Iqtishodia
Modal Sosial, Debat, dan Elektabilitas Capres
Debat menjadi medan pertarungan dalam membangun modal sosial yang dapat memengaruhi elektabilitas.
Oleh Prof Bambang Juanda, Dosen Departemen Ilmu Ekonomi FEM IPB
Modal sosial (social capital) adalah istilah untuk menggambarkan sejumlah sumber daya sosial yang berasal dari hubungan sosial, jaringan, dan interaksi antara individu, kelompok, atau komunitas dalam masyarakat. Modal sosial merupakan aset berharga yang dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, politik, kesejahteraan sosial, dan juga termasuk elektabilitas capres-cawapres.
Berbagai bentuk modal sosial, dapat ditemui dalam kehidupan kita, dan semuanya terkait dengan tiga komponen utama modal sosial. Pertama adalah jaringan sosial (social networks), yaitu hubungan interpersonal antara individu atau kelompok.
Kedua, norma sosial (social norms), yaitu aturan yang mengatur perilaku dan interaksi sosial dalam suatu masyarakat. Ketiga, kepercayaan sosial (social trust), yaitu merujuk pada tingkat kepercayaan dan saling percaya antara individu dan kelompok dalam masyarakat.
Meskipun pengaruh debat antar capres dan cawapres terhadap elektabilitas hanya 5-10 persen sebagaimana penulis sampaikan dalam tulisan sebelumnya, tapi momen debat merupakan salah satu yang penting dalam perjalanan menuju pemilihan umum. Debat tidak hanya menjadi panggung untuk memaparkan visi dan misi, tetapi juga menjadi medan pertarungan dalam membangun modal sosial yang dapat memengaruhi elektabilitas calon presiden.
Setelah debat, dinamika pengaruh modal sosial seringkali mencuat dengan berbagai cara, membentuk citra calon di mata masyarakat. Masyarakat cenderung memberikan dukungan kepada calon yang memiliki jaringan sosial yang kuat, memahami isu-isu sosial, dan dapat merespons dengan bijaksana terhadap berbagai tantangan.
Penting bagi setiap calon presiden untuk memahami bahwa modal sosial bukanlah sesuatu yang statis. Ini memerlukan perawatan, perhatian, dan konsistensi selama perjalanan kampanye. Calon yang mampu memanfaatkan momentum pascadebat untuk memperkuat modal sosialnya akan memiliki peluang lebih besar untuk memenangkan hati pemilih dan meningkatkan elektabilitasnya.
Bukti survei
Meskipun dalam debat capres tanggal 7 Januari, para pakar menilai urutan yang unggul adalah Ganjar kemudian Anies, namun justru elektabilitas Prabowo yang meningkat cukup signifikan berdasarkan hasil survei Indikator Politik Indonesia (IPI) pada tanggal 10-16 Januari, yang hasilnya konsisten baik dari survei menggunakan telepon maupun tatap muka.
Elektabilitas pasangan Prabowo-Gibran melejit menjadi 48,55 persen dibandingkan survei sebelumnya (45,78 persen). Sedangkan elektabilitas Anies-Muhaimin 24,17 persen, dan Ganjar-Mahfud 21,6 persen yang tidak berbeda signifikan secara statistik karena margin of error dari survei tersebut sebesar 2,9 persen.
Hasil survei berbeda dengan debat karena debat capres itu bukan debat akademik yang otomatis akan unggul dalam elektabilitas. Format debat yang dibuat KPU melibatkan banyak unsur, bukan sekedar objektivitas tetapi juga unsur emosi dengan pertanyaan yang sifatnya politik atau sentimen politik.
Dalam topik debat “Pertahanan”, Anies dan Ganjar tidak mempunyai beban dibandingkan Prabowo yang sedang menunaikan tugasnya dalam topik tersebut, sehingga menjadi “target” serangan misalnya dengan menilai kinerja Kementerian Pertahanan hanya diberi nilai 11 dari maksimal 100.
Dari data IPI ditemukan pola yang sangat sistematik, yaitu efek melodramatik (yang merupakan salah satu komponen dalam interaksi sosial dalam modal sosial) dalam debat 7 Januari tersebut. Ketika responden pemilih ditanya “apakah kritik Anies terhadap Prabowo lebih ke kebijakan ataukah personal”, ternyata 51 persen menganggap Anies lebih mengkritik dari sisi personal. Sementara hanya 40 persen yang menilai Ganjar mengkritik secara personal ke Prabowo.
Ketika ditanya “Apakah debat saling serang antar lawan debat itu sesuatu hal yang wajar atau tidak?”, ternyata sekitar 60 persen responden menganggap saling serang antar lawan debat itu tidak sesuai. Jadi mereka tidak begitu setuju dengan format debat KPU yang kadang kala membuat orang saling serang kebijakan karena sebenarnya makna atau esensi debat adalah adu gagasan, strategi atau kebijakan dari masing-masing capres.
Inilah yg menjelaskan mengapa setelah dua bulan Probowo-Gibran mengalami stagnasi elektabilitas di angka 45 persen, justru setelah debat 7 Januari, elektabilitas paslon tersebut naik sekitar 2,8 persen menurut survey IPI tersebut. Kenaikan elektabilitas ini selain akibat melodramatik dalam “interaksi debat”, juga kemungkinan besar karena efek tidak langsung dari kebijakan pemerintah Jokowi melalui berbagai bantuan sosial dan bantuan pemerintah mulai bulan Januari ini, misalnya Bantuan Pangan Beras dan Bantuan Langsung Tunai (BLT).
