Iqtishodia
Relevansi Advokasi Lahan Pertanian
Advokasi pertanian di Indonesia diharapkan dapat menjadi lebih inklusif, berkelanjutan, dan responsif.
OLEH Riyanto Adji (Mahasiswa Program Doktor Sains Agribisnis IPB University), Dr. Yusalina (Dosen Departemen Agribisnis Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB University)
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023 mengenai rata-rata umur petani, sebanyak 42,39 persen petani berada pada usia antara 43 sampai dengan 48 tahun. ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian tidak diminati anak muda atau minat anak-anak muda ke pertanian rendah
Hal ini bisa disebabkan oleh tingginya urbanisasi atau kuatnya daya tarik industri non pertanian. Urbanisasi ini terjadi karena adanya ketidakjelasan masa depan menjadi petani, petani memiliki pendapatan rendah, dan masa tunggu yang cukup lama sekitar 3-4 bulan untuk mendapatkan hasil.
Padahal, kebutuhan sehari-hari petani harus tetap terpenuhi, sehingga menunggu waktu cukup lama berdampak pada ketidakpastian pendapatan dan adanya risiko mengalami kerugian. Berusaha tani sangat rentan terhadap risiko iklim, harga pasar yang fluktuatif, dan serangan hama. Ketidakpastian inilah yang mengakibatkan generasi muda kurang tertarik untuk menggeluti profesi petani dan lebih memilih bekerja di sektor non-pertanian seperti menjadi karyawan pabrik dan lainnya.
Jumlah petani yang tersebar di wilayah pedesaan, rata-rata merupakan generasi X. Sedangkan petani milenial dari hasil sensus pertanian 2023 menunjukkan angka pada 25,61 persen, sehingga hal ini tentu sangat berpengaruh pada kecepatan dalam menerima dan mengadopsi terhadap akses teknologi, sehingga petani akan mengalami kendala dalam teknologi pertanian modern, akses terhadap modal, atau akses terhadap pasaran yang menguntungkan.
Keterbatasan akses inilah yang akhirnya berakibat pada semakin berkurangnya minat bertani modern yang cenderung mengikuti kebutuhan pasar. Keterbatasan ini tentu berdampak pada metode bertani yang apa adanya hanya sebagai aktivitas tambahan, bukan sebagai aktivitas pokok yang dapat dijadikan sebagai mata pencaharian utama.
Kecenderungan kehilangan minat untuk bertani lahan sawah di pedesaan juga dipengaruhi oleh tingkat pendidikan petani yang rendah, sehingga hal ini berdampak pada susahnya petani dalam menyerap potensi dan manfaat dari inovasi teknologi pertanian modern. Kalangan generasi muda yang melek terhadap teknologi malah cenderung mencari peluang di sektor lain yang dianggap lebih menarik dan menguntungkan diri sendiri.
Pemanfaatan teknologi oleh generasi muda namun bukan untuk sektor pertanian, berdampak pada munculnya perubahan gaya hidup dan preferensi pekerjaan yang mendorong terjadinya urbanisasi dan modernisasi. Ini menyebabkan banyak individu, terutama generasi muda, lebih memilih pekerjaan di sektor industri, layanan, atau teknologi.
Berdasarkan kondisi ini, maka penting bagi pemerintah untuk merancang kebijakan dan program yang dapat mendorong partisipasi lebih aktif dari generasi milenial dalam sektor pertanian lahan sawah. Langkah-langkah yang perlu dilakukan di antaranya penyediaan pendidikan dan pelatihan yang relevan, kemudahan akses terhadap teknologi pertanian modern, insentif ekonomi yang menarik, pembaruan kebijakan agraria dan reforma agraria untuk meningkatkan daya tarik sektor pertanian lahan sawah bagi generasi milenial, sehingga pertanian Indonesia dapat menjadi lebih berkelanjutan dan kompetitif di masa depan.
Peluang petani milenial di zaman serba AI
Dunia pertanian saat ini dihadapkan pada semakin canggihnya penggunaan teknologi informasi melalui AI (artificial intelligence). Kemajuan AI dapat memberikan keuntungan petani milenial dalam mengolah lahan sawah tanaman pangan untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan keberlanjutan usaha pertanian mereka.
Populasi yang tinggi dan keterbatasan lahan sawah dapat disiasati dengan bantuan teknologi AI. Keuntungan dan kelebihan kecerdasan buatan (AI) dapat digunakan untuk beberapa hal.
