Iqtishodia
Pentingnya Mengenalkan Literasi Keuangan Sejak Dini
Secara umum masyarakat Indonesia belum memahami dengan baik karakteristik berbagai produk dan layanan jasa keuangan.
Oleh Ali Mutasowifin, Dosen Departemen Manajemen FEM IPB.
Literasi dan inklusi keuangan masyarakat sangatlah penting, baik bagi individu maupun perekonomian. Guna memetakan keadaan terkini dari tingkat literasi dan inklusi keuangan masyarakat Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) setiap tiga tahun sekali menyelenggarakan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK), yang kemudian akan menjadi dasar dalam penyusunan kebijakan.
SNLIK pada 2022 dilaksanakan dengan menggunakan metode, parameter, dan indikator yang sama dengan tiga survei sebelumnya, yaitu indeks literasi keuangan yang mengukur pengetahuan, keterampilan, dan keyakinan terhadap lembaga jasa keuangan, serta sikap dan perilaku keuangan untuk menilai upaya peningkatan kualitas pengambilan keputusan dan pengelolaan keuangan individu. Sedangkan dalam mengukur indeks inklusi keuangan, masyarakat dikatakan inklusif secara keuangan jika mereka menggunakan produk dan layanan jasa keuangan dalam kurun waktu 12 bulan terakhir dihitung dari waktu pelaksanaan survei.
Rendahnya literasi keuangan
Hasil SNLIK 2022 menunjukkan indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen, naik dibanding tahun 2019 yang hanya 38,03 persen. Sementara, indeks inklusi keuangannya mencapai 85,10 persen, meningkat dibanding periode SNLIK sebelumnya di tahun 2019 yaitu 76,19 persen. Data ini menunjukkan masih besarnya gap antara tingkat literasi dan tingkat inklusi keuangan pada 2022, yakni 35,42 persen.
Besarnya gap ini menunjukkan bahwa secara umum masyarakat Indonesia belum memahami dengan baik karakteristik berbagai produk dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan oleh lembaga jasa keuangan formal. Padahal, literasi keuangan merupakan keterampilan penting dalam rangka pemberdayaan masyarakat, kesejahteraan individu, perlindungan konsumen, dan peningkatan inklusi keuangan.
Besarnya gap antara literasi dan inklusi keuangan ini juga bisa dimaknai masih banyak kalangan masyarakat yang telah memanfaatkan layanan keuangan tanpa didukung oleh pengetahuan yang mencukupi tentang seluk-beluk layanan keuangan yang digunakannya. Akibatnya, beragam kejahatan di bidang keuangan pun sering terjadi karena rendahnya literasi keuangan mereka yang menjadi korban.
Walaupun beragam program telah diluncurkan untuk meningkatkan literasi keuangan dan mempersempit gap dengan inklusi keuangan, data yang ada menunjukkan masih perlu ikhtiar baru untuk mengatasi ketimpangan yang ada. Untuk mengatasi hal ini, barangkali kita perlu becermin dari pengalaman beberapa negara lain.
Pengalaman negara lain
Salah satu negara yang sangat peduli dengan literasi keuangan penduduknya adalah Denmark. Longevity Economy Principles dalam The Foundation for a Financially Resilient Future mengabarkan bahwa sejak 2015 Denmark telah meluncurkan program yang mengajarkan murid sekolah usia 13-15 tahun tentang pentingnya literasi keuangan, termasuk bagaimana membuat anggaran, pentingnya menabung, seluk beluk perbankan, serta hak-hak sebagai konsumen.
Selain itu, setiap tahun sekitar 20 ribu murid dari 700 sekolah di Denmark juga berpartisipasi dalam Danish Money Week. Pada saat itu, para pekerja sektor keuangan mendatangi kelas-kelas di sekolah untuk menerangkan pentingnya memahami uang. Beragam program ini tampaknya telah menunjukkan hasil, sehingga Standard & Poor dalam Financial Literacy Around the World melaporkan tingkat literasi keuangan Denmark mencapai 71 persen, salah satu yang tertinggi di dunia.
