Iqtishodia
Bagaimana Umat Islam Memandang Asuransi Jiwa Syariah?
Literasi masyarakat Indonesia tentang asuransi jiwa syariah masih sangat rendah.
OLEH Laily Dwi Arsyianti, Ranti Wiliasih, Tita Nursyamsiah, Marhamah Muthohharoh (Dosen Ekonomi Syariah FEM IPB, Busaid (Peneliti CIBEST)
Prinsip asuransi syariah adalah kerja sama antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi untuk menjamin tertanggung atas risiko–risiko tidak terduga di masa depan. Perusahaan asuransi hanya sebagai pengelola dana yang dikontribusikan dalam bentuk kontribusi (premi) asuransi syariah.
Literasi masyarakat Indonesia tentang asuransi jiwa syariah juga masih sangat rendah, yaitu sekitar 3 persen. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan literasi asuransi secara keseluruhan, yaitu sebesar 19 persen. Sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, asuransi syariah memiliki potensi yang besar di masa yang akan datang.
Pada tahun 2006, total premi asuransi syariah sebesar Rp 231,5 miliar meningkat cukup signifikan sebesar 45,17 persen dari tahun sebelumnya. Namun, jika dilihat secara makro, peranan asuransi syariah sangatlah kecil. Kontribusi asuransi syariah hanya sebesar 1,5 persen dari target premi nasional.
Kelompok Muslim menengah di Indonesia dapat dipetakan menjadi empat kelompok utama, yaitu rasionalis 29 persen, universalist 23 persen, conformist 21 persen, dan apatis 27 persen. Kelompok rasionalis memiliki cara pandang yang pragmatis terhadap Islam. Mereka berpandangan sebagai Muslim manakala berada dalam lingkungan mayoritas Muslim, sehingga kelompok ini menjadikan ajaran Islam sebagai opsional atau pilihan saja.
Universalist menempatkan kebaikan Islam sebagai universal goodness (rahmatan lil alamin) sekaligus sangat aktif mengikuti kemajuan dunia barat yang positif, seperti teknologi, demokrasi, hingga budaya pop yang kemudian diselaraskan dengan nilai-nilai Islam.
Di sisi lain, conformist merupakan konsumen yang hanya mempertimbangkan aspek syariah. Sementara itu, apatis kelompok yang sering dianggap sebagai “Islam KTP” dengan Islam dianggap sebagai formalitas saja dengan alasan utama agar diterima oleh masyarakat di sekitarnya.
Setiap individu dapat memiliki penilaian yang berbeda terhadap value dari suatu barang dan jasa, sehingga harga yang mampu dikorbankan oleh seseorang untuk mendapatkan suatu barang juga berbeda.
Setiap konsumen akan mempertimbangkan harga yang harus dibayar ketika membeli suatu produk dengan nilai produk yang akan diperoleh dibandingkan dengan produk lain. Willingness to pay (WTP) adalah kesediaan membayar individu dalam suatu kondisi lingkungan atau penilaian individu terhadap suatu produk dan jasa dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan (Hanley dan Spash, 1993).
Ketika nilai yang diperoleh konsumen lebih besar dari harga yang harus dibayarkan, konsumen akan cenderung memilih produk tersebut. Dapat dikatakan, semakin jauh selisih harga yang harus dibayarkan dan nilai yang diterima, maka kemungkinan konsumen akan membeli produk tersebut semakin besar.
Kelas menengah yang terus berkembang dan sangat berpotensi di Indonesia merupakan sebuah peluang bagi asuransi syariah. Secara umum, kelas menengah juga dapat dikelompokkan menjadi empat segmen, yaitu apatis, conformist, rationalist, dan universalist. Pertama, apatis (“emang gue pikirin?”) merupakan segmen kelas menengah yang memiliki pengetahuan, wawasan, dan sering kali tingkat kesejahteraan ekonomi yang masih rendah. Segmen ini memiliki kepatuhan yang rendah dalam menjalankan nilai-nilai Islam.
Konsumen tipe ini umumnya tidak memiliki pemahaman yang cukup mengenai produk-produk berlabel Islam apalagi menawarkan value proposition yang Islami. Mereka tak begitu peduli apakah suatu produk bermuatan nilai keislaman atau tidak.
Rationalist (“gue dapat apa?”) merupakan segmen kelas memengah yang memiliki pengetahuan, open-minded, dan wawasan global, tetapi memiliki tingkat kepatuhan pada nilai-nilai Islam yang lebih rendah dari apatis. Segmen ini sangat kritis dan pragmatis dalam melakukan pemilihan produk berdasarkan parameter kemanfaatannya. Namun, dalam memutuskan pembelian, mereka cenderung mengesampingkan aspek-aspek ketaatan pada nilai-nilai Islam.
Bagi mereka, label Islam, value proposition syariah, atau kehalalan bukanlah menjadi konsideran penting dalam mengambil keputusan pembelian.