Pertama, pengelolaan tanaman yang lebih efisien, karena petani dapat menggunakan AI untuk mengelola waktu, tenaga, dan sumber daya secara lebih efisien, yang menghasilkan hasil pertanian yang lebih produktif dan berkualitas tinggi.
Kedua, petani dapat melakukan penyiraman, pemupukan, dan perlindungan tanaman dari serangan hama secara tepat dan cepat dengan memantau kondisi tanah, kelembaban, dan nutrisi tanaman secara real-time melalui sensor IoT (The Internet of Things) dan AI, sehingga pemantauan pertumbuhan tanaman menjadi lebih akurat.
Ketiga, prediksi cuaca yang lebih baik, karena petani dapat menggunakan teknologi AI untuk mendapatkan informasi untuk menyiasati perubahan cuaca yang cukup komprehensif sehingga lebih akurat dan mendetail. Ini juga memungkinkan mereka untuk membuat perencanaan yang lebih baik tentang penanaman, panen, dan melindungi tanaman dari perubahan cuaca yang tidak terduga.
Keempat, pengembangan varietas tanaman unggul yaitu melalui analisis data yang kompleks. AI dapat membantu dalam menemukan karakteristik genetik yang diinginkan pada tanaman, yang memungkinkan penciptaan varietas yang lebih tahan terhadap penyakit, cuaca ekstrem, dan perubahan lingkungan.
Kelima, AI dapat digunakan untuk menganalisis tren pasar, memperkirakan permintaan, dan mengoptimalkan distribusi produk pertanian, membantu petani meningkatkan efisiensi rantai pasokan dan memperluas jangkauan pasar.
Untuk memanfaatkan peluang AI, petani milenial dalam mengolah lahan sawah perlu mendapatkan akses ke teknologi AI dan mendapatkan pelatihan yang tepat. Petani milenial pengolah lahan sawah tanaman pangan juga perlu mendapatkan dukungan dari pemerintah dan lembaga terkait untuk mengintegrasikan teknologi AI ke dalam praktik pertanian lahan sawah. Selain itu, kolaborasi antara sektor swasta, pemerintah, dan lembaga riset dapat membantu mempercepat adopsi AI di sektor pertanian.
Advokasi pertanian Indonesia
Dalam beberapa tahun terakhir, advokasi pertanian di Indonesia telah mengalami kemajuan yang signifikan. Pemerintah, organisasi non-pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan komunitas petani telah bekerja sama untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pertanian yang berkelanjutan, keadilan bagi petani, dan kebijakan pertanian yang membantu petani kecil.
Ada beberapa jenis advokasi pertanian yang telah dilakukan. Pertama, pemerintah mendorong kebijakan pertanian yang membantu petani kecil, seperti reforma agraria, perlindungan hak-hak petani, dan peningkatan akses mereka terhadap sumber daya pertanian. Kedua, pemerintah menawarkan pendidikan dan pelatihan petani tentang praktik pertanian yang berkelanjutan, manajemen risiko, dan akses ke teknologi pertanian modern.
Ketiga, peningkatan kesadaran masyarakat melalui kampanye kesadaran masyarakat akan sangat penting untuk mendukung pertanian berkelanjutan dan pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana demi keberlanjutan pangan. Keempat, advokasi pertanian telah ditingkatkan melalui kemudahan penggunaan teknologi informasi seperti platform online dan media sosial, dengan demikian, dukungan masyarakat telah dimobilisasi.
Kelima, jaringan kolaborasi dan kemitraan yang terbuka antara organisasi masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta telah dibentuk untuk meningkatkan efektivitas advokasi pertanian dan mengatasi masalah yang kompleks di sektor pertanian. tindakan advokasi ini bertujuan untuk keberlanjutan pertanian baik dari sektor ekonomi, sosial dan lingkungan.
Ideologi utama yang mendukung lahan pertanian adalah pertama ideologi keadilan agraria, yang menekankan pentingnya distribusi yang adil atas sumber daya pertanian, seperti kepemilikan dan akses terhadap lahan, air, dan sumber daya pertanian lainnya. Tujuan advokasi ideologi keadilan agraria adalah untuk memastikan bahwa petani kecil memiliki akses yang setara terhadap sumber daya pertanian yang mereka butuhkan untuk hidup.