Negara-negara lain juga membuat program serupa dengan Denmark. Singapura bahkan sejak 2003 telah meluncurkan program MoneySense, yang berisikan pembelajaran keuangan berskala nasional. Program itu mencakup dasar-dasar pengelolaan keuangan, perencanaan keuangan, serta pengetahuan tentang investasi. Keberhasilan Singapura mengukuhkan diri sebagai pusat keuangan dunia juga tidak terlepas dari beragam ikhtiar yang dijalankan untuk meningkatkan literasi keuangan warganya, hingga berhasil membuat 59 persen warganya melek keuangan.
Selandia Baru juga menunjukkan kepedulian yang sama, dengan menggalakkan literasi keuangan sedari dini melalui program gratis yang dinamai Sorted in Schools. Program ini menyasar murid usia 13-18 tahun di sekitar 80 persen sekolah, yang disampaikan baik dalam Bahasa Inggris maupun Maori. Dalam pemeringkatan Financial Literacy Around the World, tingkat literasi keuangan orang dewasa di Selandia Baru cukup tinggi mencapai 61 persen.
Tentu menjadi tugas yang tidak ringan bagi Indonesia untuk meningkatkan literasi keuangan, yang berdasarkan laporan Financial Literacy Around the World hanya 32 persen orang dewasa di Tanah Air yang melek keuangan. Walaupun angka ini hanya sedikit di bawah rata-rata literasi keuangan dunia yang 33 persen, tapi patut mendapatkan perhatian karena menurut Longevity Economy Principles dalam The Foundation for a Financially Resilient Future, timpangnya tingkat literasi keuangan ini berkorelasi dengan timpangnya kekayaan, yang pada akhirnya akan memengaruhi tingkat harapan hidup.
Literasi keuangan sejak dini
Saat ini, seiring perkembangan teknologi, segala macam informasi sangat mudah menjangkau semua orang, termasuk anak-anak usia sekolah. Oleh karena itu, mereka perlu mendapatkan bekal yang memadai tentang literasi keuangan sehingga diharapkan mampu menyaring informasi dan membentengi diri dari kemungkinan terjerat masalah terkait keuangan yang merugikan.
Selain itu, SNLIK 2022 juga menunjukkan bahwa literasi keuangan masyarakat berbanding lurus dengan lamanya menempuh pendidikan. Tingkat literasi keuangan masyarakat yang tidak bersekolah/tidak lulus SD 37,69 persen, lulus SD 39,78 persen, lulus SMP 46,61 persen, lulus SMA 52,88 persen, dan lulus perguruan tinggi 62,42 persen.
Kondisi serupa mirip untuk tingkat inklusi keuangan, yakni tidak bersekolah/tidak lulus SD 64,74 persen, lulus SD 74,24 persen, lulus SMP 80,61 persen, lulus SMA 90,46 persen, dan lulus perguruan tinggi 96,51 persen.
Dari data SNLIK 2022 tersebut juga terlihat bahwa semakin rendah pendidikan, semakin rendah pula tingkat literasi dan inklusi keuangannya. Dengan demikian, menjadi strategis untuk memfokuskan pemahaman tentang literasi keuangan pada tingkat lebih awal pendidikan, sehingga mereka yang tidak beruntung mampu mengenyam pendidikan tinggi pun akan memperoleh bekal literasi keuangan yang memadai.
Memperhatikan kondisi tersebut, serta becermin pada keberhasilan negara-negara lain dalam meningkatkan literasi keuangan penduduknya, Indonesia juga perlu menginisiasi program untuk memperkenalkan literasi keuangan sedari dini. Pemerintah, OJK, dan pihak lain yang terkait, misalnya para pelaku industri keuangan, perlu merancang program yang menyasar penduduk usia belia, baik melalui sekolah maupun jalur lainnya.
Dengan potensi yang dimiliki, termasuk jumlah mahasiswa yang sangat banyak, perguruan tinggi juga dapat berpartisipasi dalam mengenalkan literasi keuangan pada generasi belia dengan melakukan kegiatan pengabdian masyarakat ke sekolah-sekolah atau masyarakat.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.