Selanjutnya segmen yang ketiga, conformist (“pokoknya harus Islam”) merupakan segmen kelas menengah yang umumnya sangat taat beribadah dan menerapkan nilai-nilai Islam secara normatif. Karena keterbatasan wawasan dan sikap yang konservatif/tradisional, sosok konsumen ini cenderung kurang membuka diri (less open-minded, less inclusive) terhadap nilai-nilai di luar Islam, khususnya nilai-nilai Barat.
Untuk mempermudah pengambilan keputusan, mereka memilih produk-produk yang berlabel Islam atau yang di-“endorsed” oleh otoritas Islam atau tokoh Islam panutan.
Terakhir, segmen universalist (“Islami Itu Lebih Penting”), di satu sisi memiliki pengetahuan/wawasan luas, pola pikir global, dan melek teknologi; namun di sisi lain secara teguh menjalankan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka memahami dan menerapkan nilai-nilai Islam secara substantif, bukan normatif. Mereka lebih mau menerima perbedaan dan cenderung menjunjung tinggi nilai-nilai yang bersifat universal. Mereka biasanya tidak malu untuk berbeda, tetapi di sisi lain mereka cenderung menerima perbedaan orang lain. Singkatnya, mereka adalah sosok yang toleran, open-minded, dan inklusif terhadap nilai-nilai di luar Islam (Yuswohady, 2014)
Penelitian menunjukkan bahwa conformist (45,5 persen) lebih mau mengalokasikan kelebihan/tambahan dana yang dimiliki untuk menabung/berinvestasi dibandingkan universalist (40,4 persen). Conformist (31,9 persen) lebih memilih untuk mengalokasikan kelebihan dana yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan yang belum terpenuhi dibandingkan universalist (29,0 persen).
Sementara, hanya sedikit yang mengalokasikan untuk dana darurat jika ada kelebihan/tambahan dana atau pemasukan, yakni 11 persen universalist dan 10,4 persen conformist. Segmen conformist lebih rajin dan teratur menyisihkan pendapatan untuk tabungan/investasi setiap bulan (55 persen) dibandingkan segmen universalist setiap 2-3 bulan (44 persen).
Pada segmen conformist lainnya menyatakan kadang-kadang atau setiap 2-3 bulan (36 persen), jarang atau setiap enam bulan atau lebih (8 persen), dan responden tidak pernah menyisihkan pendapatan untuk tabungan/investasi (2 persen).
Sedangkan, pada segmen universalist pendapat lainnya menyatakan secara berurutan selalu menyisihkan pendapatan untuk investasi (41 persen), jarang (12 persen), dan tidak pernah (3 persen).
Segmen conformist merasa jarang meningkatkan gaya hidup (35 persen) dibandingkan dengan keuangan menyatakan kadang-kadang (38 persen), jarang (27 persen), tidak pernah (21 persen), dan selalu (setiap kali ada kenaikan pendapatan) dengan persentase 14 persen.
Selanjutnya mengenai hubungan kenaikan pendapatan dengan jumlah investasi/tabungan. Mayoritas responden baik segmen conformist dan universalist menyatakan kadang-kadang (47 persen dan 52 persen) terjadi peningkatan tabungan/investasi ketika jumlah pendapatan naik. Responden lainnya secara berurutan menyatakan selalu (setiap kali ada kenaikan) dengan persentase 41 persen dan 33 persen, jarang (9 persen dan 12 persen), dan tidak pernah (2 persen dan 3 persen).
Sebanyak 1.002 responden telah disurvei, 317 berencana untuk memiliki asuransi jiwa syariah, dan 685 responden tidak berencana memiliki asuransi jiwa syariah dalam satu tahun ke depan. Dari 317 responden yang berencana memiliki asuransi syariah, teridentifikasi bahwa 39 persen di antaranya termasuk dalam kelompok conformist dan 61 persen sisanya adalah kelompok universalist.
Berdasarkan studi ini, kelompok universalist lebih berminat untuk membeli asuransi syariah dibandingkan dengan kelompok conformist.
Adapun alasan responden tidak berminat terhadap asuransi jiwa syariah di antaranya karena tidak merasa penting memiliki asuransi, tidak memiliki anggaran untuk membayar premi/kontribusi, lebih memilih berinvestasi daripada asuransi, premi/kontribusi yang mahal, stigma negatif mengenai asuransi, dan merasa cukup dengan asuransi yang sudah dimiliki.
Alasan paling banyak dari responden yang tidak berminat terhadap asuransi jiwa syariah, yaitu merasa cukup dengan asuransi yang telah dimiliki dengan persentase 25 persen, terdiri atas 29 persen conformist dan 71 persen universalist. Alasan terbanyak kedua adalah tidak adanya anggaran untuk membayar premi/kontribusi sebanyak 19 persen, terdiri dari 40 persen conformist dan 60 persen universalist.
Sebanyak 19 persen responden juga lebih memilih berinvestasi daripada asuransi, terdiri atas 49,6 persen conformist dan 50,4 persen universalist.
Gerakan “Literasi Umat” merupakan ikhtiar untuk memudahkan masyarakat mengakses informasi. Gerakan bersama untuk menebarkan informasi yang sehat ke masyarakat luas. Oleh karena informasi yang sehat akan membentuk masyarakat yang sehat.