Kronik
Hitung Cepat Tempo Doeloe
Pelopor penyelenggara hitung cepat pada Pemilu 1955 adalah media cetak yang beredar saat itu.
Oleh ALWI SHAHAB
Dua hari menjelang pemilu, masa tenang diberlakukan melarang parpol-parpol mengerahkan massa rakyat dan hentikan kampanye. Larangan ini berlaku setelah selama 21 hari mereka diberi kesempatan berkampanye untuk meraih massa sebanyak-banyaknya.
Selama tiga minggu kampanye, janji-janji tidak terhitung banyaknya bagi kesejahteraan pemilihnya. Sementara, puluhan lembaga survei yang rencananya akan melansir hitung cepat (quick count) terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Semula oleh Mahkamah Konstitusi (MK) mereka dilarang untuk memublikasikannya di masa tenang. Tapi, kemudian MK membatalkan pembatasan waktu, termasuk dua jam setelah pemungutan suara.
Sejak era multimedia menyambangi Indonesia, hitung cepat seperti jadi keharusan dalam penyelenggaraan pemilihan umum, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah. Tak lama selepas pemilihan digelar sudah bisa diketahui bagaimana hasil pemilihan. Data yang dikumpulkan juga tak jauh berbeda dengan yang diumumkan KPU.
Ternyata soal hitung cepat tersebut bukannya tanpa preseden dalam arena pemilihan umum di Indonesia. Ia sudah hadir sejak mula-mula pemilu digelar di Indonesia.
Pada pemilu pertama tahun 1955, sebenarnya belum ada lembaga yang menangani hitung cepat. Kendati demikian, pada pemilu yang diikuti puluhan parpol itu, masyarakat tak kalah cepat mendapatkan hasil-hasil perhitungan suara dibandingkan zaman sekarang.
Padahal, saat pemilu tersebut digelar sekira 59 tahun yang lalu, sarana transportasi dan komunikasi di Indoensia terbilang masih sangat payah. Belum ada internet dan fasilitas pengiriman informasi yang lekas. Bahkan, televisi pun belum nongol di sebagian besar rumah-rumah masyarakat.
Perhitungan suara pun sepenuhnya mengandalkan cara manual. Tak seperti sekarang yang banyak didukung oleh alat komunikasi yang serbacanggih. Masyarakat yang belum bisa membaca dan menulis saat itu juga mencapai 80 persen.
Pelopor penyelenggara hitung cepat pada Pemilu 1955 adalah media cetak yang beredar saat itu. Harian Indonesia Raya contohnya, hanya sehari setelah pemilu telah menurunkan hasil penghitungan suara dari 1.003 tempat pemugutan suara (TPS) di wilayah Jakarta Raya.
Dalam laporan koran itu, Masyumi berhasil meraih 158.818 suara. Kemudian berturut-turut Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan 123.715 suara, Partai Nahdlatul Ulama (NU) dengan 89.291 suara, Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan 83.716 suara, Partai Sosialis Indonesia (PSI) mendapat 25.478 suara, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) yang mendapat 20.800 suara, dan sejumlah partai lainnya. Hasil ini telah mencakup 75 persen dari 791.046 suara sah di seantero DKI Jakarta.
Koran yang sama edisi 5 Oktober juga menunjukkan betapa cepatnya proses penghitungan suara. Berdasarkan hasil sementara yang diumumkan Panitia Pemilihan Umum sehari sebelumnya, PNI dan Masyumi memperoleh 50 kursi, NU 37 kursi, PKI 36 kursi. Dua minggu setelah Pemilu '55 yang berlangsung 29 September 1955, Indonesia Raya mengumumkan perolehan suara PNI 7.551.165 suara, Masyumi 7.183.783 suara, NU 6.312.469 suara, dan PKI 5.902.413 suara.
Memang masih angka sementara, tapi dalam pengumuman selanjutnya pergeseran angka kecil saja dan tak memengaruhi perolehan suara. Ironisnya, seiring zaman kian maju, hitung cepat tak lagi bisa diketahui masyarakat ramai. Pada pemilu-pemilu setelah 1955 yang digelar sebelum reformasi, pengumuman hasil hitung cepat dibatasi.
Disadur dari Harian Republika edisi 8 April 2014. Alwi Shahab adalah wartawan Republika sepanjang zaman. Beliau wafat pada 2020.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Artis dan Kampanye Pemilu
Pengerahan artis untuk mengerahkan massa juga terjadi pada pemilu sebelumnya kecuali pada 1955.
SELENGKAPNYAGambar Bung Karno dan Simbol Tangan
Pada 1992 penggunaan simbol tangan untuk melambangkan partai politik makin populer.
SELENGKAPNYABenih Reformasi pada Pemilu 1987
Pada Pemilu 1987, ‘orang-orang’ Sukarno mulai berani muncul ke permukaan.
SELENGKAPNYAPemilu 1955
Pertentangan antarpartai memang keras, tetapi tidak ada kerusakan fisik, tidak ada darah yang tertumpah.
SELENGKAPNYA