Kedua, ideologi pertanian yang berkelanjutan menekankan bahwa praktik pertanian yang ramah lingkungan adalah penting, pengelolaan sumber daya alam yang bijaksana, dan keberlanjutan ekonomi bagi petani kecil. Ideologi-ideologi ini mendorong penggunaan teknik pertanian yang berkelanjutan, seperti pengelolaan tanah yang baik, penggunaan pupuk organik, dan pengendalian hama alami, sehingga kesuburan tanah tetap menjadi media utama dalam bertani.
Ketiga, ideologi kedaulatan pangan menekankan betapa pentingnya bagi masyarakat untuk memiliki kontrol atas sistem pangan mereka sendiri, berupa mendukung produksi pangan lokal, diversifikasi pertanian, dan pengembangan pasar lokal untuk memastikan bahwa semua orang memiliki makanan yang cukup dan sehat.
Keempat, filosofi reforma agraria yang menekankan bahwa lebih banyak lahan sawah harus didistribusikan dari pemilik besar ke petani kecil untuk mengurangi kesenjangan lahan yang luas.
Pemerintah Indonesia telah berusaha untuk lebih memperhatikan petani kecil tanaman pangan, terutama dalam hal kepemilikan lahan. Untuk melindungi kepentingan petani kecil dan menjamin akses yang adil terhadap sumber daya pertanian, selain itu, pemerintah telah berkomitmen untuk meningkatkan akses petani kecil terhadap kredit, pelatihan, dan teknologi pertanian yang dapat meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan hasil pertanian.
Ideologi-ideologi ini menjadi landasan bagi banyak kelompok advokasi, organisasi non-pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat di Indonesia yang berusaha memperjuangkan kepentingan petani kecil dan keberlanjutan sektor pertanian lahan sawah. Melalui penerapan ideologi ini, masyarakat diharapkan dapat mencapai pertanian yang lebih adil, berkelanjutan, dan menguntungkan secara ekonomi bagi semua pihak yang terlibat.
Nilai-nilai pluralitas dalam advokasi pertanian Indonesia mencakup berbagai aspek yang mencerminkan keragaman nilai, perspektif, dan tujuan yang diperjuangkan oleh berbagai kelompok advokasi dan pemangku kepentingan terkait pertanian lahan sawah. Nilai-nilai ini juga mencerminkan berbagai aspek dan potensi sektor pertanian lahan sawah di Indonesia.
Ada beberapa prinsip dalam advokasi pertanian lahan sawah di Indonesia:
1. keadilan sosial, yang menekankan pentingnya keadilan dalam distribusi sumber daya, akses terhadap air dan lahan, serta sumber daya pertanian lainnya.
2. kesejahteraan ekonomi berfokus pada peningkatan kesejahteraan ekonomi petani lahan sawah berupa upaya untuk meningkatkan pendapatan petani, mengurangi kemiskinan, dan menciptakan peluang ekonomi yang berkelanjutan di pedesaan.
3. Konservasi lingkungan menekankan pentingnya pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, penerapan praktik pertanian ramah lingkungan, dan pelestarian ekosistem pertanian untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
4. Kedaulatan pangan, yang mencakup hak masyarakat untuk memiliki kontrol atas sistem pangan mereka sendiri, termasuk produksi, distribusi, dan konsumsi.
5. Partisipasi masyarakat, menekankan betapa pentingnya masyarakat terlibat secara aktif dalam proses pengambilan keputusan terkait sektor pertanian lahan sawah, termasuk perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pertanian lahan sawah, sehingga akan mendorong kolaborasi lintas sektor, pemberdayaan masyarakat lokal, dan keterlibatan masyarakat dalam proses pengembangan pertanian berkelanjutan.
Melalui pengakuan dan penghormatan terhadap pluralitas nilai-nilai ini, advokasi pertanian di Indonesia diharapkan dapat menjadi lebih inklusif, berkelanjutan, dan responsif terhadap berbagai tantangan yang dihadapi sektor pertanian lahan sawah di Indonesia. Tujuan dari advokasi pertanian ini adalah untuk keberlanjutan dari bisnis pertanian di Indonesia mulai dari hulu hingga hilir, sehingga proses agribisnis dapat berjalan sesuai tuntutan kehidupan masyarakat Indonesia.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.