Kebijakan Bansos yang dilakukan sejak Maret 2023 ini memang sudah ditetapkan dalam UU APBN 2023 dan UU APBN 2024, sehingga sesuai dengan tata kelola perencanaan dan penganggarannya, meskipun banyak kritikan terutama terhadap waktu pelaksanaannya.
Semua ini secara tidak langsung akan meningkatkan jaringan sosial yang merupakan salah satu komponen utama dalam modal sosial bagi paslon Prabowo-Gibran yang programnya melanjutkan pemerintahan Jokowi untuk Pembangunan Menuju Indonesia Emas 2045.
Pilpres satu atau dua putaran?
Terlepas dari berbagai kritikan terhadap demokrasi dan pelaksanaan kebijakan pemerintah sekarang ini, rupanya mayoritas masyarakat pemilih lebih banyak dominan melihat kinerja ekonomi di Indonesia. Ini terlihat dari survei terakhir dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang dirilis pada 30 januari 2024.
Hasil survei tatap muka terhadap 1.200 responden oleh LSI yang dilakukan pada 16-26 Januari 2024 menunjukan bahwa elektabilitas yang paling tinggi adalah Prabowo-Gibran sebesar 50,7 persen, sudah lebih dari setengahnya pemilih. Sedangkan elektabilitas Anies-Muhaimin 22 persen, dan Ganjar-Mahfud 19,7 persen, sehingga elektabilitas kedua paslon tersebut tidak berbeda signifikan secara statistik karena margin of error dari survei tersebut sebesar 2,9 persen. Elektabilitas kedua paslon ini menurun dan belum pasti paslon mana yang akan ikut lanjut seandainya pilpres dua putaran.
Apakah pilpres akan dilaksanakan hanya satu putaran saja? Dari dugaan selang kepercayaan elektabilitas Prabowo-Gibran, dapat diinterpretasikan, 95 persen yakin bahwa elektabilitasnya antara 47,8 persen sampai 53,6 persen. Meskipun belum pasti, dari dugaan selang kepercayaan ini menunjukkan bahwa peluang pilpres satu putaran lebih besar dari peluang pilpres dua putaran.
Berikut ini, banyak hasil survei LSI tersebut yang menarik untuk diperhatikan oleh tiga paslon dalam mengatur strateginya dalam dua pekan sebelum pemilu agar meningkatkan elektabilitasnya. Tingkat kepuasan atas Jokowi masih sangat tinggi (80,8 persen) sehingga pengaruh kritikan dari kalangan aktivis demokrasi tidak begitu signifikan. Kepuasan atas kinerja Jokowi ini sangat tinggi dengan elektabilitas Prabowo-Gibran, sebagaimana penulis sampaikan dalam tulisan sebelumnya.
Mayoritas Masyarakat pemilih (84 persen) menginginkan pilpres selesai satu putaran. Popularitas dan kesukaan terhadap Gibran terus meningkat dari September 2023 ke Januari 2024. Ini merupakan komponen kepercayaan sosial dalam modal sosial.
Prabowo-Gibran unggul di semua segmen pendapatan, Pendidikan, jenis kelamin, agama, usia, teritori (6 kepulauan besar), suku terbesar (Jawa dan Sunda). Anies-Muhaimin unggul di suku Betawi, Minang, dan Madura. Ganjar-Mahfud unggul tipis di Jawa Tengah.
Menurut UU Pemilu, untuk pilpres satu putaran harus memenuhi beberapa syarat yaitu elektabilitas paslon yang menang harus lebih dari 50 persen pemilih, yang tersebar lebih 20 persen suara di minimal 20 provinsi dari 38 provinsi di Indonesia karena “kebetulan” di Papua sudah bertambah 4 provinsi baru.
Selain itu, determinan atau variabel utama yang menentukan satu putaran atau tidak, adalah tingkat partisipasi (turn out) dalam pemilu 14 Februari 2024. Dalam survei, yang aktif adalah enumerator yang mendatangi responden pemilih dan asumsi hasil survei itu adalah tingkat partisipasi pemilih untuk masing-masing paslon adalah 100 persen, yaitu semua pemilih akan datang ke TPS dan menggunakan hak suaranya.
Jadi dalam kontestasi elektoral tanggal 14 Februari itu, masyarakat yang harus datang ke TPS adalah pemilih. Kalau basis Ganjar-Mahfud dan basis Anies lebih militan datang ke TPS, sementara pendukung Prabowo-Gibran itu kurang militan datang ke TPS, kemungkinan suara Prabowo-Gibran bisa turun lebih kecil, dan potensi turun itu ada karena basis pendukung Prabowo-Gibran terutama dari Gen Z, yang dari pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya mereka lebih malas datang ke TPS.
Dalam Pemilu 2019, tingkat partisipasi masyarakat pemilih datang ke TPS sebesar 81 persen dan tingkat partisipasi anak muda itu kurang dari 70 persen. Jadi kalau pola ini berulang pada pemilu 14 Februari 2024, kemungkinan suara Prabowo-Gibran bisa turun dibanding prediksi hasil survei.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.
Debat Capres-Cawapres dan Perilaku Pemilih
Manusia sering terjebak pada pilihan favorit yang sudah dimiliki
SELENGKAPNYA