkara.

Allahu a'lam.

 

photo
Assoc Prof Dr Sonny Zulhuda - (dok ist)

*) Assoc Prof Dr Sonny Zulhuda merupakan dosen pada Universiti Islam Antarabangsa Malaysia. Ahli hukum dan teknologi informasi ini juga menjadi anggota Dewan Pakar pada Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

 

Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.

Donasi Literasi Umat

Mualaf Fatimah Az-Zahra, Cinta Suami Membawanya pada Cahaya Islam

Perempuan kelahiran 21 April 1979 ini tertarik dengan agama Islam sejak masih kecil.

SELENGKAPNYA

Jika Israel Menginvasi Rafah, Apa Respons Joe Biden?

Kegagalan Israel menyajikan rencana evakuasi warga sipil Rafah untuk AS dapat memicu masalah pada dukungan militer

SELENGKAPNYA